NovelToon NovelToon
Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Belenggu Cinta Kakak Ipar Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:BTS / Selingkuh / Cinta Terlarang / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Adrina salsabila Alkhadafi

Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 24: Kehangatan yang Membekukan dan Pertanyaan yang Menyentuh

​Jumat Malam.

​Malam itu, setelah makan malam, Luna duduk di ruang tengah bersama Naira. Raka sedang di kamarnya, sibuk dengan panggilan konferensi yang ia klaim penting—sebuah alasan yang nyaman untuk menjauh dari ruang komedi situasi.

​Naira merajut. Luna pura-pura membaca buku, sesekali matanya melirik hoodie hitamnya yang terlipat di kursi. Di saku itu, kunci apartemen terasa seperti beban yang menariknya ke bawah, ke dasar dosa.

​Keheningan di antara mereka terasa tebal, dipenuhi oleh kebaikan Naira yang tulus dan pengkhianatan Luna yang mengakar.

​"Luna," Naira memecah keheningan, tanpa mendongak dari rajutannya. "Aku perhatikan, kamu benar-benar berubah."

​Luna menelan ludah. Ini dia.

​"Berubah bagaimana, Kak?" tanya Luna, berusaha menjaga suaranya tetap ringan.

​Naira meletakkan rajutannya sebentar, menatap Luna dengan mata penuh kasih sayang yang membuat perut Luna mual. "Kamu jadi lebih tenang. Dulu, kamu selalu terlihat gelisah, seperti ada yang mau kamu ledakkan. Sekarang, kamu lebih... utuh. Aku senang melukis memberimu kedamaian."

​Luna memaksa dirinya tersenyum tulus. "Iya, Kak. Aku rasa aku terlalu lama menganggur. Melukis itu bagus untuk fokus. Aku jadi nggak terlalu banyak berpikir yang aneh-aneh."

​"Syukurlah. Mas Raka benar, kamu cuma butuh ruang dan kegiatan," Naira mengambil kembali rajutannya. "Omong-omong, kamu belum pernah menunjukkan lukisanmu, kan? Aku ingin lihat."

​Jantung Luna berdebar kencang. "Belum ada yang selesai, Kak. Ini masih tahap eksplorasi warna dasar dan teknik air. Lagipula, cat air itu butuh waktu lama untuk kering, dan aku nggak mau bawa-bawa lukisan basah di sepeda."

​Luna berbohong dengan fasih, sebuah keahlian yang ia dapatkan dari Raka. Ia tidak bisa membawa lukisan abstraknya yang penuh hasrat dari Unit 903. Itu terlalu jujur.

​"Oh, ya ampun, kamu benar. Sulit ya kalau harus bawa-bawa. Tapi kalau sudah ada yang kering dan kamu mau pamer, tunjukkan ke kami, ya? Aku mau belikan pigura yang bagus," bujuk Naira.

​"Pasti, Kak," Luna menjanjikan, merasa semakin tenggelam dalam lumpur kebohongannya.

​Pukul sembilan, Raka keluar dari kamar. Ia tampak segar dan santai. Ia duduk di sofa tunggal, mengambil remote televisi.

​"Mas Raka, aku senang lihat Luna sekarang," ujar Naira, bersandar manja di bahu Raka. Kehangatan Naira dan Raka terasa seperti sengatan listrik bagi Luna. "Dia sudah lebih stabil sejak mulai melukis."

​Raka menoleh ke Luna, tatapannya netral, namun Luna melihat kilatan pujian—Mission Accomplished.

​"Tentu saja. Luna cerdas. Dia hanya perlu menyalurkan energinya," jawab Raka, tangannya mengusap punggung Naira dengan gerakan yang begitu lembut. "Bagaimana hari ini, Lun? Apa ada warna yang menarik?"

​Pertanyaan Raka adalah kode tersembunyi. Apa ada kesulitan? Apakah ada yang melihatmu?

​Luna segera menangkap umpan itu. "Ada. Aku sedang mencoba mencampur warna merah dan hitam. Awalnya aku pikir akan terlihat kotor, tapi ternyata hasilnya bisa jadi sangat intens."

​Raka menahan senyumnya. Merah untuk hasrat, hitam untuk kegelapan. Intens.

​"Merah dan hitam," ulang Raka, seolah memikirkannya dengan serius. "Itu kombinasi yang kuat. Itu menunjukkan keberanian."

​Naira tidak menyadari sandiwara kecil itu. "Wah, keren! Kamu harus tunjukkan kalau sudah selesai. Aku penasaran dengan lukisan yang intens!"

​Luna menunduk sedikit, menyembunyikan senyum yang nyaris meledak. Ia baru saja mendiskusikan hasrat terlarangnya di depan korban utama. Ini adalah thrill yang membuat Raka dan dirinya begitu terikat.

​Tiga Hari Kemudian. Pertemuan di Unit 903.

​Di tengah sesi mereka yang tegang dan penuh pengakuan, Raka tiba-tiba menghentikan gerakannya. Ia memandangi Luna dengan mata yang tidak biasa. Ada sedikit keraguan di sana, yang segera ia hapus.

