Kematian seharusnya menjadi akhir. Bagi Sayyidah Yasmeen, pewaris takhta yang dikhianati, itu adalah sebuah awal.
Ia terlahir kembali dalam tubuh mungilnya yang berusia sepuluh tahun, namun dengan jiwa yang menanggung luka dan ingatan kelam akan masa depan. Ingatan akan ambisi keji ayahnya sendiri yang merenggut nyawanya, dan ingatan akan pengkhianatan dari sosok yang paling ia cintai—yang kelak menjadi algojonya.
Kini, di balik senyum polos seorang anak, tersembunyi pikiran seorang ratu yang sedang menyusun strategi. Setiap bisikan di lorong istana adalah petunjuk, setiap wajah adalah calon sekutu atau musuh tersembunyi. Ia harus meruntuhkan tirani dari dalam, menggagalkan persekongkolan sebelum terjadi, dan menulis ulang takdir dengan darah dan kecerdasan.
Namun, saat ingatan menjadi senjata paling mematikan dan musuh terbesar bersembunyi di balik kenangan manis, dapatkah Yasmeen merebut kembali mahkotanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benih Kebencian
Yasmeen mengangkat dagu, menatap Syekh dengan mata yang menuntut jawaban, bukan karena ia takut, tapi karena ia ingin semua orang mengerti: takdir Nayyirah tidak bisa dibiarkan melayang begitu saja. Senyum tipisnya muncul, seperti orang yang sudah membaca bab-bab depan sebuah takdir.
“Aku tak akan pergi ke Kota Agung sebagai pengantin,” katanya pelan, nada itu lembut, tapi tegas. “Aku akan pergi sebagai perwakilan Emirat yang berdaulat. Namun, ada satu hal: Syekh, bisakah kau kirim kavaleri terbaikmu, sepuluh penunggang, ke tempat pengasingan Zahir? Untuk mengawasi gerak-gerik putranya, Zain.”
Syekh Sulayman menahan napas sejenak. Permintaan itu terasa aneh bagi logika perang mereka, mengirim prajurit gurun yang terlatih untuk memata-matai bocah lima tahun? Seolah-olah meminta singa berpatroli di taman kanak-kanak.
“Emirah,” suara Syekh tajam, matanya seperti elang. “Aku di sini untuk menumpahkan darah musuhmu, bukan untuk menjaga buaian. Anak itu sebahaya apa sampai perlu dijaga seperti barang berbahaya?”
Wazir Khalid dan Khalī Tariq menahan diri agar tak melirik ke Yasmeen. Mereka menunggu alasan yang masuk akal; jika alasannya lemah, Syekh akan meragukan kebijaksanaan pemimpin muda itu.
Yasmeen tak bergerak. Tatapannya dingin, padat seperti baja yang ditempa waktu. “Zahir sudah tiada. Mehra hanyalah mayang ambisi yang berisik. Namun, yang Zahir tinggalkan bukanlah harta atau gelar, itu adalah kebencian. Dan kebencian itu berwujud anaknya.”
Ia melangkah turun dari singgasana. Lampu minyak menari, bayangan panjangnya merayap di dinding. “Zahir menanam benih di hati bocah itu. Kebencian Zain terhadapku, terhadap penderitaan Ruqayyah, terhadap pengasingan ayahnya, semua itu tertanam. Suatu hari, Zain akan menjadi duri di sisi Nayyirah. Dia akan mencari sekutu. Dia akan kembali menuntut apa yang menurutnya miliknya.”
Yasmeen sengaja tak menguraikan adegan gelap di mana Zain berubah jadi pembunuh tanpa ampun. Cukup dengan menyinggung racun yang mengakar.
“Kita tidak akan menghukumnya sekarang. Mengasingkannya dengan terang akan mengubahnya jadi martir. Namun, kirimlah mata dan telinga kita ke sana. Pastikan tak ada orang luar yang bisa meracuni pikirannya, tak ada yang melihatnya sebagai pewaris boneka.”
