Pertemuan Andre dan fanda terjadi tanpa di rencanakan,dia hati yang berbeda dunia perlahan saling mendekat.tapi semakin dekat, semakin banyak hal yang harus mereka hadapi.perbedaan, restu orang tua,dan rasa takut kehilangan.mampukah Andre dan fanda melewati ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nangka123, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: JEJAK CINTA DAN PELARIAN
Suasana yang tadinya tenang kini berubah tegang, Fanda menggenggam lengan Andre erat-erat, seolah takut kalau kapan saja ada sesuatu yang buruk terjadi.
Pemuda desa itu menatap Andre dengan bingung, jelas tak paham sepenuhnya apa yang sedang terjadi, tapi ia tahu sesuatu yang besar sedang menanti.
“Dre, mobil itu masih di warung tadi. Kayaknya mereka lagi tanya-tanya ke orang-orang. Aku buru-buru ke sini biar kamu siap-siap,” katanya lagi, suaranya lebih pelan.
Andre mengangguk cepat.
“Makasih, Din. Nanti kalau mereka tanya lagi, bilang aja aku lagi keluar kampung. Jangan pernah bilang Fanda ada di sini.”
“Siap, Dre.”
Pemuda itu langsung pamit, motornya melaju kencang kembali ke jalan kecil yang mengarah ke sawah.
Fanda menarik napas gemetar.
“Mas… kalau benar itu orang-orang Zul, berarti mereka sudah sampai sejauh ini. Aku takut.”
Andre menoleh padanya, menatap mata istrinya dalam-dalam. Tatapannya penuh keyakinan.
“Sayang, dengar aku baik-baik. Ini kampungku, aku kenal semua orang di sini. Selama kita di sini, mereka nggak akan gampang bisa macem-macem. Aku janji.”
Ibu Rita mendekat, wajahnya serius.
“Nak kalau memang orang itu berbahaya, Ibu nggak bisa tenang. Lebih baik kalian sembunyi dulu. Ada rumah kosong di ujung desa, dekat kebun bambu. Jarang dipakai orang, kalian bisa tinggal di sana sementara. Ibu akan bilang ke tetangga kalau kalian pergi ke kota.”
Fanda tertegun mendengar usulan itu. “Bu… apa nggak merepotkan?”
Ibu Rita tersenyum tipis meski jelas ada kekhawatiran di matanya. “Nak, kalian ini keluargaku. Kalau kalian susah, ya tugas Ibu melindungi.”
Andre menghela napas panjang, lalu mengangguk.
“Baik, Bu. Malam ini juga aku dan Fanda pindah ke sana.”
Malamnya, suasana desa begitu sepi. Hanya suara jangkrik dan sesekali gonggongan anjing terdengar. Andre menggandeng Fanda berjalan menyusuri jalan setapak gelap, sementara Ibu Rita ikut mengantar sampai setengah jalan. Mereka membawa beberapa barang seperlunya,pakaian, obat-obatan, dan sedikit makanan.
Rumah kosong itu sederhana, berdinding kayu dengan atap genteng yang sudah berlumut. Pintu berderit saat dibuka, udara lembap menyambut. Tapi bagi Fanda, tempat itu terasa lebih aman daripada berada di rumah utama yang terlalu mudah dicari orang.
“Sayang, maaf ya, kamu harus ngalamin semua ini,” kata Andre sambil menyalakan lampu minyak kecil.
Fanda menggeleng, lalu meraih tangannya. “Mas, aku nggak butuh rumah mewah atau kenyamanan. Yang aku butuh cuma Mas ada di sampingku. Selama itu ada, aku kuat.”
Andre memeluk Fanda erat. Di luar, angin malam berhembus, membawa aroma tanah basah. Mereka berdua tahu, hari-hari ke depan tidak akan mudah. Orang-orang Zul sudah berhasil menemukan jejak mereka, dan cepat atau lambat, konfrontasi tak bisa dihindari.
Namun di dalam pelukan itu, Fanda merasa ada satu hal yang tak bisa direbut siapa pun: keyakinannya pada Andre.
Keesokan paginya, suara ketukan keras di pintu rumah joglo Ibu Rita membangunkan seluruh penghuni. Dua pria berjas hitam berdiri di depan, wajah mereka dingin, sorot mata penuh ancaman.
“Ibu ini ibunya Andre?” salah satu bertanya dengan nada tajam.
Ibu Rita menatap mereka tenang, meski jantungnya berdegup kencang.
“Betul. Ada urusan apa dengan anak saya?”
“Kami mencari Andre dan istrinya. Kami tahu mereka ada di sini. Lebih baik jangan coba-coba bohong, Bu.”
Ibu Rita menghela napas, lalu menjawab dengan mantap.
“Andre memang pulang, tapi dia sudah pergi lagi ke kota semalam. Saya tidak tahu dia ke mana. Kalian terlambat.”
Pria itu saling pandang dengan temannya, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Mereka menggeram, lalu berjalan ke mobil hitam yang diparkir di jalan. Sebelum pergi, salah satu menoleh, matanya menyipit.
“Kalau ketemu, bilang sama Andre. Permainan sudah berakhir.”
Mobil itu melaju, meninggalkan debu tebal di jalanan desa.
Dari balik jendela rumah kosong di kebun bambu, Fanda yang mendengar cerita itu dari seorang tetangga menggenggam tangan Andre erat-erat.
