Ini adalah kisah tentang Asmara, seorang pramugari berusia 25 tahun yang meniti karirnya di atas awan, tiga tahun Asmara menjalin hubungan dengan Devanka, staf bandara yang karirnya menjejak bumi. Cinta mereka yang awalnya bagai melodi indah di terminal kedatangan kini hancur oleh perbedaan keyakinan dan restu orang tua Devanka yang tak kunjung datang. dan ketika Devanka lebih memilih dengan keputusan orangtuanya, Asmara harus merelakannya, dua tahun ia berjuang melupakan seorang Devanka, melepaskannya demi kedamaian hatinya, sampai pada akhirnya seseorang muncul sebagai pilot yang baru saja bergabung. Ryan Pratama seorang pilot muda tampan tapi berwajah dingin tak bersahabat.
banyak momen tak sengaja yang membuat Ryan menatap Asmara lebih lama..dan untuk pertama kali dalam hidupnya setelah sembuh dari rasa trauma, Ryan menaruh hati pada Asmara..tapi tak semudah itu untuk Ryan mendapatkan Asmara, akankan pada akhirnya mereka akan jatuh cinta ?
selamat membaca...semoga kalian suka yaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Sirine ambulans kecil dari rumah sakit meraung pelan saat mobil Ryan berhenti di depan UGD.
Dengan langkah cepat dan mata penuh kekhawatiran, Ryan menggendong Asmara turun dari mobilnya.
Wajahnya kaku, rahangnya mengeras, tapi tangannya begitu hati-hati menahan tubuh gadis itu di pelukannya.
Beberapa perawat yang berjaga langsung berlari menghampiri.
“Sus, tolong...dia baru saja terabrak mobil,” suara Ryan tegas, meski nadanya terdengar getir.
“Segera siapkan ruang observasi. Dia masih sadar tapi tampak syok.”
Asmara menggeliat pelan, menatap Ryan dari balik kesadarannya yang mulai kabur.
“Ryan… aku nggak apa-apa… kamu jangan—”
Ryan menunduk, menatapnya dalam, menahan emosi yang bergolak.
“Asmara kamu terluka, aku minta kamu nurut sama aku.”
Nada suaranya tegas, tak bisa dibantah.
Asmara terdiam, hanya bisa menatap wajah Ryan yang kini begitu dekat. Ada kekhawatiran yang nyata di sorot matanya, bukan lagi sekadar basa-basi seorang atasan terhadap bawahannya.
---
Beberapa menit kemudian, Asmara sudah berbaring di ranjang pemeriksaan.
Perawat membersihkan luka di pelipis dan lututnya, sementara dokter memeriksa kemungkinan benturan di bahu dan pinggul.
Ryan berdiri di sisi ruangan, bersandar pada dinding kaca, tapi pandangannya tak lepas dari Asmara.
Kemeja putihnya sedikit kusut, rambutnya acak-acakan karena terus mengacaknya sejak tadi, tanda jelas bahwa pria itu sedang menahan gejolak emosi.
Dokter akhirnya menatap Ryan setelah selesai memeriksa Asmara dengan seksama.
“Pasien, tidak ada patah tulang, hanya luka lecet dan memar akibat gesekan aspal. Tapi pasien masih dalam kondisi syok ringan, sebaiknya jangan dibiarkan sendirian malam ini.”
Ryan mengangguk tegas. “Baik, dok terimakasih, saya akan menemaninya”
Asmara spontan menoleh, sedikit terkejut.
“Ryan, nggak usah. Aku bisa sendiri—aku nggak mau ngerepotin kamu lagi.”
Ryan menatapnya tajam. “Asmara...please...jangan membantahku.”
Nada suaranya meninggi, tapi di balik itu ada ketakutan yang tak ia sembunyikan lagi.
Asmara menunduk, jantungnya berdebar.
Ia tak pernah melihat Ryan sekhawatir ini sebelumnya, biasanya pria itu dingin, datar, dan penuh kontrol. Tapi kini matanya tak bisa berbohong.
“Kalau aku nggak nunggu kamu di basement tadi,” lanjut Ryan, suaranya menurun, “aku nggak tahu kamu bakal gimana sekarang.”
