NovelToon NovelToon
BAYANG MASA LALU KELUARGA

BAYANG MASA LALU KELUARGA

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: biancacaca

Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PART 24

Setelah aula resmi ditutup, acara belum selesai.

Karena konsep pulang damai tidak ada di kamus Geng Minus Waras.

Mereka pindah markas ke atap sekolah — tempat favorit mereka sejak dulu, tempat banyak sumpah, debat, dan kentang goreng pernah jadi saksi sejarah.

Kaelan bawa speaker.

Kenzi bawa cemilan stok 1 bulan.

Damar bawa minum (yang aman diminum).

Najla dan Arlen? Mereka cuma bawa keberadaan.

Lampu kota jadi background profesional.

Angin malam jadi efek dramatis gratisan.

 

After Party Sederhana

Speaker mulai memutar lagu random — bukan yang galau, bukan yang hype, tapi anehnya… pas.

Najla duduk di bibir atap, kaki sedikit menggantung. Baju masih agak lembab dari “hujan buatan nasional”.

Kenzi nyodorin keripik.

“Lo hari ini reinkarnasi jadi bidadari banjir, Naj.”

Najla jawab datar, “minimal estetik.”

Kaelan bangga:

“Gue serious bangga. Kita sekolah bukan buat nilai doang, ternyata kita bisa bikin orang diem 3 menit tanpa HP. Itu achievement dunia.”

Damar menimpali, kecil tapi ngena:

“Kalau bisa buat orang ngerasain sesuatu… artinya lo beneran hidup.”

Semua diam sebentar.

Kalimat itu tidak puitis berlebihan…

tapi terlalu jujur untuk diabaikan.

 

Kembang Api Sekolah yang Telat 2 Bulan

Seseorang (gak jelas siapa) nyalain kembang api kecil yang harusnya dipakai di acara kelulusan, tapi nyasar dan baru dipakai sekarang.

Tzzzt… brrtt… crack!

Bunga api mekar di langit kecil, warnanya gak terlalu besar, tapi terang cukup lama.

Refleks semua mata ke atas.

Najla menghela napas, pelan:

“Kalian sadar gak… kita dari dulu paling jago pura-pura kuat.”

Kenzi gak bercanda kali ini:

“Karena kalau kita jujur rapuh, takutnya gak ada yang bisa kita pegang.”

Damar menatap kembang api, suaranya datar tapi berat:

“Padahal kita ada satu sama lain.”

Kaelan mengangguk kecil:

“Tapi dulu kita sibuk ngejaga biar gak kelihatan butuh siapapun.”

Sunyi sebentar.

Lalu Najla nyengir lirih:

“Sekarang masih gitu sih… tapi minimal ada versi trial-nya berani jujur dikit.”

Kenzi: “Versi 0.1, belum rilis resmi.”

 

Truth Moment Kecil

Najla menatap Arlen yang duduk agak di belakang, sandaran ke tembok, dengar semua tanpa motong.

“Bang.”

“Hmm?”

“Waktu lo bilang, ‘lihat gue di kursi penonton, gue angguk, lo lanjut’… itu ngebantu lebih dari yang lo tau.”

Arlen tidak banyak bergerak, tapi matanya naik dari lantai ke Najla.

“Gue gak perlu ngomong banyak,” katanya pelan.

“Gue cuma perlu ada pas lo butuh.”

Najla mengangguk kecil.

“Berarti mulai sekarang, gue juga gitu.”

Arlen melengkungkan alis, “Gitu gimana?”

Najla berdiri, nyodorin tangan dramatis kayak protagonis anime:

“Lo jatuh, gue nangkep. Lo diem, gue nemenin. Lo ngomong dikit kek batu, gue pahamin. Fair trade.”

Kenzi refleks nyeletuk:

“Ya ampun, ini perjanjian persaudaraan apa pernikahan rohani?”

