Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 23
Adimas menapaki tangga dengan begitu cepat. Dadanya naik turun karena napasnya yang memburu. Kepalanya jadi pusing dan wajahnya jadi memanas. Jantungnya berdegup kencang tidak beraturan dan yang paling aneh adalah ada sesuatu dalam dirinya yang seolah ingin segera dituntaskan.
Sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama 30 tahun ini. Sebagai seorang pria bukan hal yang baru melihat perempuan berpakaian seksi. Dia juga bukan tipikal pria polos yang belum pernah melihat adegan dewasa dan tidak mengerti apa yang terjadi padanya. Adimas sangat mengerti tentang penyebab yang membuatnya jadi tidak tenang seperti sekarang.
Namun yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa rasa gairahnya itu harus muncul ketika melihat Jasmine berpakaian pendek seperti tadi? Meski perempuan itu memakai hoodie, namun celana pendeknya itu langsung terangkat lebih pendek saat ia duduk. Tentu saja itu membuat Adimas bisa melihat jelas paha putihnya. Isi pikiran Adimas mendadak kotor. Bahkan tanpa bisa dicegah, saat Jasmine terbatuk, Adimas justru mendekat.
Mata sayu Jasmine, bibirnya merah muda yang mungil dan hidung Jasmine bahkan bersentuhan dengan hidungnya. Hampir saja keinginannya untuk menyentuh bibir Jasmine terpenuhi kalau saja Jasmine tidak cegukan. Setelah sadar Adimas langsung berjalan cepat ke kamarnya. Ia ingin segera ke kamar mandi.
Sebenarnya tadi ia hanya bermaksud menggoda Jasmine. Lebih tepatnya berpura-pura baik agar perempuan itu benar jatuh cinta padanya. Entah mengapa ia tiba-tiba ingin melihat wajah cemburu Adrian. Ia ingin Adrian kalah kali ini dan Jasmine lah alatnya. Sayangnya tadi justru gagal total. Perlakuannya justru berujung kepada dirinya yang kini harus mandi ulang.
Ia baru saja menyelesaikan keramasnya saat pintu kamar tiba-tiba diketuk. Adimas sebenarnya ingin berpakaian lebih dulu, namun ketukan disertai suara panik Jasmine membuat lelaki itu segera berjalan menuju pintu kamar hanya dengan memakai handuk yang menutupi area pinggang hingga luturnya.
"Kenapa?" tanya Adimas melihat ke sembarang arah dengan santai. Padahal jantungnya berdebar karena Jasmine masih memakai pakaian yang sama.
"Mas! Kenapa nggak pakai baju?!" teriak Jasmine segera berbalik arah.
Adimas menghela napasnya. Bisa ia pastikan wajah Jasmine pasti memerah karena melihat dirinya yang bertelanjang dada. Diam-diam Adimas mengulum senyum. Reaksi Jasmine membuat perempuan itu terlihat lucu.
Adimas segera menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan pikirannya tentang Jasmine.
Berusaha bersikap seperti biasa, Adimas pun bersuara. "Saya baru selesai mandi. Ada keperluan apa kamu di depan kamar saya?"
"Aku mau minta tolong. Aku harap Mas mau." jawab Jasmine masih dengan membelakangi Adimas.
"Mengapa saya harus menolong kamu? Lagipula kamu kira saya sebaik itu? Sudah sana balik ke kamar. Saya sibuk." Iya, sibuk mencari alasan agar Jasmine segera pergi karena melihat Jasmine dengan pakaian pendek itu adalah ujian untuk Adimas.
Jasmine berbalik. Namun menoleh ke sembarang arah. Sama sekali tidak melihat Adimas.
"Tapi aku serius, Mas. Ini penting. Kalau nggak kepepet juga aku nggak akan minta tolong Mas."
Adimas bersandar di pinggir pintu dengan melipat tangannya di depan dada. Lubuk hatinya yang paling dalam sebenarnya terus mengatakan untuk segera pergi, namun mendengar suara memelas Jasmine, ia pun mengurungkan niatnya itu.
"Mau minta tolong apa? Ingat ya, ini nggak gratis dan tentu saja belum tentu saya mau."
Jasmine mengangguk. "Iya. Bayarannya nanti aku transfer." jawab Jasmine cepat.
Adimas tertawa sinis. "Bukan dengan uang. Kamu kira saya kekurangan uang apa. Bayarannya nanti saya pikir-pikir lagi."
Jasmine diam dan akhirnya mengangguk. "Baiklah. Aku setuju." jawabnya.
"Jadi apa?" tanta Adimas langsung.
"Temani aku jemput Naina. Mobilnya mogok." jawab Jasmine dengan wajah cemas.
"Temanmu yang lain? Kenapa harus saya?"
