Seorang wanita muda dengan ambisinya menjadi seorang manager marketing di perusahaan besar. Tasya harus bersaing dengan Revan Aditya, seorang pemuda tampan dan cerdas. Saat mereka sedang mempresentasikan strategi marketing tiba-tiba data Tasya ada yang menyabotase. Tasya menuduh Revan yang sudah merusak datanya karena mengingat mereka adalah rivalitas. Apakah Revan yang merusak semua data milik Tasya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinggal bareng?!
Revan buru-buru keluar dari mobil lalu membuka bagasi. Ia menarik koper Tasya dan dengan sigap membawanya hingga ke teras. Tasya ikut menunduk canggung, masih menahan wajahnya yang panas setelah kejadian barusan.
"Thanks, Revan …" ucapnya lirih sambil meraih pegangan koper.
Revan tersenyum tipis. "Anytime, Sya."
Sebelum suasana semakin canggung, Papa Tasya melangkah maju. Tatapannya bergantian mengarah ke putrinya, lalu ke Revan. "Tasya, kamu masuk dulu. Udah malam, istirahat sana."
Tasya sempat melirik Revan dengan tatapan ragu, seolah ingin memastikan kalau semuanya baik-baik saja. Namun akhirnya ia mengangguk pelan. "Iya, Pa."
Wanita muda berambut panjang itu menatap Revan dengan lembut. "See you, Revan."
Dengan langkah kecil, Tasya masuk ke dalam rumah sambil sesekali menoleh ke belakang. Jantungnya berdebar aneh, antara khawatir dan penasaran apa yang akan dibicarakan papanya dengan Revan.
Begitu pintu menutup, Papa Tasya menyilangkan tangan di depan dada. Pandangannya tajam menatap Revan yang berdiri tegak di teras.
"Sekarang, kamu sama saya dulu," ucapnya pelan tapi tegas.
Revan menarik napas dalam, lalu mengangguk. "Baik, Om, eh, Pak."
Udara malam terasa lebih dingin dari sebelumnya. Di bawah sorot lampu teras yang temaram, percakapan antara seorang ayah dan pria yang mulai dekat dengan putrinya akan segera dimulai.
---
Keesokan paginya, aroma kopi dan roti panggang samar tercium ketika Tasya melangkah menuruni tangga dengan rambut masih agak basah. Ia sudah rapi dengan blouse sederhana dan celana kain, siap untuk aktivitas hari itu.
Begitu tiba di lantai satu, langkahnya terhenti. Matanya membesar melihat Revan duduk santai di ruang keluarga, bercakap serius dengan papanya.
"Revan …?" suara Tasya terdengar penuh keterkejutan.
Revan menoleh, bibirnya terangkat membentuk senyum tenang. "Pagi, Sya."
Sementara Papa Tian menambahkan dengan nada ringan, "Oh iya, semalam Revan nginep di kamar tamu. Biar nggak pulang terlalu malam."
Tasya mematung sebentar, pipinya langsung memanas. Ia menggigit bibir, berusaha menutupi rasa salah tingkah yang muncul begitu saja.
Papa Tian menyesap kopi lalu berkata dengan nada lebih serius, "Sya, Papa ada perjalanan dinas keluar negeri beberapa hari. Jadi selama Papa pergi, Revan yang bakal jaga kamu di rumah."
Tasya terbelalak, buru-buru menggeleng. "Pa … aku kan udah besar. Aku bisa jaga diri sendiri."
Namun Tian hanya tersenyum tipis sambil menggeleng pelan. "Besar sekalipun, di mata Papa kamu tetap putri kecil Papa. Dan Papa cuma tenang kalau ada orang yang bisa dipercaya buat jagain kamu."
"Ya tapi kenapa harus Revan, sih?" tanya Tasya malu.
"Loh ... bukannya Revan calon suami kamu?" goda Tian pada putrinya. Revan tersenyum saat mendengarnya membuat Tasya menjadi salah tingkah.
Tasya terdiam mendengar ucapan sang papa. Wajahnya jelas terkejut, tapi ia memilih menunduk, tidak berkomentar apa-apa. Revan di sampingnya hanya tersenyum samar, seolah menikmati reaksi canggung Tasya.
Sarapan berlangsung dalam suasana yang hangat meski ada ketegangan kecil di hati Tasya. Setelah selesai, Papa Tian bangkit dari kursinya. Ia menepuk bahu Revan singkat, lalu menatap putrinya lembut.
"Papa berangkat dulu, ya. Jaga diri, Sya. Dan kamu …" pandangannya bergeser ke Revan, "tolong jaga Anastasya baik-baik."
Revan mengangguk mantap. "Iya, Om. Saya janji."
Setelah berpamitan, Papa Tian pun meninggalkan rumah. Suasana langsung berubah. Tasya menoleh sekilas pada Revan, ingin berkata sesuatu, tapi yang keluar hanya gumaman pelan, "Ayo berangkat … nanti telat."
