NovelToon NovelToon
Gelora Cinta Sang Bodyguard

Gelora Cinta Sang Bodyguard

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Romantis / Cintamanis / Mafia / Pengantin Pengganti Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:6.3k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.

Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.

Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Di Ruang Musik

...•••...

"Dimana Hayaning Pa? Kenapa malah disembunyikan?" Bara menatap Brata dengan sengit, ia macam orang gila yang mencari keberadaan adiknya.

"Kenapa kamu harus marah? Lagipula baru kali ini kamu seperti ini, sudah menyesal telah menampakkan adikmu selama ini hah?"

Bara menggeram keras, "tidak seharusnya Papa biarkan Hayaning pergi dengan bodyguard-nya itu, Pa, bagaimana kalau orang itu apa-apa kan Haya?"

"Papa lebih was-was kalau dia bersama kamu,"

Brata meninggalkan putra tertuanya begitu saja, sementara Bara mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Si*lan! Saya sudah kecolongan selama ini."

•••

"Mas tidak sangka, kamu rela memberitahukan identitas mu demi menjaga Hayaning sebegitu nya. Hey little boy, are you in love with her?"

Ben berdecak jengkel. "Jatuh cinta? Huh! Aku sudah katakan kalau aku tak percaya dengan perasaan picisan macam itu."

"Oh Ben, sudah lima tahun, kenapa kamu belum bisa berdamai dengan yang lalu?" Desah Sean dari balik layar laptop.

"Itu tidak mudah bagiku Mas, sekarang, cukup bagiku untuk hidup sendiri." Ben tetap bersikukuh, lagipula ia telah bersumpah untuk tidak menikah, sendiri lebih baik bukan?

"Mas ngga dirugikan dengan pilihanmu, tapi Ben—"

Ben mendengus pelan, ia memotong bicara kakaknya, lalu mengalihkan pandangannya dari layar laptop. "Aku sudah cukup dengan diriku sendiri, Mas."

Sean menatap adiknya dengan sorot lelah. "Ben, kamu bukan hanya hidup untuk dirimu sendiri."

Ben tertawa pendek. "Aku justru belajar dari pengalaman Mas. Terlalu percaya dengan seseorang hanya akan berakhir dengan pengkhianatan."

Sean terdiam sesaat sebelum akhirnya menghela napas. "Kelak kamu butuh seseorang untuk berbagi beban, entah kamu mau mengakui atau tidak."

Tangan Ben mengepal di atas meja. "Aku sudah punya pilihan, Mas. Dan itu tidak akan berubah."

Sean menggeleng pelan. "Ya... sampai kamu bertemu orang yang bisa mengubah semua itu." lalu ia menutup laptopnya, menyudahi panggil video itu.

"Oh f*ck!" Umpatnya kesal, pening kepalanya begitu pagi tadi Eyang Putri tiba-tiba menelpon, dan mengajukan pertanyaan kapan akan mengenalkan seseorang pada tetua.

"Huh, memang apa salahnya jika aku memutuskan untuk tidak menikah?" Ben meracau geram, "itu bukan opsi tolak ukur kebahagiaan kan?"

"Si*lan!"

Ben juga kesal kepada saudara-saudaranya yang lain yang sudah meng-cepukan nya, apalagi di grup chatting keluarga, terutama kepada Jagatnatha, si duda sedari muda yang sok-sokan mengatainya, sementara pernikahannya saja karam ditengah jalan.

"CK!"

Ben mengambil sikap berdiri lalu keluar dari ruang kerjanya.

Ben ingin memeriksa Hayaning, maka ia pergi menuju taman belakang.

Ben menyandarkan tub*hnya di pilar teras, menyilangkan tangan sambil mengamati perempuan itu dari kejauhan. Hayaning begitu anteng memetik beberapa bunga dengan wajah berseri-seri.

Sang empu yang merasa tengah diawasi mendongak, tatapan matanya bertemu dengan Ben yang berdiri tak jauh darinya.

"Ben," ia melambaikan tangannya, Ben pun menghampiri sang nona.

"Kamu sangat anteng sekali," ucap Ben yang sudah berada dekat disamping perempuan itu.

"Heem, aku kalang kabut melihat begitu banyaknya jenis bunga disini. Tapi aku selalu terpaku kepada Rose, lihatlah indah sekali bukan?"

