Shanca Evalyne Armandez tak pernah meminta hidup seperti ini. Sejak kedua orang tuanya tewas dalam kecelakaan misterius, ia menjadi tawanan dalam rumah sendiri. Dihabisi oleh kakak tirinya, dipukuli oleh ibu tiri yang kejam, dan dijual seperti barang kepada pria-pria kaya yang haus kekuasaan. “Kau akan menyenangkan mereka, atau kau tidak akan makan minggu ini,” begitu ancaman yang biasa ia dengar. Namun satu malam mengubah segalanya. Saat ia dipaksa menjebak seorang pengusaha besar—yang ternyata adalah pemimpin mafia internasional—rencana keluarganya berantakan. Obat yang ditaruh diam-diam di minumannya tak bekerja seperti yang diharapkan. Pria itu, Dario De Velluci, tak bisa disentuh begitu saja. Tapi justru Shanca yang disentuh—dengan cara yang tak pernah ia duga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CantiknyaKamu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MBM
Siang itu, Mansion milik Alaska sunyi seperti kuburan.
Langit mendung menggantung, dan Sancha duduk membeku di ujung tempat tidur—kedua tangan memeluk perutnya yang mulai menunjukkan tanda kehamilan. Napasnya terengah, bukan karena lelah, tapi karena kecemasan yang menyesakkan.
Ia dikurung.
Pintu kamar terkunci dari luar.
Jendela dilapisi teralis baja yang elegan tapi kuat.
CCTV di sudut ruangan menyala—mengawasi, memantau, menghancurkan sisa-sisa kebebasan yang masih ia miliki.
Di sisi lain kota, Meka akhirnya dikembalikan.
Orang tua Meka menerima kabar resmi dari pihak yang menyamar sebagai polisi:
“Putri Anda tertembak oleh penjahat yang sedang dalam pengejaran. Ia sempat menjadi tawanan, namun sekarang sudah selamat.”
“Tapi karena trauma berat, kami memberinya pengobatan khusus untuk melindungi mentalnya. Ada kemungkinan ia akan mengalami kehilangan ingatan jangka pendek.”
Mereka percaya.
Tubuh Meka dibalut perban di kaki. Ia tak banyak bicara, matanya kosong.
Ingatan tentang malam pelarian bersama Sancha telah terhapus.
Yang tertinggal hanya perasaan gelisah, seolah ada sesuatu yang hilang namun tak bisa ia jangkau.
Sementara itu…
Sancha hanya bisa menatap langit dari jendela kecil kamarnya.
Ia tidak tahu bagaimana keadaan sahabatnya.
Apakah Meka selamat?
Apakah ia disakiti?
Atau lebih buruk… apakah ia dibunuh?
Tangisnya sudah kering, tapi luka di hatinya terus menganga.
“Maafkan aku, Meka…”
“Aku tidak pantas mendapatkan bantuanmu… sekarang kamu mungkin dalam bahaya karena aku…”
Ia mengusap perutnya, mencoba tegar.
“Tapi setidaknya… kamu selamat. Dan aku… aku masih hidup. Untukmu. Untuk anak ini…”
Di luar, mansion tetap hening.
Tak ada yang tahu bahwa di dalam, seorang wanita dikurung dan dipaksa bertahan—sendirian.
Mansion Alaska, lima bulan setelah Sancha dinyatakan hamil.
Kehamilannya kini semakin terlihat. Perut Sancha membulat sempurna, gerak tubuhnya menjadi lebih perlahan, namun emosinya tak bisa diprediksi.
Pagi itu, langit Kanada mulai dingin, tapi tubuh Sancha panas—bukan karena cuaca, melainkan karena emosi yang naik turun.
Sancha duduk di kursi dekat jendela kamarnya, matanya menerawang, air matanya tiba-tiba jatuh begitu saja.
Tak lama kemudian…
Tok tok tok
Pintu kamar terbuka pelan. Seorang maid bernama Naif masuk dengan nampan makanan.
“Selamat pagi, nyonya. Ini sarapan dari dapur…”
Sancha hanya menatap kosong.
Tiba-tiba, ia bangkit dan berjalan keluar kamar, mengejutkan Naif.
“Naif… tolong bawa aku ke dapur,” ujarnya pelan, lalu menatap tajam, “aku ingin memasak.”
Naif terlihat ragu, “T-tapi… tuan Alaska melarang siapa pun menyentuh dapur tanpa izinnya…”
“Naif, aku mohon. Aku tidak akan meracuni siapa pun. Aku hanya ingin merasa berfungsi. Aku merasa seperti boneka di rumah ini… Kau tahu rasanya?”
“Setiap hari hanya duduk, tidur, makan, dikurung. Aku bahkan tidak tahu apakah aku masih waras.”
Naif terdiam. Ia tahu perubahan suasana hati ibu hamil adalah hal wajar, tapi ini lebih dari itu. Ini jeritan batin seorang wanita yang butuh kendali atas hidupnya sendiri.
⸻
Di sisi lain mansion, Alaska baru saja tiba dari kantor.
Ali berjalan cepat menyusulnya.
“Tuan, nyonya memohon izin untuk memasak sendiri hari ini…”
Langkah Alaska terhenti. Keningnya berkerut.
“Untuk apa dia memasak? Kita punya chef dari Italia.”
Ali ragu menjawab, akhirnya berkata jujur, “Sepertinya… itu bagian dari mood swing-nya, tuan. Dia ingin merasa berguna.”
