NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Adik Bungsu Di Tengah Kekacauan

   Raka selalu menjadi anak yang paling sedikit bicara di antara kami. Ia jarang mengeluh, jarang meminta, dan jarang menunjukkan amarahnya secara terang-terangan. Sejak kecil, ia lebih sering memendam segalanya sendiri. Dan justru karena itulah, aku paling takut dengan caranya menghadapi semua kekacauan ini.

   Jika Dimas melawan dengan kemarahan, jika Laras melawan dengan air mata, maka Raka melawan dengan diam.

   Pagi itu aku menemuinya duduk sendiri di teras rumah. Seragam sekolahnya sudah rapi, tasnya tergantung di pundak, tapi ia tak bergerak sedikit pun. Hanya menatap jalan dengan pandangan kosong.

   “Kamu nggak berangkat?” tanyaku pelan.

   Raka menggeleng.

   “Kenapa? Sakit?”

   Ia kembali menggeleng.

   Aku duduk di sebelahnya. Hening menyelimuti kami cukup lama. Angin pagi Bandung bertiup dingin, menyusup ke pori-pori kulit. Biasanya Raka sudah berangkat sejak setengah jam lalu. Terlambat sedikit saja, ia akan gelisah. Tapi hari ini, semuanya terasa berbeda.

   “Kamu kenapa, Rak?” ulangku lebih lembut.

   Ia menarik napas panjang. “Aku capek, Kak.”

   Satu kalimat pendek itu membuat dadaku terasa sesak.

   “Capek kenapa?”

   “Capek aja,” jawabnya. “Capek sekolah. Capek pulang. Capek lihat rumah.”

   Aku tahu maksudnya. Semua sudut rumah ini kini dipenuhi jejak luka. Tidak ada lagi tawa Ayah di ruang tengah. Tidak ada lagi suara Ibu memasak sambil bersenandung seperti dulu. Yang tersisa hanya langkah-langkah yang hati-hati, obrolan yang setengah-setengah, dan pandangan yang selalu menghindar.

   “Kamu cerita ke Kakak,” kataku.

   Ia diam cukup lama, lalu akhirnya bersuara, “Di sekolah, aku sering diajak ribut, Kak.”

   Aku menoleh cepat. “Ribut?”

   “Iya,” katanya lirih. “Tentang Ayah dan Ibu.”

   Dadaku langsung terasa panas.

   “Mereka tahu?” tanyaku.

   Raka mengangguk. “Entah dari mana. Katanya orang dewasa di sekitar sekolah yang mulai ngomong. Anak-anak jadi dengar. Mereka bilang orang tuaku gagal. Katanya keluargaku hancur.”

   Aku menggertakkan gigi. “Siapa yang berani ngomong begitu?”

   “Banyak,” katanya pelan. “Aku nggak kuat dengarnya.”

   Aku ingin marah. Ingin mendatangi sekolahnya satu per satu. Ingin menutup semua mulut yang meludah sembarangan pada kehormatan keluargaku. Tapi aku tahu, itu tidak akan menghapus rasa perih di hati adikku.

   “Aku malu, Kak,” katanya lagi.

   Kalimat itu lebih menyakitkan dari semuanya.

   “Kamu nggak perlu malu,” kataku tegas. “Yang salah bukan kamu.”

   “Tapi aku yang ditertawakan.”

   Aku terdiam. Tidak ada jawaban sempurna untuk itu. Karena dunia memang tidak pernah adil pada anak-anak yang menjadi korban perpecahan orang tua.

   Sejak hari itu, Raka mulai sering bolos. Nilai-nilainya menurun. Guru walinya akhirnya memanggil Ibu. Aku ikut menemani karena Ibu tampak terlalu rapuh untuk menghadapi itu sendirian.

   “Raka itu sebenarnya anak pintar,” kata gurunya. “Tapi belakangan ini dia sering melamun, tidak fokus, dan beberapa kali tidak masuk kelas.”

   Ibu hanya menunduk. Tangannya bergetar di atas paha.

   Dalam perjalanan pulang, Ibu menangis sepanjang jalan. “Ibu merasa gagal sebagai ibu,” katanya terisak. “Semuanya kacau karena keputusan Ibu.”

