Selama tujuh tahun, Reani mencintai Juna dalam diam...meski mereka sebenarnya sudah menikah.
Hubungan mereka disembunyikan rapi, seolah keberadaannya harus menjadi rahasia memalukan di mata dunia Juna.
Namun malam itu, di pesta ulang tahun Juna yang megah, Reani menyaksikan sesuatu yang mematahkan seluruh harapannya. Di panggung utama, di bawah cahaya gemerlap dan sorak tamu undangan, Juna berdiri dengan senyum yang paling tulus....untuk wanita lain.
Renata...
Cinta pertamanya juna
Dan di hadapan semua orang, Juna memperlakukan Renata seolah dialah satu-satunya yang layak berdiri di sampingnya.
Reani hanya bisa berdiri di antara keramaian, menyembunyikan air mata di balik senyum yang hancur.
Saat lampu pesta berkelip, ia membuat keputusan paling berani dalam hidupnya.
memutuskan tidak mencintai Juna lagi dan pergi.
Tapi siapa sangka, kepergiannya justru menjadi awal dari penyesalan panjang Juna... Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aerishh Taher, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 : Ketakutan Renata dan Keluarga haluan Juna
Pintu rumah Renata terbuka dengan hentakan kecil. Tumitnya beradu keras dengan lantai, langkahnya terburu-buru, seperti ingin lari dari sesuatu yang terus mengejarnya. Begitu masuk ruang tamu, tubuhnya ambruk ke sofa. Nafasnya tersengal.
Dadanya naik turun cepat.
Bukan karena lelah.
Karena takut.
Tangannya otomatis menyentuh perutnya—masih datar, tapi di dalamnya ada kehidupan tiga bulan yang membuat pikirannya kacau.
“Juna… jangan tinggalkan aku…” bisiknya, namun suaranya pecah, seperti retakan kaca.
Ia meraih ponsel dengan tangan gemetar, menekan kontak Tante Anggita.
Telepon tersambung.
“Halo Tante, ini Renata.”
Suaranya bergetar, tapi ia paksa terdengar manis.
“Apa Tante ada waktu besok siang? Renata ada yang perlu dibicarakan dengan Tante… Iya, di Cafe Rainbow… Baik, Tante. Sampai jumpa.”
Telepon ditutup.
Renata menggenggam ponsel itu kuat-kuat, seolah jika ia melepaskannya, seluruh hidupnya akan runtuh.
Aku harus bilang. Tante pasti akan memihakku. Jika dia tahu aku hamil… Juna nggak punya alasan untuk pergi.
Namun pikirannya kacau. Ia memeluk dirinya sendiri, meremas ujung bajunya sambil menatap kosong ke langit-langit rumah.
Bayangan Juna yang pergi dari hidupnya membuat napasnya seperti dicekik.
Di tempat lain, Juna duduk di sofa apartemennya yang temaram. Satu-satunya cahaya berasal dari lampu meja yang redup. Sisa kopi dingin berada di genggamannya, tapi sejak tadi tak tersentuh.
Tatapannya kosong ke arah jendela, pada pantulan dirinya sendiri.
“Reani…” gumamnya pelan.
Nama itu saja sudah membuat dadanya mengeras.
Ia memejam, mengingat mata Reani tadi—dingin, marah, tapi juga… terluka.
“Keluarga Wijaya…” suara Juna hampir tak terdengar. “Kenapa dia nggak pernah bilang…”
Rasa sesal menghantam dadanya.
Ia menundukkan kepala, memijat pelipisnya.
Mau sekaya apa pun Reani sekarang, tujuh tahun itu tetap nyata. Mereka pernah membangun sesuatu—meski tidak resmi di negara, tapi hati mereka pernah saling terpaut. Ia yakin itu.
“Dia cuma lagi marah,” ucapnya, meyakinkan dirinya sendiri. “Dia nggak akan ninggalin aku begitu aja…”
Ia ingin merayu Reani kembali… berkata bahwa semua bisa diperbaiki dan mereka masih punya peluang.
Keyakinan itu membuat Juna tersenyum tipis, meski lelah.
Tidak mungkin hubungan tujuh tahun menghilang begitu saja.
Keesokan harinya....
