NovelToon NovelToon
PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

PENGUASA YANG DIHINA, SULTAN YANG DIRAGUKAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Matabatin / Crazy Rich/Konglomerat / Raja Tentara/Dewa Perang
Popularitas:732
Nilai: 5
Nama Author: Andi Setianusa

Ia adalah Sultan sebuah negeri besar bernama NURENDAH, namun lebih suka hidup sederhana di antara rakyat. Pakaian lusuh yang melekat di tubuhnya membuat orang menertawakan, menghina, bahkan merendahkannya. Tidak ada yang tahu, di balik sosok sederhana itu tersembunyi rahasia besar—ia memiliki kekuatan tanpa batas, kekuatan setara dewa langit.

Namun, kekuatan itu terkunci. Bertahun-tahun lalu, ia pernah melanggar sumpah suci kepada leluhur langit, membuat seluruh tenaganya disegel. Satu-satunya cara untuk membukanya adalah dengan menjalani kultivasi bertahap, melewati ujian jiwa, raga, dan iman. Setiap hinaan yang ia terima, setiap luka yang ia tahan, menjadi bagian dari jalan kultivasi yang perlahan membangkitkan kembali kekuatannya.

Rakyatnya menganggap ia bukan Sultan sejati. Para bangsawan meragukan tahtanya. Musuh-musuh menertawakannya. Namun ia tidak marah—ia tahu, saat waktunya tiba, seluruh negeri akan menyaksikan kebangkitan penguasa sejati.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Setianusa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tahap Nafas Langit

Malam itu, langit Nurendah seolah menangis. Hujan turun dengan derasnya, memukul atap sirap gubuk reyot di pinggiran kota dengan suara berirama yang keras. Di dalam, Al Fariz duduk bersila di atas tikar anyaman yang sudah compang-camping. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari lilin minyak yang nyalanya terkadang berkedip-kedip, seakan ikut berjuang melawan angin malam yang menyusup dari celah-celah dinding kayu.

Tubuhnya bergetar. Bukan karena dingin, meski hawa malam yang lembap cukup untuk membuat siapapun menggigil. Getaran ini berasal dari dalam, dari pertempuran sengit yang terjadi di setiap sel tubuhnya. Kekuatan yang baru saja mulai bangkit—energi yang ia rasakan saat menghadapi hinaan di istana dan cemooh utusan asing—kini berputar-putar liar di dalam dirinya, mencari jalan keluar dari penjara segel yang masih membelenggu.

"Tahan," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya parau. "Tahan dan tembus."

Keringat bercampur darah mengalir dari pelipisnya. Bekas luka lebam di tubuhnya terasa seperti terbakar, seolah ada api yang menyala-nyala di bawah kulit. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pecahan kaca. Ini adalah tahap Nafas Langit—tingkat kultivasi di mana jiwa dan tubuh mulai menyatu dengan elemen alam, di mana napas seorang kultivator menjadi jembatan antara dunia fana dan energi langit.

Tapi baginya, jalan itu terhalang oleh segel kutukan yang seperti tembok besi hitam. Setiap kali energi itu mendorong untuk maju, segel itu menahannya dengan kekuatan yang hampir tak tertahankan.

Bayangkan dirimu sebagai angin, suara pengemis tua berbisik dalam ingatannya. Angin tidak melawan, ia mengalir. Ia menemukan celah-celah terkecil untuk menerobos.

Al Fariz memejamkan mata lebih dalam, mencoba mengikuti nasihat itu. Ia membayangkan dirinya bukan sebagai batu yang keras, tetapi sebagai embun yang lembut. Ia mengingat setiap penghinaan, setiap cemoohan, setiap pandangan merendahkan yang ia terima. Tapi kali ini, ia tidak membiarkan amarah menguasainya. Ia menerimanya, membiarkan perasaan itu mengalir melalui dirinya seperti air melalui sungai.

