Season 2
Bersama Rendra -The young and dangerous-, Anggi menjalani kehidupan baru seperti menaiki wahana rollercoaster.
Kebahagiaan dan kesedihan datang silih berganti.
Sempat jatuh, namun harus bangkit lagi.
Hingga akhirnya Anggi bisa berucap yakin pada Rendra, "It's always gonna be you."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. God's Greatest Gift
Rakai
Ia baru saja membuka pintu paviliun tempat Rendra dirawat ketika melihat Rendra terbang dari tempat tidur sambil berteriak panik, "Anggi?!?!"
Namun terganjal oleh selang infus yang masih menggantung di standar infus tepat di samping tempat tidur. Membuat tubuh Rendra tertahan dan tak bisa bergerak lebih jauh meski standar infus telah jatuh ke lantai akibat seretan badan Rendra.
"Brengsek!" maki Rendra penuh emosi sambil berusaha melepas selang infus dengan membabi buta.
Di tengah suasana membingungkan itulah ia melihat dalam gerakan slow motion tubuh Anggi yang sedang berdiri di samping meja yang terletak tak jauh dari pintu tiba-tiba lemas dan terkulai jatuh ke belakang. Membuat instingnya bergerak cepat.
"Brengsek!!" Rendra kembali memaki karena masih kesulitan melepas jarum infus di tangan. Begitu berhasil, langsung menerjang kearah Anggi yang kini telah berada dalam rengkuhannya.
Dengan sekali gerakan Rendra meraih paksa tubuh Anggi dari dalam rengkuhannya, kemudian mengangkat dan membawa tubuh mungil itu ke tempat tidur.
"Panggil dokter brengsek!" Rendra kembali memaki sambil menatap nyalang kearahnya.
Meski ia masih belum paham dengan apa yang sedang terjadi, namun otaknya tetap mampu berpikir logis. Dengan setengah berlari ia menuju tempat tidur dimana Anggi telah direbahkan oleh Rendra.
"Brengsek! Kenapa kesini?! Panggil dokter!!" suara Rendra makin emosional.
Namun ia tak menggubris, lebih memilih untuk meraih tombol nursing call yang terletak di sisi tempat tidur. Rendra yang mulutnya sudah setengah terbuka untuk kembali berteriak mendadak diam. Meski masih memasang wajah penuh amarah.
"Sayang?" Rendra mengelus pipi Anggi dengan penuh kekhawatiran.
Tak sampai semenit kemudian seorang suster masuk dengan tergopoh-gopoh. "Ada yang bisa dibantu?"
"Istri saya Sus! Istri saya pingsan!" Rendra menjawab panik.
"Dokter mana?! Tolong panggil dokter! Istri saya pingsan!" Rendra kembali mengucapkan kalimat yang hampir sama. Tanda alami sepupunya itu saat sedang diliputi ketakutan yang sangat.
"Baik, saya periksa dulu ya Mas," Suster itu menjawab tenang, kemudian mendekati Anggi untuk memeriksa denyut nadi, pupil mata, dan suhu tubuh. Lalu dengan cekatan mengambil alat komunikasi berupa walkie talkie yang tersimpan di saku seragam perawat untuk berkata, "Tolong kehadiran dokter jaga di Paviliun Tirta. Segera."
***
Ia seperti sedang bermimpi di dalam tidur namun masih bisa mendengar suara orang-orang di sekeliling. Dengan sebuah tangan besar dan hangat yang menggenggamnya lembut.
"Untuk kasus istri anda sepertinya karena tekanan darah menurun secara tiba-tiba, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak."
"Bisa karena kelelahan atau gejala dehidrasi."
"Tapi istri saya nggak papa dok?" terdengar pertanyaan penuh kekhawatiran dari sebuah suara yang sangat dikenalnya.
"Oh, enggak....nggak papa. Semua normal. Hanya tekanan darah yang rendah."
"Apa perlu di periksa lebih lanjut?"
"Kalau pasien nggak ada keluhan lain setelah siuman, sebenarnya nggak perlu."
"Saya khawatir ada hal lain yang menjadi sebab pingsannya istri saya dok."
Ia masih terus mendengar percakapan antara Rendra dan orang lain yang entah siapa, dan ingin segera membuka mata, namun terasa sangat sulit, kelopak matanya seakan ditindih oleh benda yang amat berat.
