Setelah ditolak oleh gadis pujaan kampus, Rizky Pratama tiba-tiba membangkitkan sebuah sistem ajaib: setiap kali ia mendapat satu pengikut di siaran langsung, ia langsung memperoleh sepuluh juta rupiah.
Awalnya, semua orang mengira Rizky hanya bercanda.
Namun seiring waktu, ia melesat di dunia live streaming—dan tanpa ada yang menyadari, ia sudah menjelma menjadi miliarder muda Indonesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apa aja 39, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Hitam dan Merah Juga Merah
“Keterlaluan… dia bahkan menolaknya!”
Para siswa di kelas heboh bukan main. Semua mata mereka menatap ke arah Rizky Pratama dengan campuran kagum dan iri. Dua gadis tercantik di sekolah, Ayu dan Dinda, baru saja membawakannya makan siang, tapi bukannya menerima dengan senang hati, Rizky malah menolak dengan santai.
“Kalau aku yang dibawain sarapan sama mereka, aku rela nggak makan sebulan!” bisik salah satu cowok di bangku belakang.
“Kalau aku, lebih baik langsung sujud syukur.” sahut yang lain dengan suara lirih, wajahnya memerah karena kesal.
Arman, yang duduk tak jauh dari sana, sudah menggertakkan giginya sejak tadi. Wajahnya memerah, matanya menyala penuh amarah. “Sialan, kenapa orang ini tega banget menolak perhatian dua cewek tercantik sekolah?”
Belum sempat ia melanjutkan, seorang siswa lain menimpali, “Bukan dua, tapi tiga! Barusan Sinta juga kasih dia roti.”
Arman sampai hampir batuk darah mendengarnya. Rasanya jantungnya ditusuk berulang kali. “Kenapa? Kenapa harus dia?!” teriaknya dalam hati.
Di sekolah ini, ia selalu kalah dalam hal popularitas dengan Rizky. Dan sekarang, bahkan dalam urusan hati para gadis, ia pun tak ada apa-apanya.
Tanpa bisa menahan emosi, Arman berdiri dan menunjuk Rizky sambil berteriak, “Rizky, bagaimana mungkin kamu bicara seperti itu ke Dinda? Dia jelas-jelas tulus sama kamu, tapi kamu malah sibuk godain cewek lain. Apa kamu pantas untuk Dinda?!”
Kelas langsung hening. Semua orang menoleh ke arah mereka.
Rizky hanya melirik sebentar, wajahnya tetap tenang. Ia bahkan terlihat bingung dengan teriakan Arman.
Sementara itu, Dinda tidak terlihat marah. Justru ekspresinya tenang, seakan ia tahu bagaimana sikap Rizky sebenarnya.
Yang justru terlihat semakin kacau adalah Arman sendiri. Wajahnya merah padam, keringat dingin mengalir di pelipis.
“Arman, tolong jangan ikut campur. Ini urusan aku dengan Rizky, bukan urusanmu,” kata Dinda dingin.
Arman membeku. Ia tak menyangka gadis yang ingin ia bela justru menolaknya mentah-mentah.
“Dinda, kamu… kamu nggak tahu sifat asli Rizky! Dia itu bajingan! Main mata sama Ayu, sama Sinta, bahkan sama kamu juga! Dia cuma mempermainkan kalian bertiga sekaligus!”
Dinda mendengus sinis. “Rizky tidak punya pacar. Jadi apa masalahnya? Kami hanya bersaing secara adil. Itu bukan urusanmu.”
Kata-katanya membuat seluruh kelas terdiam.
Ayu yang sejak tadi duduk di samping hanya menambahkan dengan nada menyindir, “Arman, jangan-jangan kamu cemburu karena nggak pernah dilirik cewek?”
“A-aku…” Arman kehilangan kata-kata. Wajahnya semakin merah.
Rizky menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan tenang. Ia menepuk bahu Arman dan berkata pelan namun penuh tekanan, “Kamu tahu, Man… wanita itu bukan untuk dijilat. Kalau kamu terus-menerus jadi penjilat, seumur hidup kamu nggak akan punya apa-apa.”
Kalimat itu menghantam Arman lebih keras daripada pukulan fisik. Rizky pun berbalik dan melangkah masuk ke dalam gedung kelas dengan tenang, meninggalkan suasana penuh bisik-bisik kagum.
“Sial… kenapa aku jadi merasa Rizky itu… tampan banget ya?” celetuk seorang siswi dengan wajah memerah.