"Untuk rakyat," gumamnya, mengingat anak miskin yang menolongnya, wajah-wajah rakyat kecil yang masih percaya padanya meski dalam diam. "Untuk Nurendah."

Tiba-tiba, sesuatu berubah.

Rasa sakit yang tajam tiba-tiba berubah menjadi sensasi geli yang aneh. Energi yang sebelumnya berputar-putar liar mulai bergerak melingkar dengan pola yang teratur, seperti angin yang membentuk pusaran. Ia bisa merasakan elemen-elemen alam di sekitarnya—tetesan hujan di atap, angin yang berhembus, bahkan denyut kehidupan dari tanah di bawahnya—semuanya seakan menyatu dengan napasnya.

Tapi segel itu tidak mudah menyerah. Sebuah kekuatan gelap muncul dari dalam, mencoba menariknya kembali ke dalam kegelapan. Bayangan-bayangan masa lalu menari-nari di pikirannya—kegagalannya, sumpah yang dilanggarnya, kutukan leluhur.

"Tidak!" teriak Al Fariz dalam hati. "Aku tidak akan mundur lagi!"

Dengan segala kekuatan tekad yang tersisa, ia memusatkan seluruh kesadarannya pada satu titik—cahaya kecil yang mulai bersinar di balik tembok segel. Cahaya itu awalnya hanya sebesar titik jarum, tapi semakin lama semakin besar, menerobos kegelapan seperti fajar yang merekah.

Napasnya yang sebelumnya tersengal-sengal tiba-tiba menjadi dalam dan teratur. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup kehidupan baru. Udara di sekitarnya bergetar, dan lilin minyak padam seketika, tapi ruangan tidak menjadi gelap. Sebaliknya, tubuh Al Fariz memancarkan cahaya keemasan samar, menerangi gubuk yang sederhana itu dengan aura surgawi.

Dadaunya terasa seperti akan pecah, dan dalam ledakan energi yang dahsyat tapi sunyi, sesuatu di dalam dirinya akhirnya jebol.

Tembok segel yang selama ini membelenggunya retak dengan keras. Bukan retakan kecil seperti sebelumnya, tapi sebuah pembukaan yang signifikan. Energi yang lama terpendam mengalir deras seperti air bah yang lepas dari bendungan, membanjiri setiap bagian dari dirinya.

Al Fariz membuka mata, dan untuk pertama kalinya sejak lama, dunia terlihat berbeda. Warna-warna lebih hidup, suara lebih jelas, bahkan ia bisa merasakan detak jantung tikus kecil yang bersembunyi di balik dinding. Napasnya sekarang terasa ringan, seolah ia tidak lagi menghirup udara, tapi menyatu dengannya.

Ia berdiri, dan tubuhnya terasa ringan seperti kapas. Luka-luka di tubuhnya masih ada, tapi tidak lagi terasa sakit. Sebaliknya, mereka terasa seperti bagian dari perjalanan yang harus ia lalui.

Dengan hati-hati, ia mengulurkan tangan, dan seberkas angin sepoi-sepoi memutar di telapak tangannya, menuruti keinginannya. Ia tersenyum, senyum pertama yang tulus dan penuh kemenangan dalam waktu yang lama.

"Ini baru permulaan," bisiknya pada angin yang bermain-main di jemarinya. "Tahap Nafas Langit... akhirnya kuraih."

Tapi di balik kemenangan ini, ia bisa merasakan sesuatu yang lain. Sebuah keberadaan tua dan kuat yang mengawasinya dari kejauhan, seakan terganggu oleh terobosannya. Kutukan leluhur belum berakhir, dan jalan yang harus ia tempuh masih panjang.

Namun untuk malam ini, ia membiarkan dirinya menikmati kemenangan kecil ini. Ia berdiri di depan jendela gubuknya, memandang hujan yang mulai reda, dan menyadari bahwa untuk pertama kalinya, ia tidak lagi merasa seperti orang yang terhina, tetapi seperti seorang Sultan yang perlahan bangkit dari abu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!