Café itu tak terlalu ramai. Cahaya sore menyelinap melalui jendela besar, memantul lembut pada permukaan meja kayu. Renata membuka pintu dengan hati yang terasa rapuh suaranya hampir hilang ketika mendengar denting bel kecil di atas kepala.
Di sudut ruangan, Tante Anggita duduk dengan sikap yang nyaris terlalu tegak untuk tempat santai semacam itu. Blus krem tanpa kerut, rambut tersisir rapi—sosok yang tidak memberikan ruang bagi kesalahan. Tatapan wanita itu terangkat sekilas ketika Renata mendekat, tapi tidak menunjukkan keinginan untuk menyambut.
“Mari duduk,” katanya tanpa senyum. “Dan langsung saja. Ada apa kamu menyuruh saya datang?”
Nada itu bukan marah—lebih buruk dari itu. Jauh, dingin, dan sangat berhati-hati.
Renata menarik kursi dengan tangan sedikit gemetar. “Tante… maaf kalau menganggu waktunya. Renata cuma… tidak tahu harus bicara pada siapa.”
Ia berusaha menarik napas panjang, namun dadanya sendiri seperti menolak bergerak.
“Renata takut,” ucapnya pelan, suaranya nyaris pecah, “kalau Juna meninggalkan Renata di keadaan begini.”
Tante Anggita sempat memiringkan kepala, seperti belum mengerti apa yang dimaksud. Baru ketika Renata menundukkan pandangan ke perutnya, mata wanita itu perlahan membesar.
“Keadaan… apa yang kamu maksud?”
Renata meremas ujung gaunnya. “Aku hamil, Tante... Usia kandunganku sekarang tiga bulan. Ini cucu Tante, Anaknya Juna.”
Hening.
Ketika akhirnya Tante Anggita bersuara, nada itu turun beberapa derajat lebih dingin.
“Begitu.”
Ia meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan, seolah sedang menyusun kembali logika yang terpecah akibat berita itu.
“Saya memang tidak pernah menyukai Reani,” ujarnya pelan tanpa menatap Renata, “tapi saya kira… tidak akan ada yang lebih buruk daripada perempuan itu.”
Tatapannya kemudian menancap ke Renata, membuat tubuh Renata menegang.
“Ternyata saya salah.”
Renata menggigit bibir hingga terasa asin. “Tante… Renata cuma ingin Juna bertanggung jawab. Renata tidak meminta banyak, hanya itu.”
“Itu urusan kalian berdua,” potongnya. “Dan saya tidak berkewajiban mencampuri.”
“Renata mohon…,” suaranya akhirnya pecah.
Untuk pertama kalinya, ada sesuatu dalam wajah Tante Anggita yang berubah. Bukan iba—tapi semacam kelelahan yang dalam, seperti seseorang yang dipaksa menerima kenyataan yang tidak ia inginkan.
Ia menghela napas panjang. “Baiklah. Saya akan bicara pada Juna.”
Renata menatapnya dengan mata merah. “Terima kasih, Tante.”
“Jangan salah paham,” lanjut wanita itu, merapikan tasnya. “Saya melakukan ini karena anak itu.”
Ia menunjuk samar ke arah perut Renata.
“Bukan karena kamu.”
Renata menunduk dalam, menahan guncangan napas.
“Saya sudah lama tahu hubungan kalian.” Suara Tante Anggita merendah, namun tidak kehilangan ketegasan. “Dan saya tidak pernah menyukainya. Karir Juna kacau sekarang, dan sayangnya…”
Ia berhenti sejenak.
“Bagian itu ada campur tanganmu.”
Renata memejam, menanggung kalimat itu seperti menerima tebasan yang tak bisa dihindari.
“Saya ingin posisi Juna di kantor tetap aman,” katanya lagi. “Kalau kamu benar-benar ingin anak itu diterima, maka lakukan sesuatu. Jangan hanya menangis dan memohon.”
Renata mengangguk kecil. “Iya, Tante. Renata akan usahakan… semua hal untuk Juna.”
“Bagus.”
Tante Anggita bangkit. Tidak ada sentuhan, tidak ada simpati yang mengisi ruang di antara mereka. Hanya jarak yang semakin jelas, semakin dingin.
“Karena akibat kamu,” ucapnya sebelum pergi, “dia sudah cukup menderita. Jadi lain kali… pikirkan baik-baik konsekuensinya.”
Wanita itu berjalan keluar tanpa menoleh.