Kaelan langsung nyorakin:

“CIHUY ANGKAT SUMPAH DARAH AGAR RESMI—”

Damar lempar keripik ke Kaelan biar diem, dan berhasil.

Arlen berdiri tanpa drama, no genggaman tangan, no scene besar.

Dia cuma bilang:

“Deal. Tapi jangan sok puitis lagi. Capek dengernya.”

Najla nahan tawa.

Kenzi langsung sujud syukur lebay.

Kaelan hampir nangis bangga.

 

Dialog Penutup Malam

Angin makin kencang.

Kembang api terakhir meledak pelan, lalu padam.

Najla menatap langit kosong yang masih berasap tipis.

“Dulu gue pikir bertahan hidup itu cuma soal jangan mati.”

Suaranya kecil, tapi semua dengar.

“Sekarang gue ngerti… bertahan hidup itu juga soal… jangan berhenti mulai lagi.”

Kenzi mengangkat minum plastiknya:

“Bersulang buat itu.”

Kaelan, Damar, Najla, semua ikut ngangkat minum seadanya.

Arlen?

Dia gak angkat apa-apa.

Dia cuma bilang:

“Buat besok yang nggak kita takutin lagi.”

Dan itu jadi toast paling kuat malam itu.

 

Angin malam membawa sisa tawa, luka, bangga, dan hal-hal kecil yang sedang tumbuh di tempat yang dulu kering.

Tidak mewah.

Tidak meledak.

Tidak sempurna.

Tapi hidup.

Pagi berikutnya.

Tidak ada alarm, tapi Kaelan sudah berdiri di depan pagar jam 06.02 dengan wajah seperti pembawa kabar kiamat manis.

“GENG! KITA ADA MASALAH!”

Kenzi yang baru keluar rumah sambil minum soda kaleng berhenti melangkah.

“Kalau lo bilang tukang bubur pindah tempat lagi… gue lempar lo ke selokan.”

Kaelan menggeleng cepat.

“Ini serius. Ada orang nyari kalian.”

Suasana yang tadinya ringan langsung berubah berat sepersekian detik.

Arlen yang baru mau menutup pintu berhenti.

Najla yang masih setengah sadar langsung melek 100%.

“Siapa?” tanya Arlen, nada rendah.

Kaelan menelan ludah dulu, baru jawab:

“Gak tau namanya. Tapi dia nunjukin… ini.”

Dari tas, Kaelan mengeluarkan sesuatu.

Benda kecil, tua, sedikit penyok, tapi semua langsung kenal.

Peluru.

Bukan peluru baru.

Bukan peluru ancaman.

Tapi peluru lama.

Persis seperti yang disimpan Arlen di laci, simbol bahwa mereka pernah hampir kalah, dan tetap hidup.

Damar yang baru datang membawa roti langsung berhenti mengunyah.

“…itu bukan sembarang orang,” katanya.

Najla menelan ludah.

“Kita ngubur masa lalu biar gak bangkit lagi. Kenapa dia bisa tau simbol itu?”

Arlen tidak jawab.

Tapi rahangnya mengeras tipis.

 

Pertemuan yang Tidak Direncanakan

Siang harinya.

Lokasi: warung degan pinggir lapangan.

Waktu: jam paling panas, jam paling malas, jam paling tidak mencurigakan.

Seorang cowok sudah duduk di sana duluan.

Kaos putih, sendal swallow, rambut sedikit gondrong, tampang tenang tapi matanya kayak orang yang pernah lihat hal yang nggak ingin dia ulang lagi.

Begitu mereka datang, dia hanya berkata:

“Gue cuma mau ngomong 5 menit.”

Najla langsung duduk.

Kenzi berdiri di belakang kursi seperti bodyguard ilegal.

Kaelan pura-pura santai tapi kakinya sat-set gelisah.

Damar siap mode analis bahaya.

Arlen? Duduk di depan orang itu, tanpa ekspresi.

