Sebuah insiden kecil memaksa Teresia, CEO cantik umur 27 tahun, menikah dengan Arga, pemuda desa tampan umur 20 tahun, demi menutup aib. Pernikahan tanpa cinta ini penuh gengsi, luka, dan pengkhianatan. Saat Teresia kehilangan, barulah ia menyadari... cintanya telah pergi terlalu jauh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Helliosi Saja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 24
Malam sunyi di rumah megah keluarga Tere
Arga melangkah masuk ke dalam rumah besar itu. Bau harum rumah mewah bercampur dengan aroma kayu jati menyambutnya. Di ruang tamu, Papa Adrian dan Mama Linda sudah menunggu.
Papa Adrian menyambut dengan ramah tapi menahan beban di hatinya.
“Selamat datang, Ga… Anggap rumah ini rumah sendiri, ya.”
Mama Linda tersenyum lembut.
“Iya, Nak… sudah malam, kamu pasti capek. Makan dulu, ya. Mama suruh Bi Sumi siapin makanan.”
Arga menunduk sopan, menolak halus.
“Terima kasih, Ma… Pa… saya sudah makan tadi di tempat kerja.”
Papa Adrian mengangguk, terselip rasa kagum pada Arga yang tetap santun meski hatinya pasti sudah tahu hal yang menyakitkan. Mereka memang tidak berkata apa-apa tentang Tere dan Rio, takut hati Arga semakin hancur.
“Kalau begitu, masuklah ke kamar. Istirahatlah. Mungkin Tere sudah tidur,” ujar Papa Adrian pelan.
---
Di depan kamar, Arga membatin
Arga berdiri lama di depan pintu kamar. Tangannya sempat terangkat hendak mengetuk, tapi dia urungkan. Tatapannya sayu.
“Aku ini siapa... Mana mungkin aku pantas mendampingi dia. Tapi… aku nggak mau mempermainkan pernikahan ini. Ini takdir, dan aku harus jalani sebaik mungkin…”
Akhirnya perlahan dia buka pintu itu. Dia masuk, menaruh tas kecilnya di sudut sofa. Matanya menyapu ruangan, sepi. Tere tidak tampak.
Ternyata dia di kamar mandi, batin Arga.
---
Saat Tere keluar dari kamar mandi
Tere melangkah keluar dengan rambut basah, wajah bersih tanpa riasan. Dia terkejut melihat Arga sudah di dalam kamar. Pandangan mereka bertemu. Ada sorot bersalah di mata Tere. Tapi gengsi, cinta pada Rio, dan keras kepalanya membuat dia menepis rasa itu.
Arga memalingkan wajah, tak sanggup menatap lama. Hatinya pedih. Baru pertama kali jatuh cinta... tapi langsung tersakiti.
Dengan suara pelan, menahan getir, Arga bicara duluan.
“Maaf, Mba... aku izin numpang mandi, ya.”
Tere hanya mengangguk.
“Iya…” jawabnya singkat.
Arga lewat di sampingnya, menuju kamar mandi. Saat punggung Arga menjauh, Tere menatapnya lama. Ada rasa bersalah menyelip di hati.
Arga keluar dari kamar mandi. Tere pura-pura tidur, membelakangi dia. Arga hanya menatap sejenak punggung istrinya itu, lalu mengambil selimut tipis, membaringkan tubuhnya di sofa.
Ia menarik nafas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang penuh luka.
Mungkin aku hanya numpang lewat dalam hidupnya...
Tak lama, lelah mendera, Arga tertidur, nafasnya tenang, dengkuran halus terdengar.
Tere gelisah di ranjangnya
Tere tak bisa memejamkan mata. Dadanya sesak. Perlahan dia bangun, melangkah pelan mendekati sofa tempat Arga tidur.
Di bawah cahaya lampu temaram, Tere memandangi wajah Arga yang polos dan damai dalam tidur.
“Kenapa aku begini ke dia... Arga nggak pantas disakiti. Kenapa pernikahan ini harus terjadi... supaya nggak ada yang tersakiti…” batin Tere.
Dia jongkok di dekat Arga, wajahnya hanya sejengkal dari wajah suaminya. Nafas Arga hangat menyentuh pipinya. Tere memperhatikan lebih dalam.
“Astaga… dia tampan sekali... bahkan jauh lebih tampan dari Rio. Kenapa aku nggak pernah sadar... Hanya saja... dia terlalu muda. Dia lebih pantas jadi adikku... bukan suamiku… atau… apa aku salah menilai? Bukankah usia bukan segalanya…”
Namun Tere cepat-cepat menepis pikirannya sendiri. Rasa gengsi dan cinta membutakan hatinya. Ia hanya bisa menatap sejenak, lalu perlahan kembali ke ranjang, memeluk bantal erat-erat, berusaha memejamkan mata sambil menahan sesak di dada.
Malam itu begitu sunyi. Hanya ada suara jam dinding berdetak, menjadi saksi dua hati yang belum menemukan jalannya.