Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 23
Zamara duduk di tepi ranjang. Lampu kamar temaram, hanya menyisakan bayangan samar di wajah suaminya yang tertidur lelap.
Ia menghela nafas panjang sambil menatap mata Ustad Damar yang terpejam tenang, seolah tak menyadari kalau malam itu akan menjadi perpisahan mereka.
“Maafkan aku, Mas,” lirih Zamara, suaranya nyaris tak terdengar, “Mungkin aku memang salah besar menjadikan pernikahan ini sebagai jalan untuk meneruskan garis keluargaku di Jerman.”
Tangannya gemetar saat menyentuh jemari suaminya.
“Terima kasih sudah mencintaiku begitu dalam tanpa syarat. Aku harus pergi. Aku enggak bisa tinggal di sini, bukan karena enggak sayang, tapi karena harus.”
Ia mengecup kening Damar, lalu menunduk. Hatinya terasa ditusuk saat bibirnya menyentuh bibir pria itu untuk yang terakhir kalinya. Dia sedikit melumat merasakan sisa bibir manis suaminya yang selalu jadi candu buatnya.
“Nikahlah lagi, Mas,” ucapnya pelan. “Pilih perempuan yang lebih pantas dari aku. Yang bisa nemenin kamu dan sayang sama Mireya.”
Sebuah map diletakkan hati-hati di meja samping tempat tidur. Di dalamnya ada surat cerai yang sudah ditandatangani, dan sepucuk surat lain ditujukan untuk Ustadz Yassir Qayyim.
Langkahnya perlahan, seolah enggan meninggalkan ruangan. Namun pikirannya sudah bulat.
Isinya hanya beberapa baris yang ditulis dengan tangan bergetar:
> Mas Yassir jangan buang waktu untuk mencariku. Aku pergi selamanya.
> Terima kasih sudah jadi imamku sepuluh bulan ini. Aku bahagia. Tapi aku harus membawa Taimur dan Zhamir bersamaku. Maaf, Mireya tetap di sini.
> Kamu mengajariku banyak hal tentang ikhlas, sabar dan mencintai.
> Titip anak kita. Tolong jaga dia baik-baik.
> Aku akan pergi. Hidup yang baik ya. Menikahlah dengan perempuan sholehah yang bisa bahagiakanmu.
> Selamat tinggal,
> Zamara Nurayn Altun.
Tangisnya pecah lagi saat melewati kamar-kamar orang yang pernah mengisi hari-harinya.
Adik ipar, mertua, semua tengah tertidur. Tidak ada satupun yang tahu rencana kepergiannya malam itu. Langit gelap namun hujan tidak turun, tapi udara terasa berat.
Langkah kakinya pelan saat menyusuri lorong rumah dua lantai yang dulu ia bangun khusus untuk suami yang dicintainya.
Satu kecupan terakhir diberikan pada putrinya, Mireya Dilnaz Zareen, yang sedang tertidur dalam buaian di kamar bayi. Ia peluk sang putri dengan penuh harap dan doa yang ia bisikkan dalam hati.
“Aku sayang kamu, Nak... maaf, Mama harus pergi.”
Zamara memejam, napasnya tersendat.
“Maaf, Baby Mireya...” bisiknya dalam hati. Mata beningnya kembali basah, mengalir tanpa jeda.
Ditatapnya sekali lagi wajah kecil anak perempuannya yang baru berusia empat puluh hari.
Ia berdiri, mengambil koper kecil dari balik lemari. Di dalamnya, beberapa buku tabungan tersimpan rapi. Tabungan untuk Baby Mireya.
Satu lagi untuk masing-masing adik angkat suaminya. Ada juga amplop berisi uang bulanan untuk kedua orang tua angkatnya, Bu Sarah dan Pak Mahmud.
Zamara tahu keputusan ini menyakitkan, tapi tak ada pilihan lain. Papinya, Emir Steinbach pengusaha dingin berdarah Jerman-Kazakhstan hanya menginginkan cucu laki-laki sebagai penerus nama besar keluarga.
