Istri penurut diabaikan, berubah badas bikin cemburu.
Rayno, pria yang terkenal dingin menikahi gadis yang tak pernah ia cintai. Vexia.
Di balik sikap dinginnya, tersembunyi sumpah lama yang tak pernah ia langgar. Ia hanya akan mencintai gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya.
Namun ketika seorang wanita bernama Bilqis mengaku sebagai gadis itu, hati Rayno justru menolak mencintainya.
Sementara Vexia perlahan sadar, cinta yang ia pertahankan mungkin hanyalah luka yang tertunda.
Ia, istri yang dulu lembut dan penurut, kini berubah menjadi wanita Badas. Berani, tajam, dan tak lagi menunduk pada siapa pun.
Entah mengapa, perubahan itu justru membuat Rayno tak bisa berpaling darinya.
Dan saat kebenaran yang mengguncang terungkap, akankah pernikahan mereka tetap bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Takut Kehilangan
Udara menegang.
Suara mesin menggema, ban berdecit.
Vexia hanya miringkan bodi motornya sedikit, dan dalam satu detik yang terasa seperti abadi,
ia menyelinap di antara dua truk yang berpapasan.
Cermin mobil Rayno bergetar hebat karena angin yang tertiup keras.
Jantungnya seakan berhenti berdetak.
Tapi di balik kaca helmnya, Vexia tersenyum tipis.
Bukan senyum bahagia, melainkan senyum seseorang yang akhirnya bisa bernapas setelah lama tenggelam.
Udara pagi menerpa tubuhnya, membawa rasa lega bercampur perih.
“Selama ini aku menahan semuanya… Sekarang, biarkan aku lepas. Meski cuma sebentar.”
Rayno menggenggam setir erat, matanya masih menatap bayangan motor istrinya yang makin jauh.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar menyadari, wanita yang selama ini ia kira lembut dan mudah dikendalikan...ternyata punya sisi liar yang selama ini ia bunuh demi cinta.
***
Vexia mematikan mesin motornya di parkiran kantor. Ia melepas helm perlahan, membiarkan hembusan angin pagi menyentuh wajahnya yang kini tampak lebih tegas dari biasanya.
Dengan satu gerakan ringan, ia membuka jaket kulit hitamnya. Rambut panjang yang tergerai kini ia ikat tinggi. Sederhana, tapi cukup membuat garis rahangnya tampak tegas dan berkarisma.
Baru beberapa langkah ia meninggalkan motornya, nalurinya berdenyut. Ada seseorang di belakangnya.
Langkahnya berhenti. Suara napas halus terdengar di jarak tak lebih dari dua meter.
Dan sebelum pikirannya sempat memproses, sebuah tangan menyentuh lengannya.
Refleks.
Vexia berbalik cepat, mengunci pergelangan tangan itu, lalu menarik tubuh penyerangnya ke samping sambil memutar setengah lingkaran.
Tangannya terangkat, siap menghantam wajah pria itu. Tapi gerakannya tertahan.
Pria itu lebih cepat. Dalam satu gerakan halus, ia menangkis pukulan itu, memutar pergelangan tangan Vexia ke atas, dan menariknya mendekat.
Tubuh mereka kini hanya berjarak sejengkal.
“Xi—!”
Rayno.
Vexia tertegun sepersekian detik. Napasnya memburu. Serangan berikutnya ia tahan di udara.
Rayno menatapnya, masih menahan tangan istrinya agar tak melayang lagi ke wajahnya. Napas mereka beradu di udara pagi yang dingin.
“Sejak kapan kau belajar menyerang seperti itu?” suaranya berat, setengah tak percaya.
Vexia tak menjawab. Ia hanya menarik lengannya dengan cepat, lalu menatapnya datar.
Tapi dengan cepat Rayno menggenggam pergelangan tangannya, tanpa banyak kata menariknya ke balik pilar beton di ujung parkiran.
Tempat sepi, jauh dari pandangan orang.
“Lepas, Ray,” ucap Vexia dingin.
Tapi genggaman Rayno tak mengendur.
Ia menatap istrinya lama. Ada khawatir, ada kekaguman, dan ada ketakutan yang tiba-tiba terasa begitu nyata. Ketakutan akan kehilangan sesuatu yang baru disadarinya berharga.
Napasnya bergetar sedikit ketika kata-kata itu lolos dari bibirnya, pelan tapi tegas.
“Xia… kau boleh marah padaku. Tampar aku. Pukul aku jika perlu. Tapi jangan pertaruhkan nyawamu karena marah padaku.”