​"Kamu punya parfum baru?" tanya Raka, suaranya sedikit serius.

​Luna mengerutkan kening. "Tidak. Parfum yang sama."

​"Tapi kamu bau... seperti bunga mawar yang sangat manis," ujar Raka.

​Luna terdiam sejenak. Ia ingat mawar putih yang Raka bawa minggu lalu. "Mungkin sisanya masih menempel di rambutku. Atau hoodie-ku."

​Raka menggeleng, kini dengan nada hampir mencela. "Itu bukan bau sisa, Luna. Itu bau yang disengaja. Kamu mengenakan aroma mawar yang terlalu jelas. Itu berisiko. Itu bukan bau dirimu."

​"Kenapa kamu peduli?" Luna merasa sedikit marah karena dikoreksi. "Aku pikir kamu suka bunga mawar itu."

​"Aku suka mawar itu karena itu adalah alibi yang sempurna di sini," Raka menegaskan, matanya menajam. "Tapi kamu tidak boleh membawa alibi lain ke dalam rumah itu selain bauku. Aroma mawar ini terlalu wangi, Luna. Itu bisa dipertanyakan."

​Raka bangkit, berjalan ke tas Luna, dan mengeluarkan parfum yang dimaksud. Itu adalah botol kecil yang diberikan Naira padanya, aroma mawar segar.

​"Naira memberikannya padaku minggu lalu. Katanya aku perlu wewangian baru untuk self-care," jelas Luna, merasa bersalah.

​Raka mengambil botol itu dan melemparnya ke tempat sampah dengan suara denting yang tegas.

​"Tidak ada lagi parfum, Luna. Kamu hanya boleh membawa bau sisa dari sini. Bau yang bercampur dengan udara bersih, bau cat air, dan... bau kita," Raka kembali ke ranjang, matanya menuntut. "Aku tidak bisa membiarkan Naira curiga bahwa kebahagiaanmu berasal dari bau yang asing. Dia mengenali setiap aroma di rumah itu, Luna. Setiap aroma. Aku mengenalnya lebih baik daripada kamu."

​Raka meraih pergelangan tangan Luna, menariknya mendekat. "Kamu milikku, dan kebahagiaanmu adalah hasil manipulasi kita. Jangan rusak dengan kesalahan kecil yang bodoh. Keteranganmu harus tertulis dengan jelas, bukan dengan aroma yang ambigu."

​Luna, yang awalnya defensif, kini merasa tersentuh oleh perhatian Raka terhadap detail. Dia benar. Parfum adalah kesalahan amatir.

​"Aku minta maaf," bisik Luna. "Aku akan lebih hati-hati."

​"Bagus," Raka mencium bahu Luna. "Sekarang, kita ulangi lagi. Dan jangan berpikir tentang mawar. Pikirkan tentang hitam dan merah.

Mereka jatuh ke ranjang, di mana kain seprai abu-abu gelap itu menjadi saksi bisu kebenaran mereka yang tersembunyi. Raka tidak menciumnya dengan kelembutan, melainkan dengan urgensi seorang pria yang haus akan pengakuan.

​Sentuhannya kini bukan sekadar hasrat, tetapi penegasan kekuasaan dan kepemilikan. Luna mendapati dirinya membalas setiap dorongan dengan ferocitas yang sama. Ia memegang erat bahu Raka, merasakan kekuatan ototnya, sebuah jangkar di tengah badai emosi yang ia ciptakan sendiri. Tidak ada bisikan cinta, hanya gumaman serak dan pengakuan yang menyakitkan. Luna menyukai setiap kata-kata Raka yang tidak pernah berjanji apa-apa selain kegilaan ini. Dia memintanya untuk mengatakan namanya, bukan dengan kasih sayang, tetapi dengan penekanan, agar nama itu terukir dalam udara, menembus setiap lapis kepura-puraan di dunia luar. Mereka adalah dua orang yang mencoba menemukan diri mereka sendiri dalam kehancuran rumah tangga, dan keintiman ini adalah satu-satunya tempat di mana mereka bisa jujur tentang kerusakan itu. Setiap sentuhan terasa seperti tinta yang menuliskan bab baru—bab yang dilarang—di kulit mereka.

​Raka mengangkat tubuhnya sedikit, memandang Luna dengan sorot mata yang penuh kemenangan. Ia tersenyum sinis, senyum yang hanya akan ia tunjukkan di ruangan ini.

​"Aku selalu tahu kamu akan menjadi seperti ini, Luna. Berani, gelap, dan hanya untukku."

​Luna menutup matanya, menyerah sepenuhnya pada obsesi Raka, yang telah menjadi obsesinya sendiri. Di Unit 903, mereka tidak hanya menemukan gairah, tetapi juga sebuah pelajaran pahit tentang bagaimana membangun kebohongan yang sempurna.

1
kalea rizuky
benci perselingkuhan apapun alesannya sumpah eneg bgg
putri lindung bulan: iya kk, aku juga benci,tapi mau apalagi,nasi sudah jadi bubur
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!