Kesedihan Rara mencapai puncak hanya dalam waktu satu hari.
Setelah orang tuanya batal menghadiri acara wisudanya, Rara malah mendapati kekasihnya berselingkuh dengan sepupunya sendiri.
Rara mendapati kenyataan yang lebih buruk saat ia pulang ke tanah air.
Sanggupkah Rara menghadapi semua cobaan ini?
Ig : Poel_Story27
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Poel Story27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita yang Janggal
"Bi, bisa ceritakan sedetailnya tentang Rara!" pinta Lidya setelah bi Eni kembali duduk di depannya.
"Setelah nyonya Maira meninggal, non Rara pindah ke sini, karena tuan Dion menjual rumah yang kami tempati. Non Rara kemudian membangun sebuah butik bersama temannya, dengan kegigihan non Rara butiknya menjadi cepat berkembang, dan sekarang sudah menjadi sebuah brand fashion yang besar. Bibi salut dengan perjuangan Rara hingga kehidupan Rara membaik seperti sekarang, dia tidak menyerah bahkan saat ia sudah tidak punya siapa-siapa, hanya bibi dan satu temannya yang menjadi keluarga bagi non Rara," ucap bi Eni menceritakan jatuh bangunnya kehidupan seorang Nadira.
Lidya menganggukkan kepalanya. "Tapi maksud saya bukan itu, Bi! Maksud saya apakah Rara pernah pergi ke Milan? Setelah itu menikah? Dan ayah dari anak Rara, apa Bibi mengenalnya?"
"Non Rara memang pernah tinggal di Milan, Nyonya! Non Rara kuliah di sana, bibi tidak tahu persis tempat kuliahnya, tapi yang jelas non Rara kuliah di bidang industri pakaian, seperti itulah kurang lebihnya. Non Rara juga tidak pernah menikah, saat bibi tanya siapa ayah dari anak itu, non Rara bilang ia pernah tidur bersama seseorang yang ia tidak kenal di Milan. Pria sewaan katanya. Dan sukurnya Rio bukanlah anak yang rewel, dia tidak pernah membuat pusing mamanya dengan menuntut keberadaan ayahnya. Meski masih kecil, Rio adalah anak yang sangat pengertian, Nyonya," jawab bi Eni.
Lidya mengkerutkan dahi mendengar penjelasan panjang lebar dari bi Eni, sebuah informasi yang dapat sangat bertolak belakang dengan yang ia dengar semalam.
'Persis sekali, Rio pasti cucuku! Tapi sungguh aneh, tadi malam Rara bilang dia pernah menikah dan sudah menjadi seorang janda. Rio, dia bilang Rio terus mendesaknya untuk memiliki figur ayah, mengapa yang diceritakan bi Eni benar-benar berbeda. Dan Rio pun sepertinya baik-baik saja seperti yang dikatakan bi Eni, tidak ada Raut kesedihan di wajah anak itu,' batin Lidya, ia kebingungan sendiri, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
'Aku harus menyelidikinya lebih lanjut,' gumamnya lagi.
"Bibi bisa panggilkan Rio, saya ingin bertemu dengan anak itu," pinta Lidya.
"Tunggu sebentar Nyonya." Bi Eni berdiri lalu melangkah menuju kamar Rio.
Tak lama kemudian bi Eni kembali dengan membawa Rio. Rio adalah anak yang sangat pintar beradaptasi.
"Sana salim Oma itu," perintah bi Eni.
Rio pun menurut dan menghampiri Lidya, dia tidak memiliki rasa takut, Rio meraih tangan Lidya lalu mencium punggung tanganya, anak ini memang sudah di ajarkan tata krama yang baik sejak kecil.
"Namaku Rio, ...." Rio menoleh ke arah bi Eni, karena tidak tahu harus memanggil Lidya dengan sebutan apa.
"Panggil Oma Sayang ...." Lidya dapat melihat raut kebingungan di wajah Rio.
Rio pun tersenyum senang. "Namaku Rio, Oma!" ulangnya.
Lidya senang bukan kepalang, tak ada keraguan di hatinya bahwa Rio adalah cucunya. Lidya pun menarik Rio kepelukannya, lalu mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah anak itu, sementara Rio hanya terdiam pasrah.
"Rio sama Dian temanin Oma Lidya di sini ya. Nenek mau ambilkan makan siang buat kalian," ucap bi Eni yang dijawab anggukan serentak dari dua anak kecil itu.
Lidya tidak menyiakan kesempatan itu, ia mengambil beberapa helai rambut Rio, untuk dijadikan bahan sampel tes DNA. meskipun ia tidak meragukan firasatnya, tapi ia tetap menginginkan sesuatu yang lebih valid sebagai bukti.