Asmara menatapnya perlahan.
“Ryan… terima kasih.”
Ryan menghela napas panjang, lalu menatap dokter. “Dokter, apa dia boleh dibawa pulang setelah observasi?”
Dokter mengangguk. “Asal jangan beraktivitas berat, dan pastikan istirahat penuh.”
Ryan berterima kasih, lalu menghampiri sisi ranjang Asmara, menunduk sedikit.
“Begitu selesai, kamu ikut aku. Aku nggak akan biarin kamu pulang sendirian. Titik.”
Asmara ingin membantah, tapi tatapan Ryan terlalu tegas untuk dilawan.
Ia akhirnya hanya menunduk pelan, suaranya lirih, “Iya, Ryan.”
Ryan mengerjap, sempat menatap wajahnya lama. “Asmara...kamu hampir bikin aku gila.”
Suasana hening sesaat.
Asmara menatapnya pelan, lalu tersenyum samar di tengah wajah pucatnya.
“Maaf Ryan, aku nggak maksud bikin kamu kayak gini.”
Ryan hanya mengangguk pelan, tapi di matanya tersimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa khawatir.
----
Malam telah turun sempurna ketika mobil Ryan berhenti di halaman rumah besar bergaya kolonial milik keluarga Pratama Meheswari.
Lampu taman memantul di bodi mobil hitam itu, memantulkan siluet lembut pohon kamboja yang berjejer rapi di sepanjang jalan masuk.
Asmara masih duduk di kursi penumpang, tangannya memegang perban kecil di pelipisnya, Ia terlihat gelisah sejak mobil meninggalkan rumah sakit.
“Ryan, aku beneran bisa sendiri di apartemen,” katanya lirih, mencoba menahan nada khawatirnya agar tidak terdengar. “Aku nggak enak kalau aku nginep di rumah kamu. Mami kamu—”
“Asmara.”
Suara Ryan dalam dan tegas, menghentikan kalimatnya.
Tatapan mata pria itu tetap fokus ke depan, tapi rahangnya mengeras.
“Kamu terluka. Aku nggak peduli seberapa nggak enak kamu merasa, tapi aku nggak akan biarin kamu sendirian malam ini, dan aku tidak bisa menemani kamu di apartemen, lebih aman di rumah Mami.”
Asmara menggigit bibir, suaranya mengecil.
“Tapi kalau Mami kamu lihat aku—”
Ryan menoleh cepat, menatapnya dengan sorot tajam tapi lembut di ujungnya.
“Mami juga pasti akan khawatir.”
Ia menghela napas berat. “Dan kamu di sini aman bersama Mami.”
Nada suaranya seperti perintah yang tak bisa ditawar.
Asmara menunduk, tak mampu membantah lagi. Dalam hatinya, ia tahu, di balik ketegasan itu, Ryan sebenarnya sedang ketakutan.
Ketakutan kehilangan.
---
Ryan turun lebih dulu, membuka pintu penumpang.
Asmara sempat ragu, tapi Ryan menunduk sedikit dan berucap pelan,
“Turunlah. Aku nggak akan gigit kamu.”
Asmara mendengus kecil, akhirnya melangkah keluar. Udara malam terasa sejuk, aroma wangi bunga kamboja menyelimuti halaman.
Ryan membawakan kopernya tanpa menunggu izin, membuat Asmara hanya bisa menatapnya pasrah.
Begitu pintu rumah terbuka, suasana hangat langsung menyambut. Rumah itu tampak elegan, tapi tidak kaku, sentuhan feminin dari Mami Rosa terasa di setiap sudutnya.
Asmara menunduk pelan saat melangkah masuk, tangannya masih menekan luka di lutut, wajahnya tampak lelah namun tetap berusaha kuat.
Ryan yang berjalan di belakangnya langsung menutup pintu tanpa banyak suara.
Namun langkah mereka terhenti ketika dari arah tangga, terdengar suara lembut tapi penuh wibawa.
“Ryan…?”
Keduanya menoleh bersamaan.
Mami Rosa berdiri di anak tangga terakhir, mengenakan daster sutra berwarna lembut, wajahnya penuh keheranan.
