NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:159
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengejaran dari cahaya

Fajar belum sempurna saat cahaya keabu-abuan menembus jendela kayu rumah tua itu.

Suara burung gagak di kejauhan menyambut hari baru yang belum tentu membawa harapan.

Di dalam kamar sempit yang hanya diterangi cahaya lentera, Anzu duduk di sisi ranjang, menjaga Alfred yang masih terbaring lemah.

Luka di bahu dan punggungnya sudah dibersihkan, tapi napasnya masih berat. Setiap kali dada Alfred naik dan turun, Anzu bisa mendengar bunyi pelan — seperti desah dari seseorang yang bertahan hanya karena tekad.

Pria tua itu datang perlahan dari tangga bawah, membawa secangkir air dan bungkusan kecil berisi ramuan kering.

“Sudah semalaman kau di situ,” katanya lembut.

“Dia akan hidup. Tapi kalian tak bisa tinggal lebih lama di sini.”

Anzu menoleh, menatap pria tua itu dengan mata yang dipenuhi kantuk dan cemas.

“Berapa lama sebelum mereka menemukan rumah ini?”

“Kalau mereka membagi pasukan untuk menyisir seluruh kota, mungkin satu hari. Paling lama dua.”

Pria tua itu menatap jendela, lalu kembali pada Anzu.

“Dengarkan aku baik-baik. Ada tempat bernama Velmore Hollow, sebuah lembah sunyi di utara. Sekitar lima puluh kilometer dari sini. Tempat itu dulu jadi rute rahasia bagi para pengungsi perang. Tak banyak orang yang tahu jalannya sekarang.”

Ia meletakkan peta kecil dan sebuah kantong kulit di meja.

“Bekal, ramuan, dan sedikit perak untuk perjalanan. Kalian harus berangkat begitu temanmu bisa berdiri.”

Anzu menatap barang-barang itu, lalu berkata pelan,

“…Kenapa kau membantu kami sejauh ini?”

Pria tua itu tersenyum samar.

“Karena dulu… aku juga pernah diselamatkan seseorang yang menentang kerajaan.”

 

Beberapa hari kemudian

Langit Lambergeth tampak redup, awan tebal menggantung berat di atas hutan utara.

Alfred sudah bisa berjalan, meski langkahnya masih goyah. Tubuhnya dibalut perban di beberapa bagian, tapi matanya sudah kembali tajam.

Anzu memasang tali ransel di punggungnya. “Kau yakin sanggup berjalan sejauh itu?”

Alfred tersenyum tipis. “Kalau aku bisa mengalahkan ksatria itu, maka berjalan lima puluh kilometer bukan masalah.”

Pria tua itu berdiri di depan pintu, menatap keduanya bersiap.

“Jangan lewat jalan utama. Ambil jalur sungai kecil di timur, lalu belok ke arah batu-batu besar yang menyerupai gerbang. Dari sana, jalan setapak akan menuntun kalian ke lembah.”

Anzu mengangguk.

Sebelum berangkat, ia menatap pria itu sekali lagi dan bertanya,

“Namamu… aku belum tahu.”

Pria tua itu terdiam sesaat, lalu menjawab,

“Orang-orang dulu memanggilku Gareth.”

Anzu menatapnya sejenak, seperti ingin mengingat wajahnya.

“Terima kasih, Tuan Gareth. Aku akan membalas ini suatu hari.”

Gareth tersenyum samar. “Kau tak perlu membalas. Cukup bertahan hidup.”

Hutan utara Lambergeth sunyi. Udara lembap, dedaunan meneteskan sisa hujan malam.

Anzu dan Alfred berjalan dalam diam, hanya suara langkah mereka yang terdengar di antara desir angin.

Namun semakin jauh mereka melangkah, semakin berat suasananya.

Anzu beberapa kali menoleh ke belakang, merasa ada yang mengikuti.

“Kenapa berhenti?” tanya Alfred.

“…Entah,” jawab Anzu pelan. “Ada sesuatu di udara. Bukan hewan… tapi seperti aura.”

Dan benar saja — beberapa menit kemudian, suara logam bergesekan terdengar dari balik pepohonan.

CLING… CLANG…

Dari kabut muncul siluet-siluet berzirah perak.

Lambang Kerajaan Celestia terpampang jelas di dada mereka.

“Mereka menemukan kita,” gumam Alfred, menarik pedangnya.

Jumlah mereka… tak kurang dari sepuluh orang.

Lingkaran zirah menutup mereka rapat, dan dari celah helm terdengar suara pemimpin regu,

“Menyerahlah. Atas nama Cahaya Celestia, kalian akan ditangkap dan diadili!”