"Fita lagi di rumah mertuanya. Ada acara di sana."
Adimas menghela napasnya. Tanpa menjawab ia segera berbalik badan. Namun saat akan masuk ke kamarnya kembali, lengannya ditahan Jasmine membuat dirinya berhenti.
"Jadi bagaimana? Mas mau nggak?" tanya Jasmine dengan wajah harap cemas.
Namun bukan itu yang membuat Adimas terdiam. Katakan saja Adimas gila, namun melihat Jasmine dengan jarak sedekat ini membuat Adimas rasanya mencium Jasmine. Bibir tanpa polesan lipstik itu menggoda dirinya.
Ia tidak tahu mengapa respon tubuhnya begitu aneh ketika bertatapan dengan Jasmine sedekat ini.
"Mas! Jawab. Jangan diam aja." Suara Jasmine membuatnya tersentak. Ia tersadar karena terlalu lama memperhatikan bibir Jasmine.
"Iya. Saya ganti baju dulu." jawab Adimas. "Kamu juga. Ganti itu baju." suruh Adimas dengan ketus.
"Iya. Makasih ya, Mas Suami." sahut Jasmine dengan cepat, namun membuat Adimas tersenyum tanpa sadar.
****************
"Na!"
"Jasmine!"
Mata Adimas menatap dua perempuan yang saling mendekat dari dua yang arah berlawanan tersebut. Jasmine berjalan cepat menemui sahabatnya ketika mereka sampai di lokasi yang dikirimkan Naina. Sementara Adimas menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil, kedua tangannya bersedekap di dada.
Angin malam berembus pelan, membawa bau asap kendaraan yang samar dan aroma daun basah. Pandangannya tertuju pada Jasmine, yang sedang berdiri di sisi Naina. Sorot matanya tidak terlalu tajam malam ini. Ada sesuatu yang membuatnya menahan komentar sinis yang biasanya mudah meluncur dari bibirnya.
Jasmine terlihat cemas. Tatapannya tak lepas dari Naina yang duduk lemas di trotoar, pipinya pucat, Jilbabnya agak berantakan. Cara Jasmine memperlakukan Naina seperti Jasmine kepada dirinya saat sakit dulu. Ekspresi khawatir di wajah Jasmine, yang tampak begitu tulus menjaga Naina, membuat Adimas diam-diam memperhatikan perempuan itu lebih lama dari biasanya.
"Apa dia memang selalu seperti itu kepada siapapun?" batin Adimas. Jasmine terlalu peduli dan hangat.
Ketika Jasmine menggandeng Naina masuk ke mobil, Adimas tanpa banyak bicara membuka pintu pengemudi. Ia sempat menoleh, bersiap menyambut Jasmine di sampingnya—seperti biasa. Tapi ternyata, Jasmine memilih duduk di kursi tengah, merangkul bahu sahabatnya.
"Terima kasih Pak Adimas. Anda sudah berkenan mengizinkan bahkan menemani Jasmine menemui saya. Maaf merepotkan." kata perempuan bernama Naina itu dengan suara pelan.
Adimas menoleh sebentar. Lalu mengangguk tanpa kata tanpa peduli apakah Naina tersinggung dengan sikapnya atau tidak. Toh ia juga tidak terlalu mengenal sahabat Jasmine yang ini. Bukan berarti Adimas mengenal baik Fita. Namun dibandingkan Fita, tampaknya si Naina ini lebih kalem dan kaku.
"Santai aja kali, Na. Kamu kayak sama siapa aja." Jasmine bersuara dibalas senyum tipis Naina.
Tanpa suara, Adimas menghela napas dan menyalakan mesin. Ia melihat sejenak ke spion, memastikan sabuk pengaman terpasang, lalu mulai menjalankan mobil.
Jalanan malam ini lengang. Lampu jalan seperti garis-garis cahaya yang mereka lewati dalam diam. Hanya suara mesin dan sesekali derik AC yang mengisi kabin. Jasmine pelan-pelan berbicara dengan Naina, suaranya lembut dan penuh perhatian.
“Masih pusing, Na?” tanya Jasmine pelan. "Wajah kamu pucat banget loh."
“Udah nggak terlalu kok." jawab Naina pelan.
"Kamu pasti belum makan ya? Kebiasaan deh Na. Nanti kamu sakit. Kerja ya kerja tapi jangan lupa sama kesehatan diri sendiri. Nanti malah jadi zhalim sama diri sendiri." omel Jasmine membuat Adimas cukup terkejut.
"Nanggung tadi, Mine. Makanya aku lewatin jam makan malamnya." sahut Naina.
Selama bersamanya Jasmine jarang mengomel. Ia memang bukan perempuan pendiam, namun Jasmine juga belum pernah mengomel seperti tadi. Ia lebih sering bersikap tenang dan hangat. Meskipun menyebalkan, namun senyum Jasmine selalu menyambutnya ketika ia pulang kerja.