"Seperti kamu,"

Hayaning mendengus pelan, "Ngga usah menggombal," Hayaning menoleh padanya dengan ekspresi malas, tapi semburat merah tipis di pipinya tak bisa ia sembunyikan.

Ben hanya menyeringai, menatap perempuan itu dengan tatapan yang intens. "Saya tidak menggombal, saya hanya mengatakan fakta."

"Ya ya, terserah kamu."

Hayaning kembali sibuk memilih untuk memetik bunga mawar sementara Ben menatap kearah langit sana yang mendung menggantung begitu lama.

"Sepertinya akan hujan lagi, cuaca sedang tidak menentu akhir-akhir ini," gumam Ben, masih menatap langit yang kelabu.

Hayaning ikut mendongak, melihat awan-awan pekat yang menggantung berat. "Hmm... aku suka hujan, tapi tidak kalau terlalu sering. Rasanya seperti langit sedang menangis terus-menerus."

Ben kembali menurunkan pandangannya, meliriknya sekilas kearah nya, lalu menyelipkan tangannya ke dalam saku. "Kalau begitu, saya tidak akan membiarkan kamu kehujanan lagi. Sudah selesai memilih bunganya?"

Hayaning mengangguk, mengelus kelopak mawar di tangannya. "Sudah. Aku akan menaruhnya di kamar. Bunga bisa membawa suasana yang lebih hidup, bukan?"

Ben tersenyum samar. "Kamu memang suka sesuatu yang indah."

Hayaning terkekeh pelan. "Siapa yang tidak?"

Angin berhembus lebih kencang, membawa serta aroma tanah yang mulai lembap.

"Kita masuk sebelum hujan turun," ajak Ben akhirnya.

Hayaning mengangguk, lalu berjalan mendahului Ben, meninggalkan jejak ringan di atas rumput basah.

Ketika mereka sampai di dalam, hujan turun dengan derasnya, menimbulkan suara gemuruh yang menggema di seluruh ruangan.

"Untung saja saya segera memintamu masuk kedalam, kalau tidak pasti kamu akan main hujan-hujanan lagi."

Mendengar itu, pipi Hayaning memanas sebab ia teringat malam tadi, mereka melakukan itu dan juga pagi tadi dengan pria ini.

"Letakan segera mawar itu didalam wadah, saya ingin mengajakmu ke ruang musik."

Hayaning menoleh cepat kearahnya, binar matanya makin mengkilat. "Mau-mau, sebentar." Ia segera pergi menuju kamar yang disiapkan Ben untuknya dan segera meletakkan bunga mawar itu kedalam tempatnya yang sudah diberi air.

Ben terkekeh kecil melihat tingkah Hayaning yang begitu bersemangat. Perempuan itu seperti anak kecil yang baru saja dijanjikan hadiah, matanya berbinar penuh antusias.

Tak butuh waktu lama, Hayaning kembali dengan langkah ringan, berdiri di hadapan Ben dengan ekspresi penuh damba. "Ayo!"

Ben mengulurkan tangannya, menuntunnya menuju ruang musik yang terletak di ujung lorong. Ruangan itu tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman dengan pencahayaan hangat dan berbagai instrumen yang tertata rapi.

Di tengah ruangan, sebuah grand piano berwarna brown berdiri megah. Hayaning nyaris berlari menghampirinya, jemarinya dengan lembut menyentuh tutsnya sebelum menekan beberapa nada.

"Bahagia sekali pianis cantik ini," komentar Ben, bersandar di sisi piano sambil melipat tangan di depan dada.

"Tentu saja," Hayaning menjawab tanpa mengalihkan pandangannya.

Ben menatapnya dengan sorot lembut. "Lalu, bisakah saya meminta satu lagu?"

Hayaning menoleh dengan senyum kecil. "Lagu apa?"

"Apapun yang kamu suka," jawab Ben santai.

Hayaning mengangguk, menarik napas pelan sebelum ia duduk dan jemarinya mulai menari di atas tuts piano. Melodi lembut mengalun memenuhi ruangan, menyatu dengan suara hujan di luar.

Ben hanya diam, membiarkan dirinya tenggelam dalam alunan nada yang dimainkan perempuan itu.

Tanpa sadar, ia pun ikut terdorong dalam arus melodi tersebut. Ia duduk di samping Hayaning, jemari kasarnya terulur, menekan beberapa tuts piano.