Anzu menatap mereka dingin.

“Aku sudah pernah tertangkap sekali,” katanya datar. “Jadi tak perlu mengulanginya.”

Para ksatria maju serempak.

Suara benturan baja menggema di hutan.

Anzu dan Alfred bergerak beriringan — Alfred menahan serangan dari depan, sementara Anzu memotong dari sisi.

Mereka berhasil menjatuhkan dua ksatria dalam waktu singkat, tapi jumlah musuh terlalu banyak.

Pedang beradu, percikan cahaya dan aura menari di udara.

“Anzu!” teriak Alfred, menangkis dua pedang sekaligus.

“Kita tak bisa terus bertahan begini!”

Anzu memejamkan mata sejenak.

Aura merah perlahan muncul di tubuhnya, berdenyut kuat — mengguncang udara di sekitarnya.

Saat ia membuka mata, cahaya merah itu menyalakan kabut hutan.

Dengan satu gerakan, ia menebas ke depan — udara bergetar, dua ksatria terlempar ke belakang.

Keseimbangan mulai berubah.

Anzu dan Alfred kini mendesak mereka mundur.

Namun, tiba-tiba langkah mereka terhenti.

Dari balik kabut, seseorang berjalan perlahan — zirah putih keperakan, dengan jubah emas yang berkilau lembut di antara pohon.

Di punggungnya, sebuah lambang sayap bercahaya samar.

“Dia…” Alfred tertegun.

“Seorang Ksatria Suci…”

Pria itu menatap Anzu dengan mata biru tajam yang nyaris tak manusiawi.

“Aku telah diberi perintah langsung. Makhluk dengan aura merah… harus dihancurkan.”

Anzu menggertakkan gigi. Aura merahnya bergetar, tapi cahaya dari tubuh sang ksatria suci begitu kuat — memancarkan energi suci yang menusuk.

Mereka berdua saling serang.

Setiap benturan menciptakan ledakan cahaya.

Anzu terpental beberapa kali, tubuhnya nyaris tak mampu menahan dorongan kekuatan suci itu.

Luka terbuka lagi di lengan dan bahunya.

“Tidak adil…” desis Alfred, mencoba membantu tapi diserang oleh dua ksatria lain.

Anzu terdesak ke batu besar, napasnya tersengal.

Ia tahu — jika terus bertahan, mereka berdua akan mati.

Namun di tengah tekanan itu, pikirannya berputar cepat.

Ia memperhatikan gerakan lawan: pola tebasan tinggi, dorongan aura suci selalu terkonsentrasi di atas bahu kanan.

Dan di antara satu langkah itu — ada celah.

Anzu mengalihkan aura ke pedangnya, menunggu momentum.

Saat tebasan berikutnya datang, ia berlutut dan menebas rendah — bilahnya memotong kaki sang ksatria suci.

Suara logam dan teriakan keras menggema.

Cahaya putih meledak dari luka itu.

Anzu tidak menunggu. Ia berlari ke arah Alfred, menariknya, dan mereka kabur ke arah lembah.

“Anzu! Dia akan—”

“Jangan lihat ke belakang!” teriak Anzu.

Langit di belakang mereka menyala sebentar — ledakan aura suci menghancurkan sebagian hutan.

Mereka berlari sampai napas habis, tubuh berlumuran darah dan lumpur, sampai akhirnya menemukan gua di tebing batu.

 

Dalam Gua api kecil menyala, memantulkan cahaya oranye ke dinding basah.

Anzu duduk bersandar, darah menetes dari lengan kirinya.

Alfred terbaring di sisi lain, kelelahan, tapi masih hidup.

Di luar, hujan mulai turun lagi.

Suara petir bergemuruh jauh di langit utara.

Anzu menatap ke arah mulut gua, mata merahnya menyala samar dalam gelap.

“Ksatria suci…” gumamnya pelan.

“Essence mereka… benar-benar bertentangan dengan auraku.”

Alfred menatapnya, suara serak.

“Kalau begitu… apa langkahmu selanjutnya?”

Anzu menunduk, memejamkan mata.

“Untuk saat ini… kita bertahan. Dan saat aku sudah cukup kuat…”

Ia membuka matanya — tatapan itu dingin, tapi penuh tekad.

“…aku akan mengembalikan cahaya mereka… ke dalam kegelapan.”

Di luar gua, suara hujan menelan dunia. Dan di kejauhan, cahaya putih samar berpendar di antara pepohonan — tanda bahwa perburuan belum berakhir.

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!