“Mas… mereka serius. Kayaknya mereka nggak akan berhenti sampai dapat kita.”
Andre menatap ke depan, rahangnya mengeras.
“Kalau begitu, kita juga nggak boleh berhenti berjuang. Ini bukan cuma soal kita lagi, Fan. Ini soal kebenaran. Aku janji, aku nggak akan biarin mereka menang.”
Fanda mengangguk, meski ketakutannya masih besar. Di matanya, hanya ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan,yaitu keyakinan pada Andre.
Malam itu, setelah mendengar kabar bahwa orang-orang Zul sudah mendatangi rumah Ibu Rita, Fanda gelisah. Meski tubuhnya lelah, matanya tak bisa terpejam. Ia duduk di sudut ranjang, memandangi lampu minyak yang berkelip kecil di atas meja.
Andre yang tadinya tertidur, ikut terbangun saat merasakan tempat di sampingnya kosong. Ia mendekat, lalu duduk di sebelah Fanda.
“Kamu belum tidur, Sayang?” tanyanya lembut.
Fanda menggeleng, lalu menatap wajah suaminya.
“Mas… sampai kapan kita harus begini? Sembunyi, lari, takut setiap kali ada suara motor lewat.”
Andre menghela napas panjang, meraih tangan Fanda, menggenggam erat.
“Aku tahu kamu capek. Tapi percayalah, semua ini nggak akan sia-sia. Sidang masih berjalan, dan kebenaran pasti kebuka. Zul nggak bisa sembunyi selamanya. Kita cuma butuh waktu… sedikit lagi.”
Fanda menunduk, suaranya bergetar.
“Aku takut kehilangan Mas.”
Andre tersenyum tipis, lalu mengangkat dagu Fanda agar menatap matanya.
“Kamu nggak akan pernah kehilangan aku. Selama aku masih hidup, aku bakal jagain kamu.”
Pelukan hangat itu akhirnya membuat Fanda tenang. Untuk pertama kalinya malam itu, ia bisa memejamkan mata di pelukan Andre.
Keesokan harinya, suasana desa tampak biasa saja. Anak-anak berlari di pematang sawah, ibu-ibu sibuk di pasar kecil, suara ayam berkokok bersahutan. Seolah tidak ada ancaman apa pun.
Fanda dan Andre memutuskan keluar sebentar, menyusuri jalan setapak di antara persawahan. Angin sepoi-sepoi membuat Fanda merasa sedikit lega.
“Mas… aku baru sadar, ternyata ketenangan itu nggak perlu mahal. Jalan di tengah sawah aja rasanya udah kayak surga.”
Andre terkekeh.
“Makanya aku kangen kampung. Kalau di kota, jangankan suara jangkrik, suara hati sendiri aja kadang nggak kedengeran.”
Fanda tersenyum, matanya berbinar.
“Aku jadi pengen belajar hidup kayak orang desa. Bangun pagi, bantu masak, panen sayur, nggak ada gosip kantor, nggak ada tekanan sidang.”
“Boleh, nanti aku ajarin nyangkul,” jawab Andre sambil bercanda.
Fanda langsung cemberut.
“Heh, Mas, jangan kira aku nggak bisa. Siap-siap aja, jangan sampai kalah sama aku.”
Tawa mereka pecah di tengah sawah, mengusir sejenak rasa takut yang sejak kemarin membayangi.
Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Menjelang sore, salah satu tetangga datang dengan wajah tegang.
“Dre, aku lihat mobil hitam itu lagi muter-muter di jalan depan balai desa. Kayaknya mereka belum pergi.”
Fanda langsung mematung. Jantungnya berdegup kencang.
“Mas… mereka masih cari kita.”
Andre mengepalkan tangan, lalu menatap tetangganya.
“Tolong bilang ke warga lain, jangan ada yang kasih tahu soal aku dan Fanda. Mereka orang jahat, bisa bahaya kalau tahu keberadaan kita.”
Tetangganya mengangguk mantap. “Tenang, Dre. Ini kampung kita, nggak ada orang asing bisa seenaknya di sini. Semua warga akan tutup mulut.”
Fanda terharu, matanya berkaca-kaca. Ia berbisik pada Andre setelah tetangga itu pergi,
“Mas… aku nggak nyangka mereka mau melindungi kita sejauh ini.”
Andre menatap istrinya lembut.
“Inilah bedanya kampung sama kota, Fan. Di sini, kita bukan cuma hidup sendiri. Semua orang saudara.”
Malam itu, rumah kosong di kebun bambu kembali jadi tempat persembunyian mereka. Dari kejauhan, suara mobil sesekali terdengar melewati jalan besar. Fanda meringkuk di samping Andre, matanya penuh kekhawatiran.
“Mas… kalau mereka nekat masuk desa, apa kita masih bisa aman?”
Andre menatap langit-langit gelap, pikirannya berat.
“Kalau mereka sampai masuk, kita harus siap. Tapi jangan takut… aku punya teman-teman lama di sini. Mereka nggak akan tinggal diam kalau ada orang asing bikin rusuh.”
Fanda menggenggam tangan Andre erat-erat, seakan tak mau dilepas.
Di luar, angin malam berhembus kencang, membuat bambu berderit. Seakan memberi pertanda badai yang lebih besar sedang menunggu.