Ningrat dan kasta, sebuah kesatuan yang selalu berjalan beriringan. Namun, tak pernah terbayangkan bagi gadis proletar (rakyat biasa) bernama Sekar Taji bisa dicintai teramat oleh seorang berda rah biru.
Diantara gempuran kerasnya hidup, Sekar juga harus menerima cinta yang justru semakin mengoyak raga.
Di sisi lain, Amar Kertawidjaja seorang pemuda ningrat yang memiliki pikiran maju, menolak mengikuti aturan keluarganya terlebih perihal jodoh, sebab ia telah jatuh cinta pada gadis bernama Sekar.
Semua tentang cinta, kebebasan dan kebahagiaan. Mampukah keduanya berjuang hingga akhir atau justru hancur lebur oleh aturan yang mengekang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATN 21~ Bermunajat
Tersiarnya kabar pertemuan kedua trah ningrat itu cukup ramai diperbincangkan dan membuat keraton sibuk mempersiapkan kedatangan tamu mereka belakangan ini.
Sudah menjadi rahasia umum, dan aturan tak tertulis jika penguasa menikahkan putra--putrinya dengan keturunan penguasa lain, demi terjalinnya silaturahmi antar keraton, antar daerah.
Aturan yang sebenarnya, sebagian ningrat merasa keberatan, sebab-----dimanakah hak merdeka mereka kalau begitu, sementara cinta itu merupakan anugrah yang Maha Kuasa, cinta itu tak bisa dipaksakan begitu, ia akan memilih sesuai maunya hati. Dan itulah nilai murni cinta.
Sebenarnya beberapa pihak khususnya dari keturunan menak pun mempermasalahkan ini. Sehingga hal ini menimbulkan pro dan kontra. Sebab, alasan logisnya adalah hal ini akan semakin memanjangkan tradisi raja serta keturunannya yang memiliki kebiasaan hidup berpoli gami, dan terkadang berujung kerugian di pihak perempuan, karena menjadi selir bukanlah jaminan kebahagiaan.
Seharusnya, acaranya tidak dadakan begini, sebab biasanya para ronggeng akan melakukan persiapan 40 hari sebelum *ngibing*. Entahlah, terkadang mereka tak paham, dengan keinginan para penguasa.
Amih Mayang segera meminta ke 7 penari untuk segera mempersiapkan diri. Seminggu mereka akan melakukan ritual di sanggar, lalu 3 hari berikutnya para penari ini akan mulai dikirim ke keraton dan melakukan tradisi ritual dan gladi resik disana termasuk ngaruat.
Layaknya ronggeng gunung, tradisi ngibingnya ronggeng demi menyambut tamu ningrat ini adalah salah satu kekayaan budaya yang patut dilestarikan meskipun sarat akan kandungan mistis dan spiritual.
Segala macam kebudayaan yang telah ada sejak dulu, patut dilestarikan. Selain dari warisan budaya namun adat dan budaya merupakan kata lain dari syaman atau jembatan manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan karuhun.
"Wi mau ikut antar teteh," rengek Widuri.
"Sudah sore Wi, Wi baiknya mandi terus mengaji...teteh diantar bapak."
Kini rengekan Widuri terarah pada bapak yang sudah siap mengantar Sekar ke sanggar Mayang, selama 7 hari ini...latihan yang dilakukan adalah sore, hingga malamnya mereka melakukan ritual spiritual. Mak cukup tau, sebab dulu ...ia memiliki teman bernama Asih yang sering wara-wiri menjadi ronggeng kenamaan, termasuk di keraton.
"Hati-hati, Kar....Mak titip selalu bersihkan hatimu. Jangan macam-macam, jaga diri." Mak tau, ini bukan lagi soal gerak liuk tubuh saja, namun jauh melibatkan itu, ada aspek magis dan spiritual yang dilibatkan.
"Iya mak." wajah cantik putri sulungnya itu tersenyum lalu dirangkul bapak seolah lelaki senja ini akan melindungi sang putri dari apapun.
"Setiap pulang tidak usah dijemput, pak. Perginya saja yang diantar.... Sekar tau, bapak ada kerjaan garap sawah pak Ruhiyat."
"Iya."
"Kar, selalu ingat gusti Allah. Niatkan hanya untuk memasrahkan diri, membersihkan hati dan pikiran, jangan ada niat macam-macam lagi."
Sekar terkekeh, "memangnya aku punya niat apa, pak? Niat kaya? Niat biar gusti kanjeng bisa kepincut?"
"Hush!" Desis bapak, Sekar masih terkekeh.
"Maaf, karena kamu yang harus ikut-ikutan cari uang."
Sekar berdecak, "sudah pak. Aku malas ngomongin itu. Itu terus....itu terus. Hidup itu harus terus berjalan." Sekar memperhatikan ayunan langkah nya dan bapak yang kontras, dan tak kompak. Langkah kaki-kaki putihnya diantara sandal jepit pink jelas lebih pendek dibanding langkah kaki bapak.
"Kalau kita terus saja mempermasalahkan keadaan, kapan kita maju dan berjuang. Aku hanya melihat dari sisi sederhananya saja, pak. Mungkin, kalau orang lain starnya dari angka 5 dikasih modal awal sama gusti Allah, seperti harta, dan gelar...sementara kita, Gusti Allah mau kita berjuang dari nol. Harus merangkak dulu untuk mencapai angkat 1 lalu memanjat untuk angka 2."
Bapak tertawa disusul tawa Sekar, "berguling untuk sampe di angka 3." Lanjut bapak, diangguki Sekar.