Hayaning menoleh ke arahnya dengan wajah tertegun, alisnya sedikit mengernyit. "Kamu bisa main piano?" tanyanya heran.

Ben hanya mengangkat bahu, jemarinya tetap menekan beberapa tuts, mengikuti melodi yang sedang dimainkan Hayaning.

"Saya tidak sehebat kamu," ucap Ben tanpa menghentikan gerakan jarinya. "Tapi saya cukup tahu cara memainkannya."

Hayaning tersenyum kecil, lalu kembali fokus pada pianonya. "Sejak kapan kamu belajar?"

Ben tertawa pendek. "Dulu, waktu kecil. Eyang Putri memaksaku belajar karena katanya anak laki-laki juga harus mencintai seni, bukan hanya bertarung."

Hayaning terkekeh. "Ternyata kamu memang tidak sepenuhnya bad boy ya."

Ben menoleh padanya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Siapa bilang saya bad boy?"

Hayaning hanya tersenyum tanpa menjawab. Jemarinya tetap lincah di atas tuts piano, memainkan melodi yang semakin dalam.

"Ben," panggilnya tiba-tiba, suaranya lembut.

"Hmm?"

"Aku ingin seperti ini lebih lama," bisiknya.

Ben menatapnya, lalu tanpa sadar tangannya bergerak, menyentuh punggung tangan Hayaning yang masih bermain piano. "Kalau begitu, tetaplah di sini," ucapnya pelan.

BRANG!

"Ahhhh... hmphhh..."

Melodi itu menjadi berantakan ketika keduanya larut dalam sapaan bibir. Lalu melodi itu hilang ketika keduanya tenggelam dalam ritme yang berbeda—ritme nafas yang berpadu, jemari yang saling menggenggam, dan desakan tubuh yang semakin erat.

Hayaning terjebak dalam pesona Ben, dalam cara pria itu menatapnya seakan hanya ada dirinya di dunia ini. Bibir mereka bersatu, hangat dan menuntut.

Ben menariknya lebih dekat, membuatnya terduduk di pangkuannya. Jemarinya menyusuri lekuk wajah Hayaning, mengusap lembut pipinya yang mulai memerah. "Saya suka melihatmu seperti ini," bisiknya, suaranya dalam dan mengandung godaan.

Hayaning menatapnya dengan napas memburu. "Hahhh...seperti apa?"

"Seperti seseorang yang tidak ingin pergi ke mana pun selain tetap di sini, bersama saya." Ben mengucapkannya tanpa pikir panjang, sebab mengalir begitu saja. Just f*ck the what.

Hayaning menggigit bibirnya, menatap Ben seolah ingin menyangkal, tapi ia tahu, ada kebenaran dalam kata-kata pria itu. Ia memang ingin tinggal.

Ben menggeram kesal, "lupakan ucapan saya yang tadi,"

"Sorry?"

Hayaning mengangkat alis, tetapi sebelum bisa menuntut penjelasan, jemari Ben meremas bokong nya kuat-kuat hingga membuatnya mendesis.

"Ben…" bisiknya, nyaris seperti keluhan. "Malam dan pagi, kita sudah…"

Ben tak merespons, hanya menatapnya dalam sebelum menunduk, menghirup aroma manis yang selalu membuatnya mabuk. Bibirnya menyentuh kulit leher Hayaning, meninggalkan jejak yang seolah membakar.

Tangannya yang kekar bergerak cepat membuka kain celana segitiga milik Haya, dan ia juga membuka cepat resleting celana nya, sehingga yang terjadi selanjutnya adalah bencana kenikmatan.

"Rasakan ini!"

JLEB!

"AKHHHH ... BENJI!"

J*ritan itu memenuhi ruangan, membuat Ben tersenyum samar. Itu adalah suara paling nyaring yang pernah ia dengar darinya—dan ia men*kmati sepenuhnya.

Hayaning memejamkan mata, tahu betul bahwa dirinya sedang bermain di tepi jurang. Namun, alih-alih mundur, ia justru membiarkan dirinya tenggelam lebih dalam.

1
JustReading
Sama sekali tidak mengecewakan. Sebelumnya aku berpikir bakal biasa saja, ternyata sangat bagus!
Nadeshiko Gamez
Mantap thor, terus berkarya ya!
Ludmila Zonis
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!