Revan tersenyum. "Siap, Bos."
Mereka pun berangkat bersama ke kantor dalam satu mobil. Dari luar, jelas sekali kedekatan keduanya sudah berbeda dibanding sebelumnya. Sesekali Tasya tersenyum, bahkan terkekeh kecil karena celetukan iseng Revan di perjalanan.
Sesampainya di kantor, beberapa pasang mata langsung memperhatikan. Salah satunya Fira yang buru-buru menghampiri Tasya begitu ia turun dari mobil.
"Tasya …" Fira mencondongkan badan, berbisik dengan tatapan penasaran. "Kamu sama Revan tuh … pacaran, ya?"
Tasya tertegun sesaat, lalu hanya tersenyum samar tanpa memberi jawaban pasti. Tapi senyumnya itu justru lebih dari cukup untuk membuat Fira makin gemas. "Ih, jangan bikin aku kepo setengah mati gini dong!"
Di sisi lain, tak jauh dari sana, Aldo berdiri sambil mengepalkan rahangnya. Pandangannya tajam tertuju pada Revan dan Tasya yang tampak akrab. Sementara Vera, dengan wajah masam, melipat tangan di dada.
"Dasar … cepat banget dia deket sama Revan," gumam Vera, nadanya penuh iri.
Aldo menambahkan dingin, "Kamu seharusnya jadi milik aku, Tas."
---
Menjelang siang, suasana kantor cukup sibuk. Semua orang tampak fokus dengan pekerjaannya masing-masing. Tasya duduk di mejanya, membuka laptop dan menata dokumen yang harus segera ia selesaikan.
Tiba-tiba, suara hak tinggi Vera terdengar mendekat. Wanita itu menyodorkan setumpuk berkas ke meja Tasya tanpa permisi.
"Tasya, tolong bikinin laporan ini. Harus selesai siang ini, ya. Aku ada meeting penting, jadi nggak sempat."
Tasya mengangkat wajahnya perlahan, menatap Vera dengan ekspresi tenang tapi tajam. "Laporan ini kan bagian dari jobdesc kamu, Ver. Kenapa aku yang harus kerjain?"
Vera tersenyum sinis. "Ya namanya juga kerja tim. Lagi pula, kamu kan lagi nggak terlalu sibuk."
Beberapa rekan kerja yang duduk di sekitar mulai melirik, penasaran dengan percakapan mereka.
Tasya menutup laptopnya sebentar, lalu menyilangkan tangan di dada. "Dengar ya, Vera. Aku selalu terbuka untuk bantu kalau memang dibutuhkan. Tapi aku bukan orang yang bisa kamu suruh seenaknya. Kita semua punya tanggung jawab masing-masing. Jadi kalau ini tugas kamu, ya kerjakan sendiri. Dan ... satu hal, jangan pernah kamu dekat-dekat sama aku!"
Wajah Vera menegang, jelas tidak terima. "Kamu berani banget ngomong kayak gitu sama aku."
Tasya mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya rendah tapi mantap. "Aku berani ngomong kayak gini ke siapa pun yang mencoba memperlakukan aku nggak adil. Jadi kalau mau dihargai, hargai juga kerjaan orang lain."
Ruangan mendadak hening, beberapa orang menunduk pura-pura sibuk tapi jelas menahan senyum melihat bagaimana Tasya membalas sikap Vera.
Vera yang merasa malu hanya mendengus, lalu mengambil kembali berkasnya dengan kasar. Ia berbalik meninggalkan meja Tasya tanpa sepatah kata lagi.
Tasya menarik napas panjang, lalu kembali membuka laptopnya. Ekspresinya tetap tegas, meski dalam hati ia tahu perseteruan ini belum selesai.
Dan benar saja dari jauh, Aldo yang menyaksikan kejadian itu hanya menyeringai tipis. "Menarik …" gumamnya.
Ruangan kembali tenang, tapi bukan berarti konflik benar-benar selesai. Tasya kembali fokus ke pekerjaannya, berusaha menepis tatapan-tatapan penasaran dari rekan kerjanya.
Namun dari sudut lain, Vera menggenggam berkas erat-erat sambil menahan amarah. Di dalam kepalanya, hanya ada satu pikiran, Aku nggak akan biarin dia terus-terusan keliatan hebat di depan semua orang.
Aldo yang sejak tadi memperhatikan, justru tersenyum miring. Ia menyandarkan tubuh ke kursinya sambil melirik ke arah Tasya. Semakin kamu berani, Tasya … semakin menarik buat aku.
Pertarungan diam-diam mulai tercipta di dalam kantor. Bagi Vera, ini soal harga diri. Bagi Aldo, ini soal obsesi. Dan bagi Tasya, ini baru awal dari ujian yang akan menguji ketegasannya.
TO BE CONTINUED