"Ya, sudah sadar dok," seru seseorang lega yang tepat berada di sampingnya. "Tenang ya Mba....pelan-pelan aja....."
Ia pun mengikuti instruksi orang tersebut, disusul hidungnya yang mulai mencium aroma khas obat-obatan yang menusuk tajam.
"Bisa lihat saya?" sebuah senyum dari seorang yang mengenakan jas putih mendadak terpampang di depan matanya. "Ini berapa?" sambil mengacungkan tiga jari.
"Tiga," jawabnya dengan suara lemah.
"Bagus," orang berjas putih tersebut tersenyum mengangguk. Lalu beralih kearah lain, "Saya buat rujukan untuk periksa ke dokter...."
Orang tersebut kembali bercakap-cakap dengan Rendra. Setelah semua selesai, genggaman di tangannya terasa semakin hangat.
"Anggi sayang?" suara penuh kelegaan Rendra tertangkap jelas di telinganya, disusul dengan senyum matahari dari wajah suaminya itu. "Udah sadar sayang?"
Ia mengangguk meski itu harus dengan perjuangan ekstra karena tubuhnya tiba-tiba terasa menjadi sangat lelah.
"Nanti kalau Mbanya sudah bisa bangun, sekitar sepuluh menitan, jangan lupa dikasih minum ya Mas," suara orang yang pertama kali memberinya instruksi kembali terdengar.
"Sama ini surat rujukan dari dokter Ali untuk pemeriksaan lebih lanjut," dari sudut matanya tertangkap bayangan seorang berseragam perawat yang sedang menyerahkan selembar kertas kearah Rendra.
"Makasih," Rendra menjawab cepat, dan begitu suster beranjak pergi, perhatian Rendra kembali tertuju penuh padanya.
"Mau minum?" Rendra mengelus keningnya lembut. Ia mengangguk, karena memang merasa sangat haus.
"Sebentar," Rendra mengambil remote di sisi tempat tidur, kemudian menekan tombol yang mengatur panel untuk menaikkan bagian punggung.
Begitu punggungnya terangkat, ia bisa melihat Rakai yang sedang berdiri di bagian kaki tempat tidurnya sambil bersidekap. Kemudian Mama Amy yang tengah duduk di sofa sambil memainkan ponsel, yang entah mengapa wajahnya terlihat sedang menahan kesal.
"Enakan?" Rendra masih memegang remote.
Ia mengangguk.
"Kurang nggak tingginya?" Rendra kembali bertanya.
"Cukup," ia menggeleng lalu mengangguk.
Rendra tersenyum senang, "Good girl." Lalu menyimpan remote hospital bed ke sisi tempat tidur, kemudian mengambil segelas cangkir diatas nakas yang masih mengepulkan asap.
"Minum teh manis dulu ya," Rendra menyuapkan sesendok teh manis padanya. Ia pun menurut dengan menyesapnya. Sesaat kerongkongan keringnya mulai terasa basah setelah dialiri oleh teh manis hangat.
"Lagi?" Rendra kembali menawarkan setelah suapan ke sekian kali.
"Sama gelasnya aja," ia mengulurkan tangan untuk meraih cangkir tersebut, namun Rendra keburu mendekatkan mulut gelas ke depan bibirnya. Membuatnya bisa langsung menyesap teh manis hangat tersebut.
"Udah, makasih," ujarnya setelah menghabiskan setengah isi cangkir. Namun sebelum Rendra sempat menjawab, perutnya mendadak mual, dan air teh yang baru saja diminumnya seolah memberontak ingin keluar. Membuatnya spontan menutup mulut.
"Kenapa?" suara Rendra kembali terdengar panik.
Namun ia tak mampu menjawab, lebih memilih menutup mulut dengan kedua tangan karena serangan rasa mual yang hebat kini tengah menguasai perut dan kerongkongannya.
"Mau muntah itu! Mau muntah!" ujar Rakai sambil menunjuk dirinya, yang kini telah berdiri di sisi lain tempat tidur, tak lagi bersidekap.
Kalimat Rakai spontan membuat Rendra meraihnya, kemudian membawanya ke dalam rengkuhan menuju ke kamar mandi. Dan begitu Rendra menurunkannya di lantai kamar mandi yang kering, ia pun langsung menghambur kearah kloset untuk memuntahkan seluruh isi perut.