   Aku menggenggam tangannya. “Ini bukan cuma salah Ibu. Ini luka kita bersama.”

   Di rumah, Raka mengurung diri di kamar. Ia menolak makan, menolak bicara. Bahkan ketika Ardi datang dan mencoba menyapanya, ia hanya menjawab singkat lalu kembali menutup pintu.

   Malam itu, aku masuk ke kamarnya tanpa izin.

   Ia duduk di lantai, bersandar pada tempat tidur, memeluk lututnya. Lampu dimatikan, hanya cahaya rembulan yang masuk dari sela jendela.

   “Kamu marah sama semua orang?” tanyaku.

   Ia mengangkat bahu.

   “Kamu marah sama Kakak juga?”

   Ia menggeleng pelan.

   “Kamu marah sama Ayah?”

   Diam.

   “Kamu marah sama Ibu?”

   Diam lagi.

   Aku duduk di depannya. “Boleh marah. Kakak nggak akan melarang.”

   Air matanya jatuh.

   “Aku pengen rumah yang dulu,” katanya terisak. “Yang ada Ayah, ada Ibu, ada suara ribut di dapur. Aku pengen bangun pagi tanpa rasa takut.”

   Aku memeluknya.

   “Kakak juga pengen,” bisikku di rambutnya. “Tapi kadang kita harus hidup di versi hidup yang tidak kita pilih.”

   Ia menangis semakin keras di pelukanku. Tangis anak tujuh belas tahun yang kehilangan tempat berpijak, kehilangan rasa aman, kehilangan dunia kecilnya sendiri.

   Di malam itu juga aku menyadari : Beban terbesar dari semua perpisahan ini tidak sepenuhnya ada di pundak kami yang sudah dewasa. Beban terberat justru dipikul oleh Raka yang seharusnya hanya memikirkan ujian sekolah, bukan kehancuran rumah.

  Dan aku takut… Jika kami terlambat menolongnya, ia akan tumbuh dengan luka yang jauh lebih dalam dari yang kami bayangkan.

   Sejak malam aku memeluk Raka di kamarnya, ia sedikit lebih terbuka padaku. Ia masih jarang bicara, tapi setidaknya ia tidak lagi sepenuhnya menutup diri. Pagi-pagi, ia mulai keluar kamar meski hanya untuk duduk di ruang tamu sambil menatap televisi yang tidak benar-benar ia tonton.

   Namun ketenangan itu tidak bertahan lama.

   Suatu siang, aku menerima telepon dari sekolah Raka. Nomor asing. Jantungku langsung berdegup tidak karuan.

   “Ibu Alya, kami mohon bisa datang ke sekolah sekarang. Ada hal penting terkait Raka,” kata suara di seberang sana.

   Tanganku gemetar saat menutup telepon. Tanpa berpikir panjang, aku segera menjemput Ibu. Kami berangkat ke sekolah dalam diam yang mencekam. Sepanjang jalan, Ibu terus meremas tangannya sendiri sambil melafalkan doa pelan-pelan.

   Di ruang guru, wali kelas Raka duduk dengan wajah serius. Di sampingnya ada seorang guru BK. Dan di sudut ruangan, Raka duduk tertunduk, wajahnya lebam di sisi kiri.

   Dunia seakan berhenti berputar.

   “Apa yang terjadi dengan adik saya?” tanyaku, suaraku nyaris bergetar.

   Guru BK menjelaskan dengan hati-hati. Raka terlibat perkelahian dengan dua temannya. Ia yang memulai. Ia memukul lebih dulu.

   Ibu menutup mulutnya, menangis tertahan.

   Raka tidak membantah. Ia hanya terus menunduk.

   “Kenapa kamu lakukan itu?” tanyaku pelan ketika kami bertiga sudah keluar dari ruangan itu.

   “Mereka ngomongin Ayah dan Ibu lagi,” jawabnya pendek.

   “Terus kamu pukul mereka?”

   “Karena mereka keterlaluan,” katanya, kali ini suaranya bergetar. “Mereka bilang keluargaku rusak karena Ayah nggak berguna dan Ibu pilih lelaki lain.”

   Air mata Raka jatuh satu-satu di lantai sekolah.