Di telinga Vexia, kata-kata itu terdengar seperti langkah di bibir jurang. Samar antara perhatian dan ejekan, antara rasa bersalah dan kepemilikan yang terlambat.
Vexia tertawa pendek, sinis. Matanya menyala. Bukan karena takut, melainkan karena luka yang menumpuk terlalu lama.
Lalu, tiba-tiba, geraknya cepat sekali.
BUGH!
Pukulan itu mendarat keras di pipi Rayno. Denting suara tinju pada kulit terdengar nyaring di antara pilar-pilar beton parkiran. Darah meleleh dari bibir Rayno, membasahi sudut mulutnya. Ia menatap istrinya, terkejut. Bukan karena pukulannya, dia bisa saja menghindar. Tapi karena Vexia benar-benar memilih melepaskan itu semua padanya.
“Marah?” Vexia meledek, suaranya dingin. “Aku memang marah. Karena selama ini kau abaikan aku, permainkan aku. Tapi aku bukan orang bodoh yang rela mempertaruhkan nyawanya cuma karena ingin menunjukkkan amarah.”
Rayno mengangkat telapak tangan, menyeka darah di sudut bibirnya perlahan. Sorot matanya berubah. Antara marah dan takut, antara kecewa dan lega. Ada ribuan kata yang berdesakan di tenggorokannya.
“Kau menyalip truk yang menyalakan lampu sen. Itu tanda bahaya,” ujarnya serak. “Kau nekat menyalip, dan hampir—”
Suara itu terputus, tertelan oleh sesak di dadanya.
“Apa urusanmu?” sahut Vexia dingin. Nada suaranya setajam pisau, menebas setiap sisa kepedulian yang berani mendekat.
“Urusanku,” balas Rayno cepat, suaranya berat menahan emosi. “Aku suamimu.”
Kata itu menggantung. Udara di antara mereka menegang.
Vexia menatapnya lama, lalu tawa kecil lolos dari bibirnya. Bukan tawa bahagia, tapi getir.
“Suamiku?” bisiknya, sinis. “Apa kau pantas menyebut dirimu suami?”
Rayno terdiam, tak sempat membalas.
Tiba-tiba, suara deru motor memotong ketegangan. Semakin lama semakin dekat.
Refleks, Rayno mendorong tubuh Vexia ke pilar besar.
Tubuhnya mencondong, melindungi Vexia dari pandangan luar. Tangannya masih menggenggam pergelangan tangan wanita itu. Kuat, tapi tetap lembut, seolah takut menyakitinya.
Hening.
Napas mereka bertaut. Hangat. Kencang. Tak teratur.
Dada mereka hampir bersentuhan, dan untuk sesaat, dunia di luar pilar itu lenyap. Tak ada suara selain degup jantung yang saling bersahutan.
Rayno menatap Vexia dari jarak sedekat itu. Matanya penuh sesal, takut, dan cinta yang tak sempat diucapkan.
Ia baru sadar, dinding yang ia bangun selama ini… mulai runtuh.
Rasa bersalah yang selama ini ia sembunyikan kini berbaur dengan rindu yang diam-diam tumbuh.
Namun sebelum ia sempat bicara, suara dingin Vexia membelah keheningan seperti belati.
“Kenapa?” suaranya datar, tapi nadanya menusuk. “Takut orang lihat kau bersamaku? Takut orang tahu kalau aku istrimu?”
Ia menatap Rayno tajam, jarak mereka terlalu dekat untuk menghindar.
“Atau alasanmu masih sama… menjaga namaku, biar nanti saat berpisah aku tak disebut janda?”
Senyumnya miring, getir. “Alasan yang manis, Ray… tapi juga alasan paling kejam yang pernah kudengar.”
Rayno terdiam. Kata-katanya memaku pria itu di tempat.
Dadanya serasa diremas. Bukan oleh tangan, tapi oleh kenyataan yang ia ciptakan sendiri.
Sebelum ia sempat menemukan kata untuk menjawab, Vexia mendorong dadanya dengan kasar.
"Minggir,” ucapnya pelan, namun tajam.
Rayno hanya bisa menatap, tak mampu menahan.
Langkah Vexia berderap menjauh, mantap, tegas. Kontras dengan gemetar kecil di tangan yang masih dingin karena marah dan sedih.
Dan di antara suara langkah yang menjauh, Rayno hanya berdiri di sana. Di balik pilar parkiran, menatap punggung istrinya yang perlahan menghilang.
Sosok yang dulu lembut kini menjauh dengan api di matanya.
Sosok yang dulu ia abaikan… kini jadi satu-satunya yang benar-benar membuatnya takut kehilangan.
Waktu seolah berhenti di sekitar mereka.