Dan malam itu, tanpa menoleh ke belakang, Zamara menghilang dalam senyap.
Tidak ada yang tahu ke mana ia pergi. Tidak ada yang menyangka perpisahan itu terjadi. Tapi bagi Zamara, inilah harga dari cinta dan pilihan yang harus dia buat karena perjanjian dengan papinya Tuan Emir Pria berdarah Turki Jerman.
Pak Mahmud, Bu Sarah, Bu Salamah, Pak Lukman, Bayu, Salsabila, Salwa, Faris, Gilang, Annisa, juga Aliyah semuanya ia kenal, semuanya menyayanginya.
Ia menggenggam tangan mungil Taimur yang terbungkus selimut tebal. Anak itu tak terbangun sedikit pun.
“Aku minta maaf, Yassir,” gumamnya.
“Cintaku belum utuh buat kamu tapi anak-anak kita, mereka dunia bagiku,” lirihnya sebelum berjalan cepat menuruni tangga.
Pandangannya menyapu pintu-pintu kamar yang tertutup rapat. Di baliknya, orang-orang yang selama ini menerima dan menyayanginya: Pak Mahmud, Bu Sarah, Bu Salamah, Pak Lukman, Bayu, Salsabila, Salwa, Faris, Gilang, Annisa, juga Aliyah.
Tangannya mengencang menggenggam selimut tebal yang membungkus tubuh mungil Taimur. Bayi itu tertidur pulas dalam pelukannya, seolah tak menyadari bahwa malam ini adalah malam perpisahan.
"Aku minta maaf, Yassir," bisiknya dengan suara nyaris patah.
“Cintaku belum utuh buat kamu, tapi anak-anak kita... mereka dunia buatku,” ucapnya lagi lirih, sebelum menuruni anak tangga dengan langkah cepat dan hati bergetar.
Di luar, udara dingin menusuk kulit. Mobil hitam dengan mesin menyala sudah menunggu di depan pagar. Laira membuka pintu belakang dan langsung menyambut Zamara.
Di dalam mobil yang sudah menunggu di luar pagar, ia memeluk erat dua bayi laki-lakinya, Taimur Elshan Qayyim dan Zhamir Dilshad Qayyim. Ia mengecup dahi masing-masing dengan air mata yang tak bisa berhenti.
“Aku memangku Zhamir ya,” ucap Laira sambil meraih bayi kedua yang juga tertidur damai.
Zamara mengangguk, matanya lurus menatap ke depan.
“Saatnya kembali ke Jerman,” ucapnya pelan, seolah pada dirinya sendiri. “Aku akan kembali jadi Nona Muda Zamara Nurayn Altun yang enggak tersentuh oleh siapapun dan menjabat lagi sebagai CEO ES Corp.”
“Aqila, jet pribadi kita sudah siap?” tanyanya saat masuk ke dalam mobil, tangannya masih erat memeluk Taimur yang hangat di dadanya.
“Siap. Pilot udah standby. Kita langsung ke bandara malam ini juga,” jawab Aqila mantap.
Mesin mobil perlahan menjauh dari rumah besar itu, membelah sunyi Jakarta di tengah malam yang masih lelap. Tak ada yang menyadari, seorang perempuan muda baru saja meninggalkan cinta dan luka di satu tempat dan bersiap kembali menjadi seseorang yang tak bisa disentuh oleh siapa pun, kecuali ambisi dan takdirnya sendiri.
Suara deru mesin pesawat jet pribadi itu terdengar stabil, tapi dada Zamara tetap bergemuruh. Langit di luar jendela gelap, tak berbintang, seperti hatinya.
Di kursi penumpang, ia duduk tegak, mengenakan coat abu panjang, tangannya memeluk berkas-berkas medis, seakan itu bisa menggantikan kehangatan yang baru saja ia tinggalkan.