Cowok itu mendorong gelas degan ke tengah sebagai kode “damai.”

Lalu dia bicara.

“Gue bukan musuh.”

“Gue cuma orang yang dulu pernah ada di lingkaran yang sama.”

“Kalian kabur, hilang jejak, sukses bersih. Tapi ada sesuatu yang belum tuntas.”

Hening.

Najla bertanya, langsung:

“Apa?”

Cowok itu menghela nafas.

“Orang yang dulu ngincar keluarga kalian… bukan berhenti.”

“Dia cuma nunggu sampai kalian berani hidup lagi.”

Angin panas lewat.

Ujung rambut Najla bergerak.

“Dan sekarang,” lanjutnya,

“Dia tau kalian mulai merasa aman.”

Kalimat itu tidak meledak.

Tapi justru karena pelan… dia terasa seperti jarum kecil yang menusuk tepat di kesadaran.

Arlen akhirnya bicara:

“Kalau dia mau datang… suruh dia antre.”

Cowok itu tersenyum kecil, bukan meremehkan, justru kagum.

“Gue harap sesimpel itu.”

Dia berdiri, menaruh uang di meja untuk bayar degan, lalu terakhir berkata:

“Gue nggak minta kalian lari lagi.”

“Gue cuma mau kalian siap, sebelum tenangnya direnggut tanpa izin.”

Lalu dia pergi, tanpa ada adegan dramatis.

 

Sunyi yang Tidak Nyaman

Begitu cowok itu hilang di ujung jalan, Kaelan baru berani napas normal lagi.

“Anjir… adegan apa tuh tadi…”

Kenzi menggaruk kepala kasar.

“Kayaknya masa lalu jangan diajak reuni deh.”

Najla menatap sisa es di gelasnya.

“Bang…”

Arlen sudah berdiri duluan, tangan masuk saku, dan sebelum adiknya selesai bicara dia sudah jawab :

“Tenang bukan berarti lengah.”

Najla mengangguk.

Bukan takut.

Lebih ke… mengingat cara berdiri lagi.

 

Malamnya, di atap rumah

Tidak ada rapat, tidak ada panik, tidak ada escale drama.

Tapi ada keputusan tanpa harus diumumkan.

Damar memeriksa ponselnya, kemungkinan pilihan aman, kemungkinan jalur keluar, kebiasaan lama yang kembali tanpa diminta.

Kenzi melatih flipping pisau lipat kecil di tangan, refleks otot, bukan ancaman.

Kaelan menyalakan speaker kecil, volumenya rendah — soundtrack biar pikiran nggak terlalu sunyi.

Najla duduk ujung atap, memeluk lutut, tapi wajahnya tidak ciut.

Arlen berdiri di belakang, sandaran seperti biasa.

Hening 8 detik, lalu Najla nyeletuk:

“Bang. kalau tenang kita terusik lagi…”

Arlen menyahut:

“…kita bikin tenang yang baru.”

Kaelan angkat jempol:

“Lebih keras, lebih nyebelin, lebih kita.”

Damar mengangguk:

“Musuh boleh datang. Tapi dia harus antre lewat geng ini dulu.”

Kenzi nyengir miring:

“Dan gue gak ramah soal antrian.”

Najla akhirnya tersenyum kecil.

Bukan senyum utuh, tapi senyum yang berarti siap, bukan menyerah.

 

Penutup Malam

Angin lewat lagi.

Arlen berkata pelan, hampir seperti kesimpulan malam:

“Dulu kita lari biar hidup.”

“Sekarang kita tetap di sini… biar hidup tetap milik kita.”

Tidak ada yang membantah.

Karena semua di atap itu tahu:

Bahaya mungkin kembali.

Tapi mereka bukan orang yang sama lagi.

Bukan karena jadi lebih kuat…

Tapi karena mereka tidak berdiri sendirian lagi.

1
아미 😼💜
semangat update nya thor
Freyaaaa
🤩🤩🤩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!