Ini tentang TIGA TRILIUN...
yang dipermainkan oleh DIMITRY SACHA MYKAELENKO, hanya demi satu tujuan:
menjebak gadis yang sejak kecil selalu menghantui pikirannya.
Dialah Brea Celestine Simamora—putri Letkol Gerung Simamora, seorang TNI koplak tapi legendaris.
Pak Tua itulah yang pernah menyelamatkan Dimitry kecil, saat ia bersembunyi di Aceh, di tengah api konflik berdarah.
Kenapa Dimitry sembunyi? Karena dialah
pewaris Mykaelenko—BRATVA kelas dunia
Kepala kecilnya pernah di bandrol selangit, sebab nama Mykaelenko bukan sekadar harta.
Mereka menguasai peredaran berlian: mata uang para raja, juga obsesi para penjahat.
Sialnya, pewaris absurd itu jatuh cinta secara brutal. Entah karena pembangkangan Brea semakin liar, atau karena ulah ayah si gadis—yang berhasil 'MENGKOPLAKI' hidup Dimitry.
Dan demi cinta itu… Dimitry rela menyamar jadi BENCONG, menjerat Brea dalam permainan maut.
WARNING! ⚠️
"Isi cerita murni fiksi. Tangung sendiri Resiko KRAM karena tertawa"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuni_Hasibuan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Keraguan Pak Mora.
***
"Chipset hijau, Artinya Menantu Mykaelenko..."
Kalimat itu bergema dalam benak Pak Mora, berputar-putar tanpa henti dan mengacaukan konsentrasinya. Pikirannya yang sedang kalut memikirkan kalung tiga triliun itu kini harus berbagi dengan sebuah gelar yang sama sekali tidak pernah ia duga akan melekat pada keluarganya.
Perhatiannya terpaksa terbelah. Di satu sisi ada kalung bermasalah, di sisi lain, ia justru sedang menjalankan tugas mulia, yaitu mengantar Olivia,
Mantan sandera yang baru saja dibebaskan dari aksi bejat Renggo si anak setan.
Wanita dalam karung yang ikut diselamatkan saat operasi penyelamatan Brea itu, ternyata adalah pacarnya Nathan, yang kini harus diamankan di safe house.
Perintah ini turun langsung dari Pak Dandim, dan meski dirinya sendiri masih punya segudang masalah, Pak Mora tidak bisa menolak. Rasa tanggung jawabnya sebagai seorang prajurit mengambil alih.
"Pak.. Apa benar, di Safe House nanti, aku bisa ketemu Nathan?" tanya Olivia. Suaranya lirih, masih membayangi trauma, meski raut wajahnya sudah sedikit lebih cerah dibandingkan saat pertama kali dibebaskan.
Namun, sebelum Pak Mora sempat menjawab, Adit lah yang menyambar. "Kenapa nanya? Merasa nyesal karena nggak mendengarkan omongan pacarmu, sampai kalian berdua malah di culik?" ujarnya dengan nada kesal yang tidak bisa disembunyikan.
Perkataan pedas itu langsung menyayat Olivia. Wajahnya yang sudah sedikit membaik langsung suram kembali, dipenuhi bayangan penyesalan yang dalam dan rasa bersalah yang menyiksa. Bukan hanya karena telah menyeret Nathan ke dalam bahaya, tetapi juga trauma mengerikan yang ia alami selama dalam penyanderaan—hampir saja diperdagangkan ke luar negeri oleh Renggo dan antek-anteknya.
"Heh,,, kau ini ya!!! kalau ngomong jangan sembarangan. Dia itu masih trauma." hardik Pak Mora pada Adit.
Suaranya tegas, penuh wibawa. Sebagai seseorang yang telah melihat banyak korban, ia sangat paham betapa rapuhnya kondisi psikologis Olivia saat ini. Ia teringat pada Brea, putrinya sendiri, yang juga sempat mengalami trauma.
Beruntung, Brea memiliki keluarga yang langsung menanganinya dengan cara yang tepat—dengan kesabaran dan kehangatan yang tidak semua korban dapatkan.
"Ya Maaf Pak. Aku cuma kesel aja, jaman sudah begini maju, kok ya masih ada aja orang yang gampang ketipu sama modus pekerjaan gaji terlalu tinggi, dan terlalu muluk-muluk kayak gitu." jawab Adit, masih dengan semangat memberontak.
Pak Mora menghela napas. "Kesel sih kesel. Tapi nggak boleh sembarangan ngomong juga. Kau beruntung karena kejadian kek gini nggak sampe menimpa kau atau keluargamu."
Lalu, dengan nada yang lebih bijak, ia melanjutkan, "Tapi percaya sama aku, orang-orang polos yang keadaan ekonominya terjepit atau terlilit hutang, masih banyak di luar sana. Dan orang-orang seperti mereka itulah, yang paling gampang ketipu sama modus tipu-tipu."
