Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.
Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.
Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.
Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Pernikahan
***
Hujan baru saja reda sore itu. Udara di halaman rumah Kinanti masih lembab, menyisakan aroma tanah basah yang menusuk hidung.
David, pulang lebih lambat dari biasanya, jaketnya lembab oleh embun, rambutnya sedikit basah, dan di tangannya tergenggam kantong plastik beraroma menggoda.
Kinanti menyambutnya di teras dengan senyum yang selalu membuat lelah David, seolah rontok begitu saja.
“Sayang, kamu kok baru pulang? Terlambat dua jam,” ucap Kinanti setengah bercanda, suaranya hangat tapi ada sedikit nada khawatir.
David menatapnya sambil tersenyum. “Iya, Sayang. Mas terlambat karena beli martabak dulu. Kamu lama kan nggak makan martabak kesukaanmu?”
Sejenak mata Kinanti berbinar seperti anak kecil yang mendapat permen. “Mas, sweet banget sih.” Ia melangkah mendekat, mengecup pipi suaminya dengan cepat, lalu menerima kantong plastik itu sambil menggendong Maura, bayi mungil mereka yang kini mulai pandai merengek manja.
“Mas, gendong Mauren dulu ya. Aku mau menata martabak telur ini di piring. Nanti kita makan sama-sama, sekalian sama Naura,” kata Kinanti sambil berjalan menuju dapur.
Mendengar nama Naura disebut, dada David sedikit mengeras. Ia berusaha menahan getaran aneh di hatinya. “Iya, Sayang. Sini, Mauren ikut Papa.”
David menerima tubuh mungil itu. “Anak cantik, anak manis, anak pinter…” gumamnya lembut sambil menimang, menghirup aroma bayi yang menenangkan.
Namun ketenangan itu hanya sebentar. Dari lorong kamar, Naura muncul dengan langkah pelan, wajahnya pucat tapi matanya tajam. Ia berhenti di depan David, menatapnya tanpa senyum.
“Kamu nggak adil sama aku, Mas,” ucapnya lirih tapi jelas, “Sama anak Mbak Kinan saja kamu bisa baik begitu.”
David menatapnya lekat-lekat, mencoba menyembunyikan kegugupannya. “Aku juga akan sayangi anak kamu nanti. Tapi kamu sekarang nggak usah ngomongin kehamilanmu di rumah ini lagi. Kinanti bisa dengar.”
Naura mengangkat dagunya, nada bicaranya meninggi. “Biar aja dengar, biar kamu bisa tanggung jawab.”
“Jangan egois, Naura,” desis David dengan rahang mengeras. “Kalau orang tahu, korbannya bukan cuma Kinanti, bukan cuma aku, tapi kamu. Karir kamu, karir kedua orang tua kita. Kamu nggak ingin air mata mereka tumpah karena kesalahan kita.”
Naura menahan napas, hatinya panas. “Kenapa hanya aku yang harus berkorban?”
David menatapnya dengan mata sayu. “Bukan hanya kamu. Aku juga. Aku nggak bisa bersatu dengan wanita yang aku sayang.” Jemarinya sempat terulur, membelai rambut Naura, seolah ingin meredakan amarah itu.
Namun suara langkah dari arah dapur membuat mereka berdua tersentak. David buru-buru menarik tangannya. Kinanti muncul sambil membawa piring berisi martabak yang baru saja ia potong.
Naura cepat-cepat menyeka air mata yang hampir jatuh. “Aku… ke kamar dulu,” ucapnya, lalu berlalu.
“Mas, Naura kenapa kok nangis?” tanya Kinanti sambil menaruh piring di meja makan.
David berusaha tersenyum, menutupi kegugupannya. “Naura cuma terharu aja. Nggak nyangka Yusuf mau menikahinya dalam waktu dekat.”
Kinanti mengangguk polos, tak sedikit pun mencurigai apa yang sebenarnya terjadi.
Malam itu
David tidur dengan mata terbuka lama. Setiap kali memejam, wajah Naura muncul dengan tatapan kecewa. Tapi ia harus bertahan. Satu kata yang terucap di waktu yang salah bisa menghancurkan segalanya.
Di kediaman Yusuf. Pria yang diam-diam menjadi bayangan dalam cerita ini—juga gelisah. Ponselnya berkali-kali ia tatap, menunggu pesan dari Naura yang tak kunjung datang. Kata-kata terakhir Naura sore tadi terus terngiang di kepalanya: “Aku nggak enak badan.”