Suara Yasmeen menurun jadi bisik yang penuh hitungan. “Pastikan, Syekh, di sana Zain hanyalah anak seorang pengkhianat terasing. Jika ada agen dari Kota Agung atau kabilah pesaing mendekat, singkirkan mereka. Lindungi Nayyirah dari virus yang bisa tersebar lewat anak ini.”
Keheningan menempel berat. Syekh, lelaki yang selama hidupnya membaca medan perang dan honor, kini perlahan mengangguk. Ada kebenaran dingin dalam kata-kata gadis itu: anak seorang pengkhianat yang merasa dirampas adalah bibit bahaya sempurna.
“Aku mengerti, Emirah,” jawab Syekh Sulayman akhirnya. “Anak itu akan dikarantina, secara spiritual dan politik. Sepuluh penunggang terbaikku akan ke sana. Mereka akan menjadi mata yang takkan pernah berkedip.”
Seketika suasana berubah. Syekh mundur selangkah, lalu menepuk dadanya sebagai tanda sumpah Kabilah Al-Jarrah, ikrar yang bukan sekadar kata, tetapi janji darah.
“Kami, Kabilah Al-Jarrah, mengakui Anda, Sayyidah Yasmeen, sebagai Emirah sejati Nayyirah. Darahmu adalah hukum kami, napasmu adalah perintah kami. Seratus prajurit terbaik sudah dikirim untuk menempati luar gerbang timur di bawah komando Khalī Tariq. Mulai sekarang, Emirah tak lagi bergantung pada bayang-bayang Zahir, melainkan pada ketegasan pasukan yang dipimpin oleh darah yang benar.”
Gelombang panas kebanggaan menelusup ke dada Yasmeen. Itu bukan semata kemenangan, itu pembebasan. Dukungan militer membuat wajah Nayyirah berubah di mata Kesultanan. Ini tameng mereka melawan Harith.
“Aku terima sumpah ini, Syekh Sulayman. Keturunan Jaddīku akan selalu mengingat pengorbanan Kabilah Al-Jarrah. Mulai sekarang, kebutuhanmu adalah kebutuhan Nayyirah.” Kata-kata itu sederhana, tapi mengandung berat sebuah dekret.
Syekh kembali membungkuk. “Katakan padaku perintah lain, Emirah. Ancaman dari Kota Agung akan datang. Apa langkah selanjutnya?”
Yasmeen beralih pada Tariq dan Khalid. Ia tak mau ada yang menilai dia masih gadis yang diselamatkan, ia hendak berdiri sebagai komandan.
“Khalī Tariq, perkuat semua perbatasan dan gerbang, fokus pada Oasis Azhar. Perjanjian itu kami batalkan. Kota Agung mungkin menyelinap lewat cara licik untuk meracuni pasokan air.” Nada suaranya tak memberi ruang untuk perdebatan.
Tariq mengangguk, loyalitasnya kini tak terbagi. “Perintah Anda akan dijalankan. Kavaleri Al-Jarrah akan mengawasi patroli gurun.”
“Bagus, tapi ingat: tidak ada kekacauan sipil,” Yasmeen menambahkan, suara dingin berlapis strategi. “Semua prajurit harus bersikap sopan di hadapan rakyat. Nayyirah harus tampak damai dan stabil, agar Harith tak punya 'alasan' untuk campur tangan.”
Ia menatap Wazir Khalid, sang kepala administrasi yang setia, dengan perkamen dan pena siap mencatat instruksi.
“Wazir Khalid, Al-Mustafa tahu kita membatalkan Oasis Azhar lewat hukum. Dia akan kembali melaporkan bahwa Nayyirah dijalankan oleh birokrat cakap, bukan boneka. Segera audit semua perjanjian Zahir lima tahun terakhir. Lacak ke mana asetnya pergi. Tarik uang yang dia gelapkan, dan gunakan untuk proyek infrastruktur publik yang vital.”
Khalid mengangkat alis. Ide itu mengingatkannya pada trik lama: buat rakyat sibuk memperhatikan manfaat, bukan intrik istana. Namun, kali ini nasihat itu terasa benar.