Adit, mendengar penjelasan yang masuk akal itu, akhirnya hanya bisa manggut-manggut dengan rasa hormat. Ia menyadari kekeliruannya.
Tidak lama kemudian, mereka tiba di lokasi safe house. Suasana langsung berubah menjadi tegang dan berwibawa. Di depan gerbang, tampak penjagaan yang sangat ketat oleh personel berseragam loreng dengan senjata lengkap. Begitu melihat kedatangan Pak Mora, mereka langsung menunjukkan sikap hormat yang sempurna.
"Hormat Ndan! Ada apa datang malam-malam begini?" tanya salah satu penjaga dengan suara yang lantang namun penuh respek.
Pak Mora menjawab dengan sigap, suaranya berwibawa namun terdengar hangat. "Nathan belum tidur kan? Bilang sama dia, kalau aku datang untuk nepati janjiku, dan sudah berhasil menemukan Pacarnya."
Mendengar jawaban itu, wajah prajurit yang bertanya langsung merekah oleh senyum lega. Sorot matanya yang tadinya waspada kini berbinar penuh haru, seolah ikut merasakan kebahagiaan yang akan terjadi. "Siap Ndan! Akan saya laporkan, tunggu sebentar!"
Mereka pun dipersilakan masuk ke dalam safe house. Begitu kabar tentang kedatangan Olivia sampai, Nathan seperti ditembakkan dari kursinya. Ia berlari menyambut, dan tanpa banyak bicara, ia langsung memeluk Olivia erat-erat. Rasa syukur yang tak terucapkan itu lalu ia tuangkan dalam ucapan terima kasih yang berulang kali kepada Pak Mora, suaranya bergetar haru.
"Heih,,,, Sudah-sudah, Sudah cukup terimakasihnya. Ini bukan hasil kerja ku sendiri, aku banyak terima bantuan, dari Adit di sampingku ini... juga dari tim lain yang kebetulan lagi bertugas." ujar Pak Mora, merendah dan berusaha membagi penghargaan itu kepada semua pihak yang terlibat. "Kalau kau mau berterimakasih, jangan lupa sama Bandi, karena dia yang langsung loncat keluar, begitu tau ada perempuan di sembunyikan dalam karung."
.
.
.
Setelah urusan di safe house beres, perjalanan pulang pun dimulai. Di dalam kabin mobil yang sunyi, pikiran Pak Mora kembali melayang kepada dua hal yang mengusiknya: kalung berlian tiga triliun dan sebuah kata yang terus bergema di kepalanya—"menantu".
Ia tidak mau bersikap munafik. Di lubuk hatinya yang paling dalam, ia menyadari ada maksud tersembunyi di balik segala pemberian dan kebaikan Dimitry.
Awalnya ia berusaha menepisnya, tak ingin berprasangka atau salah menafsirkan niat anak muda itu. Namun, malam tadi, semuanya menjadi begitu gamblang. Dimitry nyaris tidak menyisakan ruang untuk tafsiran lain.
Pemberian chipset hijau yang hanya diperuntukkan bagi menantu keluarga Mykaelenko adalah sebuah pernyataan yang terlalu jelas untuk diabaikan. Apalagi berbentuk kalung dengan harga Tiga Triliun yang sulit untuk di nalar.
Artinya jelas, diam-diam, Dimitry mempunyai niat serius untuk menjadikan Brea sebagai pendamping hidupnya.
Namun, alih-alih lega, hati Pak Mora justru makin berat. Situasinya kini menjadi rumit secara luar biasa. Kasus Renggo masih menjadi kabut tebal tanpa titik terang, menyita energi dan pikirannya.
Di tengah kondisi yang masih runyam seperti ini, apakah pantas ia malah sibuk memikirkan rencana pernikahan putrinya?
Belum lagi respon Brea sendiri. Ia sangat mengenal anak gadisnya itu—kepribadiannya yang random, dan prinsipnya yang sangat anti dengan segala bentuk perjodohan.
Bagaimana jika Brea langsung menolak? Apalagi calonnya adalah Dimitry yang berasal dari keluarga yang sangat kaya. Bisa-bisa Brea menyangka bahwa ayahnya telah "menjual"nya untuk kekayaan, sebuah stigma yang sama sekali tidak diinginkan Pak Mora.
Hati Pak Mora semakin sesak membayangkan kemungkinan buruk itu. Ia sama sekali tidak menginginkan hal itu terjadi.
.
.
Namun, situasi di lapangan justru berbalik seratus delapan puluh derajat dari semua kekhawatiran dan rencana Pak Mora.
Sebuah kejadian yang sama sekali tidak terduga dan mengusung aroma mistis sekaligus mencemaskan, terjadi bahkan sebelum ia sempat membuka pembicaraan serius dengan Dimitry atau pun Brea.
***