Pagi buta, Yusuf tak tahan lagi. Ia keluar rumah membawa bubur ayam hangat, sekotak buah segar, dan setangkai bunga mawar merah. Bunga itu ia pilih bukan sekadar simbol cinta, tapi juga sebagai penenang, setidaknya itu yang ia harap.
Di rumah Kinanti
Mentari belum tinggi, embun masih bertengger di ujung daun ketika pagar rumah terbuka perlahan. Yusuf melangkah masuk dengan hati-hati. Ia tak ingin semua orang tahu kedatangannya.
Namun langkahnya terhenti di depan pintu ketika melihat Kinanti keluar dari dapur, masih mengenakan daster biru dengan rambut diikat seadanya. Kinantu segera mengambil jilbab instan dan memakainya.
“Eh, Mas Yusuf?” Kinanti terkejut. “Pagi-pagi sudah ke sini?”
Yusuf berusaha tenang. “Iya, Mbak… aku dengar Naura nggak enak badan. Jadi aku bawakan bubur, buah. Niatnya… ya, buat sarapan dia."
Kinanti tersenyum kecil. “Wah, perhatian sekali. Naura memang lagi lemas. Masuk aja, taruh di meja. Nanti aku yang bawain ke kamarnya.”
Namun sebelum Yusuf sempat melangkah, dari arah tangga terdengar suara Naura. “Siapa, Mbak?”
Naura turun perlahan, wajahnya masih pucat, tapi matanya langsung menangkap sosok Yusuf di ruang tamu. Ada kilatan lega sekaligus takut di tatapannya.
“Mas Yusuf…” suaranya bergetar.
Yusuf mencoba tersenyum, tapi di balik senyum itu ada segunung kekhawatiran. “Aku bawain ini, biar kamu cepat sembuh.”
Kinanti memandang keduanya bergantian, tak menyadari percikan rahasia yang berloncatan di udara. “Ya sudah, kalian ngobrol aja. Aku mau ke dapur lagi.”
Begitu Kinanti menghilang di balik pintu, suasana di ruang tamu berubah. Yusuf mendekat, menaruh bubur di meja, lalu menyodorkan bunga. “Aku nggak bisa tidur mikirin kamu. Kamu kelihatan pucat sekali.”
Naura menunduk, jemarinya meremas ujung bajunya. “Mas… kamu kan harus kerja, kenapa repot kesini
“Tapi aku nggak tahan pengen lihat kondisi kamu,” bisik Yusuf. “Aku takut kamu sakit dan aku nggak ada di sampingmu.”
Ada jeda hening, hanya terdengar detak jam dinding yang pelan. Di balik dinding, langkah kaki David terdengar samar.
Yusuf duduk di ujung sofa, bunga mawar merah itu kini berada di pangkuan Naura. Jemari mereka hampir bersentuhan, tapi Naura menahan diri. Ia tahu, di rumah ini ada orang yang mungkin akan cemburu.
“Mas… kita harus ngomong serius,” ucap Naura pelan.
Tatapan Yusuf terangkat. “Tentang apa?”
“Pernikahan kita.” Suara Naura terdengar mantap, tapi di baliknya ada kecemasan yang berdenyut.
Yusuf mengerutkan kening lalu tersenyum. "Yakin?"
“Iya Mas." potong Naura cepat. “Kita nggak perlu pesta besar. Akad saja, resmi di mata hukum dan agama. Nanti selebihnya menyusul. Yang penting… status kita jelas.”
"Aku senang denger kabar ini Naura, aku nggak nyangka kamu akan siap dalam waktu sangat cepat, kalau begitu aku akan beritahu bapak dan ibu, biar mereka segera bersiap dan datang kesini, biar mereka segera menikahkan kita.
"Iya Mas." Naura pun tersenyum, meski senyum itu hanyalah kepalsuan belakang.
"Mas sekarang berangkat, nanti terlambat."
"Masih ada waktu, lima menit lagi."
"Mas Yusuf, lebih baik berangkat sekarang, daripada ngebut."
"Iya Sayangku," jawab Yusuf dengan setengah bercanda.
Yusuf pun berdiri dari sofa, lalu merapikan kemejanya dan pamit berangkat bekerja. Yusuf juga melihat David tengah mengeluarkan mobilnya dari garasi.