"Ya ampun," Rendra bergumam sendiri melihatnya tak berhenti muntah. Dengan satu tangan memijat tengkuknya, sementara tangan yang lain menarik ujung rambutnya ke belakang agar tak terkena muntahan.
"Hoeeek......"
"Hoeeek......"
Dan cairan kuning kental yang pahit menjadi sesi penutup acara muntahnya kali ini.
"Kamu sakit?" Rendra menatapnya cemas sambil membersihkan bekas muntahan yang tersisa di sekitar dagunya dengan tisu basah.
Ia hendak menggeleng, namun seolah tiada daya.
Rendra menghela napas panjang, lalu mem flush air di kloset, kemudian kembali membersihkan daerah sekitar mulut dan dagunya dengan tisu basah, mencuci tangannya sendiri sekaligus membasahi wajahnya dengan air.
Sebelum ia sempat berkata, Rendra sudah keburu merengkuh dan membawanya keluar dari kamar mandi. Kemudian merebahkannya di atas tempat tidur.
"Mau minum lagi?" tawar Rendra sambil menunjuk cangkir berisi teh dan sebotol air mineral. Namun ia menggeleng.
"Ini kursinya," Rakai yang entah datang darimana tiba-tiba membawa masuk sebuah kursi roda elektrik ke dalam ruangan.
"Oh ya, makasih Bang. Simpan situ dulu," Rendra menjawab dengan tanpa mengalihkan pandangan darinya.
"Tadi kata dokter Ali, kalau kamu udah enakan, bisa langsung kontrol ke bawah," lanjut Rendra hati-hati.
Membuatnya mengernyit, "Aku?"
"Iya," kening Rendra mendadak berkerut. "Tadi kamu pingsan, trus barusan muntah-muntah. Mesti diperiksa intensif khawatir kamu ketularan sama aku."
Ia pun tertawa, "Nggak akan ketularan....."
"Kalau pun nggak ketularan, khawatir kamu kecapekan selama seminggu bolak balik kesana kemari."
"Nggak papa Bang," ia tersenyum menenangkan. "Nanti dibawa tidur juga sembuh."
"Oke," Rendra tersenyum mengangguk. "Kamu tidur dulu. Abis itu baru kita periksa ke dokter di lantai bawah."
Ia yang sebenarnya sama sekali tak merasa ngantuk mau tak mau mengikuti keinginan Rendra. Dan ia yang sama sekali tak merasa sakit, lagi-lagi terpaksa mengikuti kemauan Rendra untuk menggunakan kursi roda.
"Aku masih bisa jalan," kernyitnya heran.
"Jauh loh dari sini ke ruang pemeriksaan di bawah. Mesti naik turun lift. Belum jalannya," Rendra jelas tak suka didebat.
"Ya tapi kakiku masih berfungsi dengan baik, ngapain juga pakai kursi roda?!"
"Udah, Nggi," Rakai yang terlihat sedang asyik membaca koran di atas sofa ikut berdehem. "Naik aja. Daripada kamu pingsan lagi di tengah jalan. Gimana?"
"Pingsan lagi sih gampang, bisa kugendong," jawab Rendra cepat. "Masalahnya dari lift ke ruang dokter lumayan jauh jalannya."
Ia pun akhirnya menurut untuk mendudukkan diri di atas kursi roda. Dan kini, Rendra tengah mendorong kursi rodanya keluar dari lift di lantai satu. Melewati ruang tunggu yang luas, kemudian ruang pendaftaran yang sesore ini justru semakin ramai dengan calon pasien, lalu berbelok ke kanan melewati lorong panjang yang temboknya di cat warna warni ceria khas anak-anak, untuk kemudian berhenti di sebuah ruangan luas terbuka dengan meja yang terbuat dari kayu berwarna cokelat muda model front office.
Rendra kemudian menyerahkan kertas putih yang sedari tadi dipegang.
"Silahkan ditunggu," ujar seorang perawat sambil memberikan nomor antrian berbentuk print out. "Nanti dipanggil sesuai antrian."
Rendra mengangguk, kembali mendorong kursi rodanya ke deretan kursi tunggu, lalu mendudukkan diri disana.
"Kamu nggak salah dokter?" bisiknya sambil mengeryit heran demi melihat deretan orang yang duduk di kursi tunggu sebagian besar sedang hamil.