“Kalau dipikir-pikir, ucapannya ada benarnya juga. Cewek nggak bisa ditaklukkan dengan cara menjilat.”
Arman mengepalkan tinjunya erat-erat, dadanya terasa terbakar. Ia ingin sekali meninju wajah Rizky, tapi kakinya seakan terpaku ke lantai.
Dengan wajah penuh dendam, ia pun melangkah keluar kelas. “Tidak, aku harus mengungkap sifat asli bajingan itu. Aku nggak akan biarkan dia terus dipuja.”
—
Arman langsung memanjat tembok sekolah dan pergi ke warung internet terdekat. Begitu masuk, ia menyingsingkan lengan baju, duduk di depan komputer, dan mulai mengetik dengan penuh emosi.
Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. Tak, tak, tak, tak!
“Rizky Pratama itu bajingan! Dia mempermainkan tiga wanita sekaligus! Semua gadis di SMA 1 harus hati-hati dengannya!”
Ia menulis manifesto lebih dari seribu kata, meluapkan semua amarah dan iri hatinya. Bukan hanya kata-kata, ia juga mengunggah beberapa foto hasil jepretan sembunyi-sembunyi dari teman-temannya. Ada foto Rizky yang ditarik oleh Ayu dan Dinda, juga foto ketika Sinta menyerahkan roti padanya.
Begitu postingan itu masuk forum sekolah, gemparlah seluruh SMA 1.
Terutama para cowok—mereka langsung ramai-ramai menghujat Rizky.
“Sudah kuduga dia memang bukan orang baik.”
“Hanya karena kaya, dia pikir bisa mempermainkan perasaan cewek.”
“Bajingan besar, sumpah!”
Namun, reaksi para cewek justru berbeda. Alih-alih menghujat, banyak yang membela Rizky.
“Kenapa nyalahin Rizky? Dia kan nggak punya pacar. Yang ngejar dia itu para cewek, bukan sebaliknya.”
“Bener, malah Ayu, Dinda, dan Sinta yang kelihatan murahan.”
“Huh, cewek-cewek itu cuma modal cantik doang.”
Dalam sekejap, forum sekolah terbagi dua kubu: cowok-cowok yang iri, dan cewek-cewek yang justru makin penasaran dengan Rizky.
—
Sementara itu, Rizky sama sekali tidak tahu ia sedang jadi bahan gosip besar. Ia sedang tidur siang di kelas, wajahnya terlihat damai.
“Rizky! Rizky, bangun cepat!” sahut Fajar, sahabatnya, sambil mengguncang bahunya.
Dengan mata setengah terbuka, Rizky mengerang, “Apaan sih, Jar? Ganggu banget.”
“Lu terkenal, bro!” Fajar langsung menyodorkan ponselnya. “Lihat nih. Ada yang nyebarin foto-foto lu sama Ayu, Dinda, sama Sinta. Sekarang forum sekolah lagi rame banget, semua orang ngomongin lu.”
Rizky buru-buru mengambil ponsel itu, wajahnya berubah. “Sialan, siapa yang tega nyebar beginian?”
Namun sebelum ia sempat kesal lebih jauh, sebuah suara notifikasi sistem tiba-tiba terdengar di kepalanya.
[Ding! Penggemar bertambah +1]
[Ding! Penggemar bertambah +1]
[Ding! Penggemar bertambah +1]
“Hah?!” Rizky melotot. Ia langsung membuka aplikasi siaran langsungnya.
Ruang streaming-nya yang biasanya sepi kini penuh komentar.
[Bajingan, dasar cowok brengsek!]
[Lu nggak tau diri, bro. Hati-hati nanti kena batunya!]
[Aku harap lu sadar diri, jangan sok tampan!]
Rizky menggaruk kepalanya. “Apa-apaan ini? Mereka ngata-ngatain, tapi malah follow gue?”
Ia menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Ya sudahlah… hitam atau merah, yang penting tetap merah. Kalau bisa bikin gue tambah penggemar, silakan saja. Haters pun duit.”
Tiba-tiba pintu kelas terbuka keras. Seorang pria paruh baya berkepala plontos masuk dengan wajah dingin.
Seluruh kelas langsung menahan napas.
“Itu… Dekan!” bisik seseorang.
Pria itu melangkah maju dan berkata dengan suara berat, “Siapa yang bernama Rizky Pratama di sini?”
Seluruh kelas serempak menoleh ke arah Rizky.
Rizky hanya bisa terdiam, bibirnya membentuk senyum tipis. “Sial… kali ini masalah apa lagi?”