   Dadaku terasa seperti diremas keras.

   Kami pulang dengan suasana yang jauh lebih berat dari saat berangkat. Di rumah, Ibu langsung masuk kamar dan menangis pecah tanpa suara. Aku duduk di ruang tengah bersama Raka yang kini tampak begitu kecil dan rapuh.

   “Kamu tahu nggak, Rak?” kataku pelan. “Kakak lebih memilih kamu marah di rumah daripada berkelahi di luar.”

   “Aku nggak tahan, Kak,” katanya jujur. “Aku pengen berhenti sekolah. Aku pengen pindah. Aku pengen semua orang berhenti ngomongin kita.”

   Aku menarik napas panjang. “Kamu tidak salah merasa seperti ini. Tapi kamu salah kalau menyakiti diri kamu sendiri dengan cara seperti ini.”

   Ia terdiam.

, Malam itu, Ardi datang lebih awal dari biasanya. Ia mendengar semua cerita dari aku. Tanpa banyak bicara, ia duduk di samping Raka dan menepuk pundaknya pelan.

, “Kamu mau ikut Mas keluar sebentar?” tawarnya.

   Raka menoleh ragu. “Ke mana?”

   “Ke warung kopi. Cuma duduk. Nggak usah ngomong kalau nggak mau.”

   Raka menimbang sebentar, lalu mengangguk pelan.

   Mereka pergi berdua.

   Saat mereka kembali, Raka tidak banyak bicara, tapi wajahnya sedikit lebih tenang. Ia langsung masuk kamar dan tertidur lebih cepat dari biasanya. Aku melihat Ardi dari depan pintu dengan mata penuh tanya.

   “Dia cerita sedikit,” kata Ardi akhirnya. “Tentang rasa malunya, tentang marahnya, tentang bingungnya dia harus berpihak ke siapa.”

   Aku menghela napas. “Terima kasih sudah mau menemaninya.”

   Ardi tersenyum kecil. “Dia adik kamu. Berarti juga adik aku.”

   Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa tidak sendirian menghadapi semua ini.

   Namun kejutan yang lebih besar datang dua hari kemudian.

   Ayah datang ke rumah.

   Aku membeku begitu melihat sosoknya berdiri di depan pagar. Tubuhnya tampak lebih kurus. Wajahnya tampak jauh lebih lelah. Rambut di pelipisnya semakin memutih.

   “Ibu di rumah?” tanyanya gugup.

   Aku mengangguk dan membiarkannya masuk.

   Suasana begitu canggung. Ibu keluar dari kamar dengan langkah ragu. Begitu mata mereka bertemu, keduanya sama-sama diam. Tidak ada pelukan. Tidak ada senyum. Hanya dua orang yang pernah saling mencintai dalam waktu yang sangat lama.

   Aku memanggil Raka.

   Anak itu keluar perlahan dari kamarnya. Begitu melihat Ayah, wajahnya berubah. Marah, rindu, benci, dan bingung bercampur menjadi satu.

   “Ayah…” panggilnya lirih.

   Ayah mendekat pelan. “Raka… Ayah dengar kamu berkelahi di sekolah.”

   Raka menunduk.

   “Ayah minta maaf,” kata Ayah tiba-tiba. “Karena ayah yang membuat semua ini menjadi sulit untuk kamu.”

   Air mata Raka jatuh deras.

   “Aku cuma pengen Ayah pulang,” katanya terisak. “Aku cuma pengen semuanya seperti dulu.”

   Ayah memejamkan mata. Tangannya bergetar saat akhirnya ia memeluk Raka. Pelukan yang lama tertahan. Pelukan yang penuh penyesalan.

   “Ayah nggak bisa kembali seperti dulu,” ucapnya pelan di antara tangis. “Tapi Ayah selalu ada untuk kamu.”

   Aku menutup wajahku sambil menangis. Untuk pertama kalinya, sejak rumah ini terbelah, aku melihat satu retakan mulai mencoba menutup dirinya sendiri.

   Tidak sempurna. Tidak utuh. Tapi cukup untuk memberi harapan. Dan malam itu, aku kembali belajar satu hal: Anak bungsu yang terlihat paling diam, sering kali justru memendam badai paling besar di dalam dadanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!