"Nope," Rendra menggeleng yakin. "Ini rekomendasi dari dr. Ali tadi," lanjut Rendra lebih yakin. "Dokter spesialis terbaik disini."
Ia hanya mencibir. Tak lama kemudian mesin pemanggil antrian menunjukkan nomor yang dipegang Rendra, membuat Rendra kembali mendorong kursi rodanya menuju meja perawat.
"Selamat sore, udah pernah kesini sebelumnya?" seorang perawat menyambut mereka dengan ramah.
"Ini pertama kali," Rendra yang menjawab.
"Baik. Kita timbang berat badan dulu ya," dengan cekatan perawat tersebut memintanya untuk menimbang berat badan, tinggi badan, mengukur suhu tubuh, dan mengecek tekanan darah.
"Barusan pingsan ini Sus," ujar Rendra yang melihat dengan seksama saat perawat sedang memeriksa tekanan darahnya.
"Oh begitu?" perawat tersebut memeriksa hasil yang tertera di layar monitor. "Tensinya 90/60."
"Wah, rendah banget?!" kening Rendra berkerut-kerut sambil meremas bahunya.
"Tapi setelah pingsan nggak ada keluhan?" perawat itu kembali bertanya.
"Habis itu muntah-muntah," lagi-lagi Rendra yang menjawab.
"Mba nya habis terbentur sesuatu?" perawat itu menuliskan hasil di atas sebuah buku bersampul hijau.
Ia hendak menggeleng namun keburu Rendra kembali bersuara, "Nggak kenapa napa tiba-tiba pingsan."
"Oh, begitu ya, baik, nanti diperiksa oleh dokter ya," perawat tersebut lalu mengecek denyut nadinya.
"Silahkan ditunggu dulu, nanti dipanggil oleh dokter," perawat itu menutup pengecekan awal kondisi tubuhnya dengan ramah.
Mereka pun kembali menunggu. Selama menunggu mereka hanya saling berdiam diri. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak berapa lama kemudian perawat memanggil namanya, "Ibu Anggi Darmastawa."
Rendra tersenyum lebar mendengar teknis pemanggilan namanya sebelum dengan cekatan mendorong kursi rodanya memasuki pintu bercat putih bersih dengan tulisan dr. Mazaya SpOg (k).
"Selamat sore......ada yang bisa dibantu?" seorang dokter muda, cantik, dengan senyum menawan menyambut mereka dari balik meja.
"Sore Dok," Rendra menyalami dr. Mazaya dengan penuh percaya diri. "Perkenalkan, saya pasiennya dr. Haikal," lanjut Rendra yakin, membuatnya mengernyit heran.
"Oh, pasien suami saya?" dr. Mazaya tersenyum antusias.
"Iya, tadi dapat rekomendasi dari dr. Ali. Jadi tahu kalau ternyata dokter masih ada hubungan dengan dr. Haikal," jawab Rendra sambil mendudukkan diri di kursi.
Oh, jadi begitu ceritanya.
"Jadi ini lagi dirawat atau gimana?"
Rendra tertawa, "Iya, lagi jadi pasien dok. Eh, tiba-tiba istri saya pingsan. Khawatir lah," Rendra mengelus kepalanya lembut.
Dr. Mazaya tertawa, "Wah, jadi ceritanya lagi opname terus malah berlanjut kesini begitu?"
"Iya betul...betul...."
Kemudian Rendra dan dr. Mazaya tertawa bersama, kecuali dirinya yang merasa aneh berada di ruang periksa seorang dokter kandungan.
"Baik, sekarang kita periksa dulu ya," dr. Mazaya beralih kearahnya. "Masih ingat hari pertama haid terakhir?"
Ia terbengong-bengong mendengar pertanyaan dr. Mazaya. "Hari pertama haid terakhir?" ia bahkan kembali mengulang pertanyaan tersebut.
"Iya. Hari pertama haid yang terakhir."
Dan kepalanya yang masih agak pening usai pingsan tadi sepertinya sedang tak mau diajak bekerja sama untuk mengingat sesuatu yang telah berlalu. Membuatnya menggeleng pelan, "Lupa."