Air matanya menetes pelan, membasahi pipi tanpa suara. Jemarinya gemetar saat menyentuh layar ponsel yang terus menampilkan foto bayi mungil dengan pipi kemerahan Mireya. Matanya nyalang, tapi jiwanya kosong.
“Aku ibu yang jahat...” lirihnya, nyaris tak terdengar.
Laira yang duduk tak jauh di seberangnya, langsung menoleh. “Zam... kamu bukan ibu yang jahat,” katanya pelan sambil meraih tangan Zamara. “Kamu cuma perempuan yang lagi hancur, tapi tetap kuat ambil keputusan paling berat.”
Zamara tersenyum tipis, lemah. “Kuat? Aku bahkan enggak bisa napas barusan pas ninggalin dia. Anakku, bayi sekecil itu...” ujarnya, suaranya pecah. “Aku yang ngelahirin dia, tapi aku juga yang ninggalin.”
Aqila menatapnya dengan mata berkaca. Ia mencoba menjaga suara tetap tenang walau dadanya juga sesak. “Tapi kamu ninggalin dia bukan buat egois, bukan buat lari. Kamu pergi karena kamu tahu, kalau kamu tinggal, kamu enggak bisa sembuh dari luka kamu sendiri,” imbuhnya, perlahan.
Zamara mengusap air matanya cepat-cepat. “Mas Yassir pasti benci aku...”
“Dia enggak akan benci,” sela Laira cepat. “Dia terlalu bijak buat benci kamu. Dan dia pasti tahu, kamu selalu sayang Mireya. Selalu.”
Zamara mengangguk kecil, matanya kembali ke jendela.
“Aku enggak mau anakku tumbuh dari perempuan yang separuh jiwanya mati. Aku takut suatu hari nanti aku marah tanpa alasan ke dia, aku takut aku enggak bisa sayangin dia seperti yang pantas dia terima,” ucapnya lirih, sambil menarik napas dalam.
Pesawat berguncang kecil. Pramugari masuk dengan wajah tenang, memberi isyarat untuk bersiap. Zamara hanya mengangguk, lalu kembali menunduk. Tangannya mengambil surat kecil dari dalam tas selempangnya salinan surat untuk Ustadz Yassir.
“Dia imam terbaik... Tapi aku perempuan paling buruk untuk dia. Aku datang bawa luka, pergi juga ninggalin luka,” katanya pelan.
Aqila menggenggam tangannya. “Zam, kamu perempuan yang penuh kasih sayang, bahkan dalam caramu melepaskan. Jangan pernah bilang kamu buruk.”
Laira ikut bicara, matanya tajam tapi hangat. “Dan kamu enggak sendiri. Kita di sini buat bantu kamu bangkit. Kamu bukan cuma dokter hebat, tapi kamu juga manusia.”
Zamara menggeleng kecil, setengah tertawa getir. “Lucu ya, aku selalu tampak benar, tampak beriman, tampak sempurna. Tapi sekarang? Aku kabur dari pernikahan yang harusnya jadi jalan ke surga.”
Ia membuka ponselnya lagi. Ada satu pesan belum dikirim.
> Maafkan aku, Mas. Jangan tunggu aku. Jangan cari aku. Aku cuma mau kamu bahagia, tanpa bayanganku. Aku selalu menyayangi kalian untuk selamanya.
Tangannya ragu. Tapi akhirnya, dengan satu sentuhan, pesan itu terkirim dan langsung membuka ponselnya dan membuang sim cardnya.
Ia bersandar di kursi, menutup mata. Tapi bayangan Mireya, Mas Yassir, dan rumah itu tetap memenuhi pikirannya.
Pesawat mulai menanjak, menembus awan. Jerman menanti. Tapi di balik ribuan mil itu, separuh jiwanya tetap tinggal bersama bayi kecil bernama Mireya dan suami yang pernah mencintainya sepenuh jiwa.
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah