Demi melunasi hutang orang tuanya, Venzara harus menerima pernikahan paksa dengan anak majikan bibinya. Mau tidak mau, Venza akhirnya menerimanya dan siap menerima syarat yang ditentukan.
Tidak hanya terikat dalam pernikahan paksa, Venza juga harus menerima perlakuan buruk dari suaminya. Namun, sosok Venza bukanlah perempuan yang lemah, bahkan dia juga perempuan yang berprestasi. Sayangnya, perekonomian keluarganya tengah diambang kehancuran.
Jalan satu-satunya hanya bisa menikahkan Venza dengan lelaki kaya dengan kondisinya yang lumpuh.
Akankah Venza mampu bertahan dengan pernikahannya? yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada yang memperhatikan
Venza membalikkan badannya dan menghadap pada suaminya, tak lepas untuk menutup kesalahannya dalam berucap, juga agar tidak terlihat gugup dimata suaminya.
"Enggak, aku gak ngomong apa-apa. Tadi cuma tanya aja sama Pak Erik aja kok, serius." Jawab Venza sambil menggigit bibir bawahnya.
"Terus, suami siapa yang galak, juga cerewet? hem." Sambil mendekati istrinya, Razen sengaja mengerjai istrinya yang terlihat gugup.
"Gak ada yang cerewet, juga gak ada yang galak, serius."
"Hem, terserah kamu saja. Sekarang antar aku ke taman belakang, dan aku ingin mencari udara segar, cepat kamu tutup pintu kamarnya."
"I-i-iya, aku akan menutup pintu kamarnya dulu." Jawab Venza yang masih gugup.
Tidak mau mendapat omelan dari suaminya yang ia ketahui sangat cerewet dan juga galak, buru-buru menutup pintunya. Kemudian, Venza segera menuju taman belakang lewat jalan pintas.
"Cie ... yang udah ada teman hidup, gak kesepian lagi dong sekarang. Nandin juga, ada temannya. Jadi, gak ada yang berani ngejek Nandin nantinya, Wek ...." Ledek Nandini saat berpapasan dengan kakak laki-lakinya yang tengah didorong pakai kursi roda oleh istrinya.
"Tidak ada yang perlu kamu ledekin, gak lucu. Mendingan juga kamu itu fokus dengan karirmu, jangan sampai seperti Kakak mu ini, Nandin."
"Ya deh Kak, ya. Maaf, habisnya Kakak sangat serasi sama Kakak Ipar. Oh ya, nanti aku boleh pinjam Kakak ipar, 'kan? mau daftarin kuliah."
"Kuliah?" tanya Razen dan mendongak serta menatap pada istrinya.
"Ya Kak, benar. Nanti aku dan Nandin akan mendaftarkan Kakak ipar kuliah di kampusnya Kakak dulu sebelum pindah ke luar negri." Sahut Gilang ikut menimpali.
"Terus, gunanya dia menjadi istriku untuk apa?" tanya Razen mulai protes.
"Ya untuk jadi istrinya Kakak, kan kuliahnya gak setiap hari. Jugaan Kak Razen ada Bi Darmi dan Pak Erik untuk sementara waktu ketika Kakak ipar kuliah, dan Kak Razen gak perlu khawatir." Jawab Gilang.
"Ada apa ini?" tanya ibunya saat memergoki ketiga anaknya tengah mengobrol.
"Ini Ma, Kak Razen tanya soal Kakak ipar mau kuliah. Jadi, aku jelasin barusan." Jawab Gilang.
"Oh soal Venza, iya benar. Istrimu mulai besok sudah bisa kuliah, dan hari ini kedua adikmu diminta untuk menemani pendaftaran kuliah. Jadi, soal kamu tetap bersama Bi Darmi dan Pak Erik untuk sementara waktu ketika istrimu kuliah. Nanti untuk semester ketiga dan selanjutnya bisa secara online. Tentunya kamu akan selalu bersama istrimu." Ucap ibunya menjelaskan.
"Venza gak kuliah juga gak apa-apa kok Ma."
"Tidak boleh begitu Nak, kamu tetap harus kuliah. Soalnya nanti kamu bisa menemani suami kamu di kantor, dan kamu perlu untuk kuliah. Seiringnya waktu nanti juga gak kerasa kuliahnya selesai, sekarang lebih baik kamu fokus dengan kuliah mu."
"Terus, sama suami gak fokus, begitu kah?"
Saat itu juga, ibunya langsung memberi kode kepada Gilang dan Nandin untuk segera pergi dari hadapan kakaknya.
"Bukan begitu sayang, istrimu tetap bersamamu. Sudahlah, nanti kamu akan mengerti kenapa istrimu harus kuliah. Lebih baik sekarang kita sarapan dulu, baru kita bicarakan lagi bareng Mama." Ucap ibunya yang sekaligus mengajak sarapan pagi.
Razen yang merasa hidupnya penuh aturan, rasanya begitu kesal dibuatnya. Kehidupan yang bebas untuk dijalaninya, kini sudah hancur bersama harapannya.
Saat sudah berada di ruang makan, Venza melayani suaminya dengan baik. Entah ada angin apa, sosok Gilang justru tengah memperhatikan kakak iparnya.
'Kak Razen benar-benar sangat beruntung mempunyai istri yang baik, sangat berbeda dengan Leoni. Jadi ngiri pingin punya istri seperti kakak ipar, pasti akan mendapat perhatian penuh darinya.' Batin Gilang sambil mengunyah makanan, juga tak lepas pandangannya pada kakak iparnya.
"Aw! apa-apaan sih kamu Nan, ngagetin aja. Untung nih gak tersedak, resek kamu ini." Pekik Gilang karena kaget karena ulah adik perempuannya yang sengaja membuyarkan lamunannya.
Semua dibuatnya kaget dan menoleh pada Gilang.
"Kamu kenapa Gilang?"
"Kak Gilang dari tadi melamun terus, Ma, Pa. Keknya sih pingin nikah, soalnya dari tadi memperhatikan Kak Razen sama Kakak ipar mulu." Sahut Nandin dengan santainya.
Gilang langsung melotot pada Nandin.
"Kamu itu kalau ngomong disaring dulu, bocah tengil."
"Sudah sudah sudah, kalian berdua itu ya, masih saja selalu bertengkar. Soal Gilang menikah, itu nanti kalau kamu sudah bisa menguasai karirmu, untuk sekarang ini kamu harus fokus bekerja, ingat itu." Timpal ayahnya ikut berkomentar.
"Lah terus, siapa yang kebelet nikah Pa? orang Nandin ngomong kok dipercaya sih, hem."
"Sudah sudah, habiskan dulu sarapannya. Lihat tuh sudah jam berapa, yang ada tuh nanti kalian terlambat." Kata ibunya mencoba untuk melerai.