Matanya langsung tertuju pada sosok Asmara yang berdiri kikuk di samping Ryan, dengan perban putih di pelipis dan luka lecet di lutut yang masih terlihat jelas.
“Ya Tuhan… apa yang terjadi dengan gadis Mami ini ?” seru Mami Rosa kaget, langsung menuruni tangga dengan langkah cepat.
Asmara spontan menunduk, ingin menjelaskan tapi suaranya tercekat.
“Selamat malam, Mami Rosa… maaf aku—”
Namun Ryan sudah lebih dulu menimpali dengan nada datar tapi hati-hati,
“Dia… kecelakaan di parkiran bandara. Mobil nyerempet dia, Mi.”
Mami Rosa menatap anaknya, lalu kembali memandang Asmara dari ujung kepala hingga kaki, sorot matanya campuran antara cemas dan rasa kasihan.
“Mobil nyerempet? Oh, astaga…”
Ia langsung menggandeng lengan Asmara dengan lembut.
“Sayang, kamu luka begini kok malah berdiri di sini? Kenapa nggak dibawa ke rumah sakit?”
Ryan menghela napas, menatap ibunya dengan ekspresi sabar yang sedikit menahan emosi.
“Sudah, Mi. Udah diperiksa dokter. Nggak ada luka serius. Tapi aku nggak mau dia sendirian malam ini.”
Rosa menatap anaknya sejenak, matanya sempat berbinar halus, seperti memahami sesuatu di balik alasan sederhana itu.
Namun ia tak mengomentari, hanya mengangguk.
“Baiklah. Sayang..kamu disini saja. Mbak Siti!” panggilnya keras.
Seorang asisten rumah tangga keluar tergesa.
“Tolong siapkan air hangat dan makanan ringan di kamar tamu.”
Asmara menatap Mami Rosa dengan mata berkaca. “Terima kasih banyak, Mami. Maaf sudah merepotkan.”
Rosa tersenyum lembut, mengelus pelipis Asmara yang diperban.
“Tidak apa-apa, Sayang. Luka seperti ini nggak boleh dibiarkan. Kalau Ryan sudah membawa kamu ke sini, berarti kamu penting untuk dia.”
Ucapan itu membuat Asmara refleks melirik Ryan yang berdiri tak jauh.
Ryan menatap ke arah lain, seolah tak terganggu, tapi ujung bibirnya sempat menegang menahan reaksi.
“Ya sudah, kamu istirahat dulu, sudah malam,” ucap Rosa lembut. “Mami nggak mau lihat keadaan kamu tambah parah, kamu pasti masih syok.”
Asmara mengangguk pelan, lalu mengikuti Mbak Siti naik ke atas.
Begitu punggungnya hilang di balik tangga, Rosa menatap Ryan dengan ekspresi yang lebih lembut tapi menyelidik.
“Ryan…” ujarnya perlahan, menyilangkan tangan di dada. “Kamu yakin ini cuma kecelakaan tidak sengaja, lalu pengendara yang menabrak Asmara gimana?”
Ryan menatap ibunya, napasnya teratur tapi dingin.
“Dia kabur Mi, aku juga nggak yakin kecelakaan ini tidak sengaja.”
Rosa memicingkan mata. “Kamu harus selidiki Ryan, jangan biarkan begitu saja, ini sudah menyangkut nyawa seseorang, apalagi dia Asmara, Mami nggak akan tinggal diam, calon menantu Mami sengaja di lukai orang lain?”
Ryan diam beberapa detik, lalu menjawab pendek, “Iya Mi, aku akan selidiki”
Rosa tersenyum samar, lalu berbalik. “Mami senang kamu mulai tahu arti memiliki seseorang. Tapi ingat, Ryan, kalau kamu udah berani bawa seseorang ke rumah ini, berarti kamu harus siap tanggung jawab atas setiap hal yang menimpanya.”
Ryan menatap punggung ibunya yang berjalan perlahan ke arah ruang makan, kemudian menoleh ke arah tangga, arah kamar tempat Asmara beristirahat.
Ada sesuatu yang bergetar di dada pria itu, campuran rasa protektif, marah, dan takut kehilangan.
...🍂...
...🍂...
...🍂...
^^^Bersambung....^^^