"Baik," dr. Mazaya tersenyum sambil mengangsurkan sebuah wadah plastik kecil transparan dengan tutup berwarna kuning kearahnya. "Silahkan buang air kecil dulu disini."
"Mari," seorang perawat berniat membantunya mendorong kursi roda menuju pintu kamar mandi yang terletak di salah satu sudut ruangan, namun ia menolak dan keburu berdiri, "Saya jalan aja Sus."
"Baik," suster mengangguk.
Dan kejadian selanjutnya seperti sedang menempatkannya berada dalam adegan film syahdu yang diputar dengan gerakan slow motion.
Wajah berseri-seri Rendra, ucapan selamat dari dr. Mazaya, bahkan hingga ia merebahkan diri di atas examination table bersprei putih bersih, kemudian perawat mengolesi perut bagian bawahnya dengan sejenis gel yang terasa dingin di kulit, dan dr. Mazaya mulai menempelkan sebuah alat yang tersambung ke tiga buah layar televisi berukuran besar yang terletak di tiap sisi dinding hingga mereka bisa melihat dengan jelas tanpa harus memiringkan kepala.
Dan kalimat selanjutnya yang diucapkan oleh dr. Mazaya seolah melambungkannya terbang ke alam mimpi, dimana ia tengah berada di sebuah taman yang sangat indah berupa hamparan bunga yang sangat luas. Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah hamparan kelopak yang berwarna biru muda cerah berpadu sempurna dengan warna biru langit.
"Wah, itu dia kelihatan," ujar dr. Mazaya dengan antusias. "Lihat sayang, kamu ditengok sama Papa Mama nih."
Ia yang masih mengawang-awang menikmati pemandangan hamparan kelopak bunga berwarna biru muda mendadak tersadar saat sebuah telapak tangan yang besar, lebar, dan hangat membelai kepala sekaligus menggenggam tangan kanannya erat.
"Yang bulat besar itu kantung rahim," jelas dr. Mazaya. "Bagus, sehat, air ketubannya juga banyak, bagus."
"Yang bulat kecil sebesar kacang merah itu babynya....," dr. Mazaya tersenyum seolah turut berbahagia.
Membuat genggaman di tangan kanannya semakin menguat erat.
"Ini nanti wajahnya disini," dr. Mazaya menunjuk satu bagian dari bulatan sebesar kacang merah itu. "Udah mulai kelihatan kan bakal telinga, bibir, hidung, mata. Sehat, bagus."
Dan sebuah kecupan mendarat lembut di keningnya.
"Yang mengembik-embik di layar itu.....lihat kan?" dr. Mazaya menunjukkan bagian tengah yang berkedip-kedip. "Itu jantung baby-nya sedang berdetak."
Ia bahkan bisa mendengar dengan jelas suara Rendra yang sedang menahan napas.
"Jantung baby-nya sehat, bagus."
Dan sebuah kecupan lembut kembali mendarat pelan di keningnya.
"Sekarang....kita ukur ya...," dr. Mazaya melakukan sesuatu dengan mesin peralatannya, kemudian berkata, " 2,73 cm. Wah, sudah besar kamu sayang."
"Kalau dari hasil USG, usia janin diperkirakan sudah 8 minggu," lanjut dr. Mazaya sambil menunjuk deret tengah dari tiga baris tulisan yang terletak di sebelah kanan bawah layar, G.A 8w3d, yang artinya usia janin 8 minggu 3 hari.
"Bagus semuanya, sehat," dr. Mazaya menutup pemeriksaan USG nya dengan senyum manis.
"Nanti jangan lupa vitaminnya diminum ya, makan makanan bergizi, calon mama jangan stres, kalau bisa selalu bahagia, biar energi positifnya mengalir ke janin."
"Bulan depan kontrol lagi."
***
Keterangan :
GA. : gestational age, menunjukkan perkiraan usia kehamilan berdasarkan pemeriksaan dokter terhadap panjang tungkai lengan dan kaki maupun diameter kepala janin.
Mereka ngapain siii...
gara² ada yg ngomong ikam, auto ingat Rendra
sedangkan utk saat ini sungguh..saudara2 "malika" masih banyak berulah di jogja... shg warga sendiri yg banyak menjadi korban ketidakadilan 😭
karya nya smua bagus" bnget ak udah baca smua bnyak pembelajaran d dlam nya
syang gak ad karya yg baru lgi ya, sukses slalu