"Jangan sampai berda rah-da rah hanya untuk sampai di angka 4." Ucap Sekar digelengi bapak, "nauzubillah."
"Bapak mau terbang saja, Kar buat sampai di angka 4."
"Boleh. Nanti Sekar yang belikan pesawatnya."
"Aamiin."
Hingga langkah mereka sampai di depan sanggar Mayang, dan sepi----dingin, banyak dedaunan berguguran, begitulah sanggar saat sore hari disaat anak didik sudah pada pulang.
"Hati-hati neng."
"Bapak juga."
Sekar menatap punggung rentan bapak, yang diusia lebih dari 45 tahun itu masih harus membanting tulangnya, tapi bapak masih kuat dan menguatkan diri untuk keluarga. Malu jika Sekar harus mengeluh...
7 orang gadis penari itu sudah berkumpul, awalnya berlatih sejenak melembutkan gerakan, menyamakan irama dan menyegarkan pikiran takut lupa dan tak seiras.
Namun setelah menginjak isya, amih Mayang menggiring mereka untuk mengganti pakaiannya dengan jarik.
Sekar sempat terdiam memandang jarik coklat motif merah di tangannya, ingat dengan kejadian tempo hari saat di rumah dukun ca bul itu. Tapi tak mungkin amih Mayang begitu, ia mengenyahkan pikiran buruknya.
Ingat, ritual ini dilakukan untuk membersihkan pikiran buruk.
"Kar, ayok, udah belum?" tanya Sari membuka pintu kamar.
"Sebentar teh." Ia bergegas membuka bajunya menyisakan dalam aannn saja dan melapisinya tubuh mulus nan putihnya itu dengan jarik.
Kemana mereka akan pergi, Sekar menangkup kedua bahunya yang terasa dingin oleh sapuan angin malam, bergabung dengan keenam lainnya.
Suasana malam yang jujur saja, sedikit mencubit bulu kuduk menafsirkan rasa takut yang menggerayangi. Siapa juga yang tak takut, rumpun bambu setinggi 5 meter seakan-akan siap menelan siapapun yang keluar dari rumah.
Bahkan teh Yani sudah merapatkan badannya pada teh Ros.
Hanya Sekar yang tidak berpegangan pada siapapun, meskipun selanjutnya Sari merapat pada Sekar, "kamu ngga takut, Kar?"
"Takut." angguk Sekar namun Sari menepisnya, "canda kamu. Aku takut tiba-tiba keluar lelembut dari rumpun bambu."
Sekar tersenyum, dimana amih Mayang sudah menunjukan seperti sendang, atau pemandian kecil hanya berukuran 3 x 3 dengan aliran air dari hulu sungai. Di pinggirannya beberapa obor dinyalakan sebagai penerangan.
"Biasanya saya mandi disana kalau mau pementasan, ruwat, atau bahkan mandi biasa. Malah nyai Mirah dan akang sering mandi disana. Bukan sendang keramat kok, hanya dibuat untuk tirakat. Mencari ketenangan diri, menyatu dengan alam."
Mereka turun melewati jalanan setapak dari arah pancuran menuju bawah sungai.
"Awas pelan-pelan..." tidak hanya ada amih Mayang saja, melainkan nyai Mirah juga ada disana.
"Masuk keraton itu harus bersih, neng. Baik hati, pikiran, raga..." ujar nyai Mirah.
"Kenapa harus malam-malam amih?" tanya Sari menatap takut ke arah rumpun bambu dan sekitar yang gelap gulita sambil berpegangan pada setiap sisian pijakan dan bebatuan.
"Kalau siang nanti ada ngintip. Malam itu, dipercaya....waktu yang mustajab, dan diyakini bahwa pada waktu malam, Gusti Allah akan mendengarkan siapapun hambanya yang berdoa dan memohon pengampunan dengan sungguh-sungguh. Malam hari juga menawarkan keheningan dan kekhusyuan untuk memanjatkan do'a, mengadu pada sang pemilik. Dimana sunyi bisa lebih syahdu."
"Bermunajat disaat orang terlelap menunjukan ketulusan hati dan pengorbanan diri untuk mendekatkan diri pada sang Pencipta. Terlebih itu, saat malam, pikiran lebih jernih, gelombang otak menurun, memudahkan untuk perenungan dan refleksi diri." Lanjut nyai Mirah.
"Bonusnya tau ngga apa?" tanya nyai Mirah lagi saat mereka sudah mengisi setiap sudut sendang dengan tinggi bangunan satu meter dan nampak bersih di dalam, oh ya...jangan lupakan kolam berendam itu airnya berasal dari hulu mata air.
Satu kata yang membuat Sekar meringis, *dingin*.
"Apa nyai?" tanya Ros.
"Masuk angin." kelakarnya ditertawai mereka termasuk amih Mayang. Nyai Mirah dan amih Mayang menaburkan bunga setaman. Terpantau oleh Sekar ketika ia mencelupkan dirinya ke kolam pemandian bening itu, amih berkomat-kamit sesuatu.
.
.
.
.
q juga kalau jari sekar ogah hidup enak banyak duwit tapi tekanan batin, yang ada mati muda dih sayang amat🙈
Bukk jangan hina tikus ya, tikus di Ratatouille visa masak Lo.
ibuk liat Sekar itu tikus ya.. kasian aku sama ibuk ini , matanya sakit kah?? jangan² katarak ya makanya gk bisa bedain manusia sama tikus🤪