"Sayang ini makanannya, ayo makan siang dulu," panggil bi Eni sambil membawakan 2-piring makanan.
"Bawa ke sini, Bi! Biar saya suapin Rio," pinta Lidya, lalu menyambut satu piring makan siang untuk Rio, bi Eni kembali kembali ke belakang untuk mengambilkan minum.
"Rio mau oma suapin?"
Rio mengangguk, ia menyantap makanan yang di suapkan Lidya dengan lahap. Mata Rio melirik ke arah Diana yang seperti tidak semangat menyantap makan siangnya.
"Oma, Dian mau disuapin juga," ujar Rio, ia memang selalu perhatian pada gadis kecilnya itu.
"Kamu mau juga?" tanya Lidya, Diana mengangguk cepat.
Rio pun tersenyum senang, saat gadis kecilnya itu menyantap makanan dengan tak kalah semangat dari dirinya.
"Siapa nama temanmu ini, Sayang? Rio pasti menyukainya, benar nggak tebakan Oma!" seru Lidya, yang membuat wajah cucu kecilnya itu merona merah.
"Namanya Dian Oma!" jawab Rio tertunduk malu.
'Ya ... tuhan! Darah Richard memang mengalir dalam diri anak kecil ini,' batin Lidya, sambil menggelengkan kepalanya.
Setelah selesai melayani Rio makan siang, Lidya pun hendak pamit pulang.
"Oma pulang dulu ya Sayang!" seru Lidya yang kembali mendaratkan kecupan bertubi-tubi di wajah Rio.
"Bi, saya pamit! Dan jangan dulu katakan pada Rara tentang kedatangan saya," pinta Lidya.
Bi Eni mengangguk paham, Lidya segera pergi meninggalkan apartemen Rara. Ada cerita kontras yang tidak dimengerti oleh Lidya di sini. Kini Lidya sudah dalam perjalanan pulang ke mansionnya.
"Jef, lakukan tes DNA pada sampel ini, aku ingin besok hasilnya sudah ada," perintah Lidya pada Jefry, orang kepercayaan keluarganya. Lidya memberikan rambut Rio yang tadi ia ambil.
Jeff memeriksa sampel yang diberikan Lidya. "Maaf Nyonya! Untuk sample rambut tidak akan selesai besok, karena melalui proses uji lab yang lebih lama, tapi saya bisa mengambil sample darah anak itu, untuk melakukan tes DNA yang lebih cepat, dan keakuratannya juga sangat baik."
"Lakukan apapun itu! Tapi jangan sampai menyakiti anak itu!" Lidya memberi izin. "Dapatkan info secepatnya tentang kehidupan Rara, tanpa ada yang tertinggal," imbuh Lidya.
"Baik Nyonya! Semuanya akan sampai ke tangan Anda, selambatnya besok siang," jawab Jefri menyanggupi.
Lidya tiba di mansionnya, ia mendapati Brian sedang bersantai di ruang keluarga. Brian menoleh ke arah derap langkah yang tak lain adalah istrinya itu.
"Bagaimana? Wanita itu mau diajak bicara baik-baik?" tanya Brian.
Lidya menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku tidak sempat bertemu dengannya. Ada banyak kejanggalan yang aku temui. Informasi dari orang terdekatnya, dia bukan seorang janda, dan dia belum pernah menikah, sangat membingungkan, bukan!"
"Mengapa bisa seperti itu?" tanya Brian tak kalah bingungnya.
"Mana aku tahu, kalau aku tahu, aku tidak akan menyuruh Jef untuk menyelidikinya lebih lanjut," suntuk Lidya.
"Kau terlalu cepat emosi akhir-akhir ini, permaisuriku! Kemarilah!" Brian merebahkan Lidya di pangkuannya.
"Dan satu lagi, aku sangat yakin anak dari wanita itu adalah anaknya Sean, Cucu kita," lanjut Lidya.
Brian hanya menggangguk-anggukkan kepala, ia kini menjadi lebih bingung dari pada Lidya, sebenarnya Brian sudah tidak sabar ingin bertanya, tapi ia memilih menahannya. Daripada harus terkena amukan singa betina yang juga tidak tahu jawabannya itu.
"Tunggulah! Kau sudah memeritahkan Jef untuk menyelidikinya, dia akan bekerja lebih cepat dari pada yang kita bayangkan," ujar Brian meredam rasa penasaran istrinya, meski sebenarnya ucapannya itu lebih untuk meredam rasa penasarannya sendiri.
Sesaat kemudian Lidya terlelap nyaman di pangkuan Brian. Brian meraih ponselnya, ia memerintahkan anak buahnya untuk bergerak mencari informasi yang lebih detail dan cepat.
Bersambung.
Jangan lupa tinggalkan like, vote dan komen ya!