Alaska diam. Dalam hatinya ada sesuatu yang ia sendiri tak mengerti: antara kesal, peduli, dan bingung.
Ia mengangguk perlahan.
“Baik. Biarkan dia memasak. Tapi awasi dari jauh. Jangan ada yang berani mengkritiknya.”
⸻
Dapur utama mansion.
Sancha berdiri di depan meja dapur marmer mewah. Ia mengikat rambutnya, mengenakan apron putih.
Tangannya mulai mengiris bawang, bibirnya tersenyum kecil meski mata masih sembab. Untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan, ia merasa menjadi dirinya sendiri lagi.
Naif berdiri di sudut dapur, berjaga, sementara satu pengawal mengawasi dari lorong, sesuai perintah Alaska.
Sancha menyiapkan sup ayam hangat dan biskuit lembut panggang. Ia bahkan membuatkan satu set teh herbal untuk dirinya sendiri.
Tiba-tiba, langkah kaki berat terdengar masuk ke dapur.
Alaska. Ia berdiri di ambang pintu, menatap punggung Sancha yang sibuk.
Sancha tak menoleh. Ia tahu siapa yang datang. Hidungnya mencium aroma parfum Alaska—dingin dan tajam.
“Aku sudah izinkan kau di dapur. Tapi jangan terlalu memaksa tubuhmu.”
“Kalau kau jatuh pingsan di sini, aku tidak akan menggendongmu seperti waktu itu…”
Sancha tersenyum samar sambil mengaduk sup.
“Aku hanya ingin menjadi bagian dari rumah ini, bukan hanya tamu yang menunggu waktu melahirkan.”
Mereka saling diam beberapa detik. Lalu Alaska melangkah pelan, tanpa berkata apa-apa, mengambil secangkir teh yang dibuat Sancha, lalu keluar dari dapur.
Sancha tertegun. Dadanya terasa hangat.
Mungkin, hanya mungkin… ada bagian kecil dalam diri Alaska yang mulai berubah.
”kau meminum teh herbal ku…”ujar Sancha dengan berani,entah keberanian dari mana itu,namun secara spontan ia meminta Alaska mengganti teh tersebut.
Masih di dapur utama mansion.
Sancha masih memegang sendok kayu di tangan. Wajahnya mendadak berubah cemberut saat melihat secangkir teh yang tadi ia siapkan untuk dirinya sendiri, kini sudah diminum oleh Alaska begitu saja tanpa permisi.
Alaska baru saja melangkah keluar, tapi suara Sancha menghentikan langkahnya.
“Tuan Alaska!”
Langkah Alaska berhenti di ambang pintu. Ia menoleh pelan, menatap gadis hamil di hadapannya.
“Kau barusan meminum tehku.”
“Kau pikir itu untukmu…?”
Alaska mengangkat alisnya sedikit.
“Kau membuatnya. Aku hanya menghindari pembuangan makanan.”
“Kau kan tidak akan habis meminumnya.”
Sancha berkacak pinggang. Tatapannya galak, tapi wajahnya justru terlihat lucu dengan pipi yang sedikit bulat karena kehamilannya.
“Kau harus ganti teh itu. Sekarang.”
“Buatkan teh yang sama untukku… atau setidaknya bilang ‘terima kasih’ sebelum menyerobot.”
Alaska hanya memandang, lalu melangkah pelan ke arah meja. Ia meraih teko dan menyeduhkan teh yang sama ke dalam cangkir baru, lalu meletakkannya di hadapan Sancha.
“Minum. Dan jangan terlalu banyak bicara.”
Sancha menatap teh itu… lalu tertawa kecil. Entah kenapa ia justru merasa senang.
“Baiklah. Terimakasih Tuan…Tapi Nanti malam kau harus menemani aku makan malam di meja ini…!”
Alaska kembali menatap Sancha dengan dahi berkerut.
“Untuk apa?”
Sancha tersenyum. Wajahnya berbinar, penuh semangat seperti gadis kecil yang ingin menunjukkan hasil lukisannya.
“Aku akan memasak sesuatu yang enak. Mungkin lasagna atau sup daging yang hangat. Katanya… laki-laki seperti kau suka makanan rumahan, kan?”
“Anggap saja… ini bentuk perdamaian dari tawananmu yang sedang hamil.”
Alaska terdiam sejenak. Matanya tak lepas dari wajah Sancha.
Ia lalu berkata pelan, dingin seperti biasa…
“Jangan masak sesuatu yang akan membuatku jatuh cinta kepada mu sancha,jangan harap.”
“Aku tidak butuh lebih banyak masalah.”
Sancha justru tersenyum manis, tidak takut.
“Tenang saja. Hatimu bukan targetku. Aku hanya ingin menikmati makan malam yang tenang… dengan seseorang yang… agak menyebalkan.”
Alaska menghela napas dalam dan berjalan keluar tanpa menjawab.
Sancha menatap cangkir tehnya… tersenyum kecil.
“Aku bahkan tidak tahu kenapa aku bisa bicara seperti itu…” gumamnya, sambil mengelus perutnya yang membesar.
para pelayan dan pengawal kaget dengan mimik wajah Sancha yang berubah cepat.
naif sempat tersebut melihat senyuman di wajah Sancha.
“aku yakin setelah ini,nyonya Sancha akan membuat rumah ini berwarna bukan warna pucat melainkan full collor….”