NovelToon NovelToon
Mahar Pengganti Hati

Mahar Pengganti Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Pengganti / Bercocok tanam / CEO / Dijodohkan Orang Tua / Ibu Pengganti
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Mobil perlahan berhenti di halaman rumah keluarga Burak. Udara sore terasa hangat, dan suasana rumah tampak lebih tenang dibanding beberapa minggu terakhir.

Mama Riana keluar lebih dulu sambil menggendong Ava yang tertidur, sementara Burak membantu Jovan menurunkan Husna dari mobil.

“Pelan-pelan, Van,” ucap Burak lembut sambil menopang bahu menantunya.

“Kamu bawa dia ke kamar utama, ya. Biar dia bisa istirahat dengan nyaman.”

Namun, Husna menggeleng pelan. “Aku tidur di kamar tamu saja, Yah. Aku tidak mau merepotkan.”

Jovan langsung menatapnya dan menggeleng tegas.

“Tidak, Na. Kamu tidur di kamar kita.”

Burak tersenyum tipis dan menepuk bahu putranya.

“Itu baru sikap seorang suami. Jaga dia baik-baik, Van.”

Jovan mengangguk dan perlahan membawa Husna masuk ke kamar utama.

Aroma lembut kamper bercampur wangi sprei baru menyambut mereka.

Kamar itu bersih, tertata rapi, seakan menunggu kehadiran mereka kembali.

Husna duduk perlahan di tepi ranjang, napasnya masih pelan.

Ia menatap sekeliling kamar yang kini terasa asing sekaligus hangat di waktu bersamaan.

Tanpa berkata apa pun, Jovan berjalan ke lemari dan mengambil sesuatu dari laci bawah sebuah map cokelat yang dulu selalu ia jaga rapat-rapat.

Husna mengernyit, matanya mengikuti setiap gerakan suaminya.

“Van, itu apa?” tanyanya pelan.

Jovan duduk di hadapannya, menatap mata istrinya dengan tatapan penuh tekad.

Ia membuka map itu, memperlihatkan beberapa lembar kertas kontrak pernikahan mereka.

Suasana hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Kemudian, tanpa ragu sedikit pun, Jovan merobek kertas itu satu per satu di hadapan Husna.

Suara robekan kertas terdengar jelas, memecah keheningan kamar.

Husna tertegun, matanya membesar, napasnya tertahan.

“Van, kenapa kamu—”

“Karena aku tidak butuh kontrak untuk tetap bersamamu, Na. Aku tidak ingin ada batasan di antara kita lagi. Aku ingin kita jadi suami istri… bukan karena kesepakatan di atas kertas, tapi karena cinta yang sesungguhnya.”

Husna menatap suaminya lama, air matanya mulai mengalir pelan.

Ia menutup mulutnya dengan tangan, tidak sanggup menahan haru yang meluap.

Jovan menghapus air mata di pipinya dengan ibu jarinya.

“Mulai hari ini, tidak ada lagi ‘kontrak’. Yang ada cuma kita. Aku, kamu, dan Ava.”

Husna mengangguk pelan, lalu tersenyum di sela tangisnya.

“Terima kasih, Van. Karena kali ini kamu memilih aku, bukan karena kasihan.”

Jovan tersenyum, lalu memeluknya perlahan, menenangkan tubuh lemah istrinya dalam dekapan hangat yang sudah lama ia rindukan.

Ketukan lembut terdengar di pintu kamar utama.

Tok… tok…

“Van, ini obat dan perban baru dari dokter,” suara Mama Riana terdengar dari balik pintu.

Jovan segera berdiri dan membukakan pintu. Mama Riana masuk sambil membawa nampan kecil berisi obat, kapas, dan perban steril. Wajahnya lembut, tapi tersirat sedikit cemas.

“Perlu Mama bantu ganti perbannya?” tanya Mama Riana hati-hati.

“Nggak usah, Ma. Biar aku saja yang lakukan. Terima kasih.”

Mama Riana menatap menantunya beberapa detik, lalu tersenyum tipis.

“Baiklah, kalau begitu. Mama tunggu di luar. Kalau butuh bantuan, panggil Mama, ya.”

Begitu pintu tertutup, suasana kamar kembali hening.

Hanya terdengar detak jam dan napas pelan Husna yang duduk di tepi ranjang, menunduk sambil memainkan ujung selimut.

“Van…” suara Husna bergetar, lirih, “jangan. Kamu nanti jijik lihat aku.”

Jovan berhenti sejenak, menatap wajah istrinya yang penuh rasa takut dan malu. Ia mendekat perlahan, lalu duduk di hadapannya.

Dengan senyum lembut, Jovan menggeleng pelan.

“Aku nggak akan pernah jijik sama kamu, Na.”

Tangannya menyentuh tangan Husna yang gemetar.

Perlahan, ia membuka kain yang menutupi tubuh istrinya, memperlihatkan bekas luka bakar yang masih memerah di beberapa bagian.

Tanpa berkata banyak, ia mulai membuka perban lama satu per satu dengan hati-hati. Gerakannya lembut, penuh perhatian.

“Maaf kalau sedikit perih, ya,” ucapnya pelan.

Husna hanya mengangguk kecil, matanya mulai berkaca-kaca.

Ia bisa merasakan sentuhan Jovan bukan sekadar tangan seorang suami, tapi juga tangan yang benar-benar tulus ingin melindungi.

Setelah membersihkan luka perlahan dengan kapas dan cairan antiseptik, Jovan menempelkan perban baru dengan cermat.

Ia menatap wajah istrinya, lalu tersenyum tipis.