Renata tetap duduk diam, kedua tangan memegang perutnya seolah ia bisa menenangkan dirinya sendiri melalui sentuhan itu.
_____
Tirai kamar belum sepenuhnya terbuka ketika Juna terbangun oleh suara ketukan keras. Cahaya siang yang masuk hanya sedikit, cukup untuk memperlihatkan wajahnya yang kusut karena semalaman tidak tidur. Ia memandangi jam di dinding—sudah lewat tengah hari.
Ketukan itu datang lagi. Lebih keras.
Dengan kepala berat, Juna menyeret langkah menuju pintu. Begitu daun pintu terbuka, sosok ibunya langsung menerobos masuk tanpa permisi.
“Ma?” Juna mengucek wajahnya. “Kenapa sih ganggu Juna tidur?”
Tante Anggita memutar badan, berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan terlipat. Mata tajamnya seakan menguliti penampilan Juna dari kepala ke kaki—kaus berantakan, rambut acak-acakan.
“Juna.” Nada itu pelan, tapi penuh tekanan.
“Renata hamil Anak kamu, kan?”
Juna menegang. “Mama tahu dari mana? Apa Rere ngomong ke Mama?”
“Iya,” jawab ibunya cepat. “Baru saja Mama ketemu dia.”
Juna menatap kosong untuk sesaat. “Terus?”
“Terus?!” Suara Tante Anggita naik. “Kamu harus tanggung jawab! Mama tidak mau cucu Mama lahir tanpa ayah!”
Juna memijit pelipisnya, kepalanya pening. “Ma… Mama tahu Juna masih sama Reani. Juna—”
“Kamu gila?!” Ibunya mendekat, hampir menusuk dada Juna dengan telunjuknya.
“Kamu pikir kalian masih mungkin kembali? Reani sudah mengambil kursi direktur Tekno Air. Dia tidak melihat kamu lagi, Juna!”
Juna menggeleng. “Ma… Reani cuma marah sementara. Juna yakin kalau Juna minta maaf… berlutut pun nggak masalah. Dia bakal—”
PLAKK!!!
Tamparan itu terdengar keras, membelah ruang tamu yang tadinya hening.
Juna tersentak, memegang pipinya, tak percaya ibunya baru saja menamparnya.
“Sudah cukup!” seru Tante Anggita, suaranya bergetar karena emosi.
“Kamu mau mempermalukan keluarga kita lagi? Kamu mau berlutut pada perempuan miskin itu?!”
Juna menatap ibunya lama. “Ma… Reani itu anak keluarga Wijaya. Tidak mungkin dia miskin.”
Hening sejenak. Sang ibu menutup mulut, jelas terkejut, tapi ia menepis hal itu dengan cepat.
“Apa pun itu, Mama tidak mau dengar!” katanya akhirnya, nadanya kembali keras.
“Yang jelas—kamu harus menikahi Renata. Dia mengandung cucu Mama!”
Juna menghela napas berat. “Ma…”
“Tidak ada tapi!” potong ibunya. “Dan kalau kamu masih mau bermain-main dengan Reani setelahnya, Mama tidak peduli!”
Ia mendekat, suaranya merendah menjadi bisikan penuh racun.
“Sekalian saja kamu keruk hartanya. Biar dia tahu diri. Berani-beraninya dia mengambil kursi direktur itu dari kamu. Perusahaan itu milikmu. Milik keluarga kita.”
Juna memandang ibunya, lama. Ada perasaan yang sulit terbaca di matanya—luka, amarah, dan keyakinan yang perlahan mulai retak.
“Ma… Reani bukan wanita seperti itu.”
“Terserah apa yang kamu pikirkan.” Tante Anggita meraih tasnya dengan gerakan tegas.
“Yang Mama tahu, kamu tidak boleh membuat anak kamu lahir tanpa sosok seorang Ayah. Kamu harus menikahi Renata dan kembalikan nama baik keluarga ini.”
Wanita itu melangkah menuju pintu.
Sebelum pergi, ia menoleh sedikit.
“Pikirkan baik-baik, Juna. Anak itu darah dagingmu.”
Pintu tertutup dengan suara yang menggema.
Juna berdiri mematung, pipinya masih panas, kata-kata ibunya bergema di kepala tanpa henti.
bersambung......