“Kita tak cukup mengandalkan pedang,” Yasmeen melanjutkan. “Kita butuh dukungan rakyat. Perbaiki irigasi. Atur distribusi air. Keluarkan dekret reformasi pajak untuk kabilah. Jadikan Anda, Wazir, figur yang dicintai rakyat.”
Khalid tersenyum, matanya memancarkan semangat, sesuatu yang jarang terlihat di meja-meja istana. “Akan kami laksanakan, Emirah. Nayyirah akan siap secara administratif.”
Strategi Yasmeen ternyata tiga lapis: hukum, militer, dan simpati publik. Jika ketiganya solid, Harith tak punya dalih selain membuka negosiasi, atau kalah sekaligus kehilangan muka.
Syekh Sulayman, Tariq, dan Khalid bergerak dengan energi yang baru; mereka bukan lagi pengikut tanpa arah, melainkan orang-orang yang menemukan pemimpin.
Beberapa jam kemudian, istana kembali sunyi. Gurun di luar membentang dingin, penjaga Kabilah Al-Jarrah menempel di balik tembok. Yasmeen masih terjaga di ruang kerja Jaddī-nya, mengoreksi daftar harta yang disita dari Zahir. Tubuhnya lelah, tetapi otaknya tak pernah berhenti menghitung.
Zahir telah ditaklukkan, tapi benih yang ditabur di hati orang lain belum pasti gugur. Ia memikirkan Zain, bocah yang nasibnya kini menentukan banyak hal. Yasmeen tak ingin Zain tumbuh menjadi pembunuh berdarah dingin. Untuk itu, akar kebencian harus diputus berulang sebelum tumbuh kuat.
Tiba-tiba, ada ketukan halus di pintu, Khalī Tariq kembali dari penempatan awal, wajahnya membawa kabar yang tak ringan.
“Maaf mengganggu malam Anda, Sayyidah. Ada laporan dari utusan kami di tempat Zahir ditahan,” kata Tariq, suaranya berat.
Yasmeen duduk tegap. “Apakah Zahir melawan? Atau Mehra?”
“Bukan, Sayyidah. Zahir tampak pasrah. Mehra histeris, tapi kemudian terdiam. Yang membuat kami khawatir... adalah Zain. Salah satu penunggang melihat sesuatu yang aneh.”
Jantung Yasmeen berdegup lebih cepat. Naluri yang tak pernah salah berbisik.
“Apa?” desaknya.
Tariq menahan napas, raut mukanya menua beberapa tahun dalam sekejap. “Ketika penjaga masuk, mereka menemukan Mehra dan Zain duduk di hadapan Zahir yang terikat. Mehra berteriak, menyalahkan Zahir, yapi Zain kecil, dia tidak menangis.”
“Lalu?”
“Anak itu memeluk kaki ayahnya, menatap ibunya dengan wajah marah, bukan sedih, dan berbisik pada Zahir. Ucapannya, untuk anak seusianya, begitu dingin.”
Ruang terasa menyempit. Itu bukan sekadar kenangan akan anak yang dimanja, itu adalah gema dari masa lalu yang Yasmeen kenal terlalu baik: loyalitas yang menutup mata pada kebenaran.
“Apa yang dia katakan?” Yasmeen memaksa tenang, tapi suaranya mengkhianati kegelisahan.
Tariq menelan ludah. “Dia berkata, ‘Ayah tidak salah. Emirah kecil itu yang mencuri semuanya dari kita. Ketika aku besar, aku akan dapatkan Nayyirah kembali untukmu, Ayah. Aku janji, aku akan menghukumnya!’”
Kata-kata itu menggantung di udara, dingin seperti embun di pagi gurun. Bukan hanya ancaman, itu janji. Janji dari bibir seorang anak yang kata-katanya dipanaskan oleh kebencian orang dewasa.
Yasmeen merasakan sesuatu yang familiar menyelinap ke dalam dadanya: bukan takut, melainkan kepastian yang menggerakkan. Anak itu mengucapkan sebuah niat. Dan niat, terutama yang lahir dari luka, bisa membesar menjadi badai.