“Sudah, Na. Nggak perlu takut lagi. Luka itu cuma tanda kamu kuat, bukan sesuatu yang harus kamu sembunyikan.”

Husna menganggukkan kepalanya saat mendengar perkataan dari suaminya.

“Terima kasih, Van…” bisiknya lirih.

Jovan menggenggam tangannya dan mengecup punggungnya lembut.

“Selama aku di sini, aku nggak akan biarkan kamu ngerasa sendiri lagi.”

Setelah selesai mengganti perban, Jovan beranjak sebentar menuju laci di meja samping tempat tidur.

Ia membuka laci itu perlahan, lalu mengambil sebuah kotak kecil berwarna beludru biru tua. Kotak itu sudah lama disimpannya — menunggu waktu yang tepat.

Husna memperhatikannya dengan bingung, matanya masih basah.

“Van, itu apa?” tanyanya lirih.

Jovan duduk kembali di depan istrinya, lalu membuka kotak itu perlahan.

Di dalamnya, sepasang cincin pernikahan berkilau lembut di bawah cahaya lampu kamar.

Husna tertegun. Tangannya menutup mulut, menahan isak yang tiba-tiba muncul tanpa bisa dicegah.

Jovan menatapnya lembut, suaranya pelan tapi penuh makna.

“Waktu dulu kita menikah, semuanya terasa terburu-buru. Ada banyak luka, banyak salah paham, tapi sekarang, aku ingin melakukannya dengan hati yang benar-benar untuk kamu, Na.”

Ia mengambil satu cincin, lalu menggenggam tangan Husna yang masih bergetar karena air mata.

“Husna istriku, maukah kamu sekali lagi menjadi perempuan yang akan aku jaga, aku cintai, tanpa syarat, tanpa kontrak apa pun?”

Air mata Husna jatuh deras, bahunya bergetar karena haru yang tak tertahankan. Ia mengangguk sambil menangis sesenggukan.

“Van, kenapa kamu selalu tahu cara membuat aku menangis. Aku mau,” jawabnya di sela isak, suaranya bergetar tapi penuh kejujuran.

Jovan tersenyum lembut. Dengan hati-hati, ia menyematkan cincin itu di jari manis Husna.

“Sekarang,ini bukan karena kewajiban, tapi karena cinta.”

Husna memandang cincin itu lama, air matanya mengalir semakin deras.

Ia menutup wajahnya sebentar, lalu memeluk Jovan erat, menumpahkan semua rasa sakit, syukur, dan cinta yang menyesak di dadanya.

“Terima kasih, Van… karena tetap memilih aku, meski aku tidak sempurna…”

Jovan membalas pelukannya, menepuk lembut punggung istrinya.

“Kamu selalu sempurna di mataku, Na. Karena kamu adalah rumahku.”

Malam mulai larut. Lampu kamar hanya menyala redup, menciptakan suasana hangat dan tenang.

Di luar, hujan turun perlahan, mengetuk jendela dengan ritme lembut.

Husna sudah berbaring lebih dulu, matanya menatap langit-langit kamar sambil memeluk selimut sampai ke dada.

Pipinya masih terasa hangat entah karena udara kamar, atau karena momen penuh haru sebelumnya ketika Jovan memberinya cincin pernikahan.

Pintu kamar terbuka pelan, dan Jovan masuk setelah memastikan rumah sudah sepi.

Ia mengenakan kaus sederhana dan celana panjang, lalu menatap istrinya dengan senyum kecil yang agak canggung.

“Sudah siap tidur?” tanyanya pelan.

Husna mengangguk, tapi wajahnya memerah, tak tahu harus membalas seperti apa.

“I-iya…”

Suasana tiba-tiba hening. Hanya suara hujan yang mengisi ruang di antara mereka.

Jovan menunduk sebentar, lalu dengan suara rendah dan hati-hati, ia berkata,

“Na, boleh aku memeluk kamu malam ini?”

Husna terdiam. Wajahnya memanas, dan jantungnya berdegup begitu kencang sampai ia takut Jovan bisa mendengarnya.

Tapi tatapan suaminya begitu lembut tidak memaksa, hanya meminta izin dengan tulus.

Perlahan, Husna mengangguk pelan.

“Boleh…” ucapnya hampir seperti bisikan.

Senyum tipis terbit di wajah Jovan. Ia naik ke tempat tidur dan berbaring di sampingnya. Awalnya mereka sama-sama kaku, tubuh mereka hanya berjarak beberapa inci.

Tapi akhirnya, Jovan perlahan mendekat, lalu melingkarkan lengannya ke bahu Husna.

Tubuh Husna sempat menegang sesaat, namun perlahan ia mulai rileks.

Rasa hangat dari pelukan itu membuat hatinya tenang. Ia bisa mendengar detak jantung Jovan yang stabil di dadanya, membuat rasa takut dan canggungnya perlahan hilang.

“Hangat…” bisik Husna pelan.

Jovan tersenyum, mempererat pelukannya sedikit.

“Kalau kamu kedinginan, bilang aja. Aku nggak mau kamu sakit lagi.”

Husna tersipu, pipinya menempel di dada Jovan.

“Kalau begini, nanti aku tidurnya akan pulas”

Jovan menatap wajah istrinya yang mulai terpejam, lalu berbisik lembut di telinganya,

“Selamat malam, Na…”

“Selamat malam, Van…”

Di bawah suara hujan yang semakin deras, mereka terlelap bersama dalam kehangatan pelukan pertama yang penuh cinta, bukan kewajiban.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!