Adimas melirik spion, menatap Jasmine sekilas. Perhatiannya tidak dibuat-buat. Ada ketulusan di sana.
“Mas, kalau nanti ada warung makan yang buka berhenti ya. Beli makanan dulu." pinta Jasmine pada Adimas.
“Iya. Berarti bayarannya double ya." sahut Adimas.
"Aduh nggak usah, Mine. Aku bisa makan di apartemen kok." tolak Naina halus.
Sebenarnya Adimas tidak keberatan berhenti sebentar membeli makanan untuk Naina. Ia sengaja berbicara seperti itu untuk membuat Jasmine kesal bukan menyinggung Naina.
“Enggak dong. Kamu bisa aja lupa makan nanti. Apalagi di rumahmu cuma ada stok mie sama telur. Aku yakin, kamu pasti makan makanan instan itu, kan?" tuduh Jasmine yang membuat Adimas hampir tertawa dan mengeluarkan sindiran untuk Jasmine.
Tuduhan tersebut lebih cocok untuknya sendiri. Perempuan itu bahkan baru saja menghabiskan semangkok mie instan toping komplit.
"Yaaah dia malah tidur." suara Jasmine kembali terdengar.
"Capek dia. Tapi lebih lagi kalau dia dengerin suara sumbang kamu."
Alih-alih marah Jasmine justru tertawa pelan. "Makasih ya Mas kamu sudah baik banget hari ini." ucap Jasmine lembut.
"Ini tidak gratis, Nona. Awas saja kalau kamu tidak mau bayar," jawab Adimas yang masih fokus menyetir.
Tak sampai lima belas menit, mereka sampai di warung pecel lele sederhana yang masih terang benderang. Warung itu tampak sederhana tapi hidup. Asap dari penggorengan mengepul, suara wajan yang sibuk bersahutan dengan suara musik dangdut lawas dari radio butut yang tergantung di tiang bambu.
Adimas turun lebih dulu, lalu membuka pintu belakang untuk Jasmine dan Naina. Ia tidak biasa melakukannya, tapi entah kenapa malam ini ia tidak ingin terlihat terlalu kaku. Mungkin karena ada Naina. Ia tidak mungkin memperlakukan Jasmine dengan buruk.
"Naina masih tidur, Mas. Gimana dong?" tanya Jasmine dan iya, Naina memang tampak masih tidur dengan nyenyak.
"Ya sudah. Langsung pulang saja." Adimas baru saja akan menutup pintu mobil namun tertahan oleh tangan Jasmine.
Adimas terlihat bingung. Namun ekspresi Jasmine membuatnya tahu. Perempuan bertubuh kecil itu sedang lapar. Ia tidak mengerti mengapa tubuh kecil itu justru mempunyai nafsu makan yang tinggi.
"Mau makan di sini atau bungkus saja?" tanya Adimas langsung.
Mata Jasmine berbinar. Senyumnya membuat lesung pipinya muncul. "Makan di sini aja," jawabnya cepat.
“Kamu yakin mau makan di sini?” tanya Adimas lirih, mendekat ke arah Jasmine.
Jasmine mengangguk. “Iya. Aroma bebek gorengnya membuatku lapar. Kamu mau makan di sini juga nggak?"
Adimas tidak menjawab. Ia justru langsung melangkah menuju warung yang masih ramai pengunjung tersebut. Tanpa menunggu Jasmine, Adimas segera memesankan dua menu makanan dan dua jeruk hangat untuk dimakan di tempat dan satu menu untuk di bawa pulang.
Setelah memesankan makanan, Adimas segera duduk di kursi kosong. Disusul oleh Jasmine yang duduk di depannya.
"Buat Naina sudah dipesankan, Mas?" tanya Jasmine yang melihat sekelilingnya.
Adimas mengangguk. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan ternyata terdapat pesan dari Rindu. Ia segera membalas pesan tersebut agar Rindu tidak menunggu lama balasan darinya.
Tidak lama kemudian dua nasi lengkap dengan bebek goreng serta beberapa lalapan dan sambal datang. Tidak lupa dua jeruk hangat juga ikut mengisi sisi kosong meja makan mereka.
"Aku kira Mas nggak mau loh. Ternyata doyan juga."
“Terpaksa. Kalau saya keracunan berarti itu salah kamu," jawab Adimas sarkas.
Lesung pipi di sebelah kanan itu muncul kembali. “Siap, nanti aku bawa ke UGD langsung. Gratis ongkir,” Jasmine menanggapi ringan.
Adimas mengalihkan pandangan, berusaha menyembunyikan senyum tipis yang hampir lolos dari bibirnya.