Rayno menumpukan tangan kirinya di pilar parkiran, menahan tubuhnya yang goyah.
Bukan karena lemah… tapi karena hatinya yang mulai retak.
Di kepalanya, hanya gema suara Vexia yang berulang-ulang memantul:
“Apa kau pantas menyebut dirimu suami?”
Ia memejamkan mata. Napasnya berat, tersangkut di dada.
Setiap kata Vexia terasa seperti hantaman telak.
Bukan karena marah. Tapi karena semuanya benar.
“Maafkan aku, Xia…”
bisiknya lirih.
Suara sendiri terdengar asing di telinga.
“Aku hanya berjanji akan mencintai orang yang menyelamatkanku…”
Kepalanya menunduk. Mata yang dulu tegas kini tampak lelah dan kehilangan arah.
“Tapi kenapa… rasanya justru seperti berkhianat?”
Hening.
Sumpah yang dulu ia anggap suci kini terasa seperti rantai di lehernya.
BUGH!
Tangan kanannya menghantam pilar beton. Darah mulai merembes di buku jarinya.
“Aku bersumpah tak akan mencintai siapa pun selain dia…” gumamnya getir.
“Tapi kenapa… hati ini malah memilih orang lain?”
Tatapannya kosong menembus udara. Dalam bayangannya, Vexia masih berdiri di sana, dengan senyum getir, mata yang tajam, dan langkah menjauh tanpa ragu.
Sementara itu,
di sisi lain parkiran, Vexia menegakkan bahunya. Ia menarik napas panjang, menatap pantulan dirinya di kaca mobil yang terparkir.
“Brengsek,” gumamnya pelan. Tanpa air mata, hanya dengan senyum kecil di sudut bibir.
Senyum itu getir, tapi kuat.
“Berlagak jadi suami, padahal tak pernah menganggap aku istri.”
Ia menatap langit pagi yang mulai terang.
“Kalau kau pikir aku masih perempuan yang sama, yang diam dan menunggu… kau salah besar, Ray.”
Senyumnya melebar sedikit.
Bukan karena bahagia, tapi karena sadar, luka yang dulu melemahkannya, kini justru membuatnya hidup.
“Mulai hari ini…”
bisiknya nyaris tak terdengar,
“aku bukan perempuan yang kau tinggalkan di meja makan malam itu.”
Angin pagi berembus lembut, menerbangkan helai rambutnya yang terlepas.
Dan di balik langkah kakinya yang mantap menuju gedung kantor, ada kebebasan yang akhirnya mulai ia genggam. Meski harus melewati jalan penuh bara.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Di lantai berapa… divisi administrasi?”
Pertanyaan itu membuat Dani tertegun sejenak.
To be continued
Rayno, Xia nya pergi ke club. saking kedap suara ruangannya ya, org buka pintu ga kedengeran.
jangan ganggu Xia Rayno,,kamu makan saja sendiri masih bersyukur Xia mau nyiapin makan malam,,mungkin Xia lagi istirahat katena lelah....
awas saja jika si Vega berhasil menjebak Vexia
Abaikan dulu Rayno yang sok jaim gengsi tinggi egonya melangit
Kepo banget sampai mengecek rekaman lain. Bukan urusan Dani - apa yang terjadi diantara Rayno dan Vexia.
Rayno sekarang silahkan menikmati sikap Vexia yang dingin, tak begitu peduli dengan keberadaanmu.
Istri yang dulu begitu ia abaikan - sekarang mengabaikan Rayno.
Vexia masak di dapur - Rayno tertegun - matanya tak berkedip terpaku melihat tampilan istrinya yang sedang memasak.
Rasain - memang enak makan sendiri.
Vexia sudah makan - pemberitahuan lewat kertas - tak mau bicara sama Rayno.
Hari ini gajian pertama Vexia.
Salah satu staf menanyakan janjinya Vexia yang mau traktir makan setelah gajian.
Vexia bilang tak akan ingkar janji.
Vega semakin sirik ajah.
Vega punya rencana jahat apa ini kepada Vexia.
Yang benar motor sport hitam berkilat atau motor sport merah nih Author 😄.
Dani jadi kepo - menyelidiki Bos-nya yang belakangan ini, sebelum jam kantor berakhir sudah pergi.
Dani mengekor mengikuti mobil Rayno - sayangnya dia tak tahu siapa yang di kejar Rayno. Tak tahu siapa pemilik motor sport.
Rayno, rasakan - Vexia bersikap dingin sekarang.
Dani kaget juga kagum tak percaya - setelah mengecek CCTV kantor ternyata yang membawa motor sport - Vexia.