Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ungu di Atas Sutra Putih
Gudang di Gerbang Utara berbau seperti besi tua dan penyesalan. Karat menempel di udara, bercampur dengan aroma tanah basah yang merayap dari celah-celah lantai batu. Di tengah ruangan yang pekat dan dingin itu, Hwa-young berdiri seperti patung, ketenangannya hanyalah topeng tipis untuk menutupi gemuruh di dalam dadanya. Kegagalan bukanlah pilihan. Setelah kehilangan manik-manik giok ibunya pada Yi Seon, satu-satunya yang ia miliki adalah ingatannya, peta dan buku besar Chungmae yang terukir di benaknya. Itu harus cukup.
“Yang Mulia, bagaimana jika mereka tidak datang?” bisik Mae-ri, hampir ditelan oleh keheningan. Ia baru saja selesai membakar dupa murahan, usahanya yang sia-sia untuk mengusir hawa lembap.
“Mereka akan datang,” jawab Hwa-young, matanya terpaku pada pintu belakang yang reyot. “Orang tua di Toko Teratai Malam berjanji. Kepanikan Matriarch Kang adalah sinyal suar. Chungmae yang tersisa pasti melihatnya. Mereka haus, Ri. Haus akan harapan.”
Dan Hwa-young bertekad menjadi air di tengah padang pasir itu. Ia lelah menjadi aktris di istana, memainkan peran istri yang patuh sambil menelan racun hinaan setiap hari. Di sini, di sarang tikus ini, ia akhirnya bisa menjadi dirinya sendiri, pewaris Chungmae.
Seolah menjawab ucapannya, tiga ketukan cepat, jeda, lalu dua ketukan lambat terdengar dari pintu belakang. Bukan suara tangan, melainkan gesekan sepatu bot pada kayu lapuk. Sandi yang dijanjikan.
Hwa-young mengangguk. Mae-ri, dengan jantung berdebar, membuka palang pintu.
Seorang wanita muda melangkah masuk, membawa hawa dingin malam bersamanya. Ia lebih muda dari Hwa-young, dengan tatapan setajam elang dan pakaian kerja yang usang. Ia tidak membungkuk. Matanya yang waspada memindai ruangan, berhenti sejenak pada Hwa-young dengan cemoohan yang hampir tak kentara.
“Aku disuruh datang ke tempat bunga plum mekar di musim dingin,” katanya, serak dan menantang. “Tempat ini lebih mirip kuburan daripada taman. Siapa kau?”
“Aku pemilik bunga itu,” balas Hwa-young, melangkah maju ke dalam sorotan lentera.
Wanita itu tertawa, suara kering seperti daun mati. “Kau? Kau terlihat seperti tikus bangsawan yang tersesat di saluran air. Bunga plum? Kau lebih mirip bunga krisan manja yang tumbuh di pot emas.”
Mae-ri maju selangkah, siap membela, tetapi Hwa-young menahannya dengan isyarat tangan. Ia sudah menduga akan disambut dengan skeptisisme. Ini bukan istana, di mana status adalah segalanya. Di sini, yang berharga adalah bukti, bukan darah.
“Namaku Hwa,” katanya tenang. “Dan kau pasti Sora, penghubung jaringan kurir yang tersisa. Aku tahu kau tidak percaya padaku. Aku juga tidak akan membuang waktumu dengan cerita pengantar tidur tentang putri yang hilang.”
Sora menyilangkan tangan di dada. “Bagus. Chungmae sudah mati, dikubur oleh Keluarga Kang. Aku tidak akan mempertaruhkan nyawa orang-orangku untuk fantasi seorang bangsawan yang bosan.”
“Kalau begitu, anggap saja ini bukan fantasi. Anggap ini peluang bisnis,” potong Hwa-young, nadanya berubah tajam. “Matriarch Kang akan mengirimkan Sutra Kerajaan dalam dua belas hari. Pengiriman paling berharga dan paling dijaga. Tapi ia membuat kesalahan. Untuk menghindari pajak Pangeran Mahkota yang semakin curiga, ia tidak akan menggunakan kapal dagang besar. Ia akan menyelundupkannya dengan kapal nelayan kecil, berlabuh di dermaga selatan yang ditutup untuk ‘perbaikan’ pada malam bulan baru.”
Keheningan yang tegang menyelimuti gudang. Sora tidak bergerak, tetapi Hwa-young bisa melihat kilatan di matanya. Itu bukan lagi skeptisisme, itu adalah kalkulasi seorang predator.
“Informasi itu ... tidak mungkin kau dapatkan dari istana,” desis Sora.
“Tentu saja tidak,” balas Hwa-young. “Informasi itu berasal dari cara ibuku berpikir. Dia tahu Keluarga Kang berpikir seperti pencuri, bukan pedagang. Dan aku tahu cara menangkap pencuri. Ini bukan tentang menghidupkan kembali Chungmae yang lama, Sora. Ini tentang membangun yang baru, yang lebih cerdas. Kau bisa terus bersembunyi di bayang-bayang, atau kau bisa membantuku mengambil kembali apa yang menjadi milik kita. Dimulai dengan sutra itu.”
Sora menatapnya lama, seolah menimbang setiap kata, setiap tarikan napas Hwa-young. Akhirnya, ia menghela napas panjang, bukan karena menyerah, tetapi karena memutuskan untuk berjudi.
“Mencuri sutra itu sama saja bunuh diri,” kata Sora, nadanya kini beralih ke mode operasional. “Dermaga itu mungkin sepi, tapi pengangkutan daratnya akan dijaga ketat oleh orang-orang Kang.”
“Kita tidak akan mencurinya,” Hwa-young tersenyum dingin. “Kita akan menghancurkan nilainya. Kita akan merusaknya di depan mata mereka.”
Sora mengangkat alis, tertarik. “Bagaimana?”
“Dengan kekacauan dan pewarna,” jawab Hwa-young.
Rencana itu terbentuk dengan cepat, perpaduan antara kecerdasan strategis Hwa-young dan pengetahuan lapangan Sora yang brutal. Tuan Baek, penyuap utama Kang, akan bertanggung jawab atas pengangkutan darat. Rute utamanya adalah Jembatan Naga.
“Dia terlalu percaya diri,” kata Hwa-young. “Kita akan ciptakan kemacetan di Jembatan Naga. Sesuatu yang terlihat seperti kecelakaan.”
“Abu,” sela Sora, matanya berbinar licik. “Abu dari pembakaran arang, disebar di jalan batu yang licin karena kabut malam. Beberapa kuda akan tergelincir. Cukup untuk membuat Tuan Baek panik dan mengambil rute darurat.”
“Jalur lama di sepanjang kanal barat,” gumam Hwa-young. “Gelap, sempit, sempurna.”
“Di sana kita menyergap,” lanjut Sora, semakin bersemangat. “Kita tidak butuh banyak orang. Cukup untuk melumpuhkan pengawal dan membuka peti.”
“Lalu kita warnai sutra itu,” Hwa-young menyelesaikan. “Nyonya Shin di Distrik Barat. Pabrik pewarnanya hampir dihancurkan oleh Kang. Dia pasti punya sesuatu yang kuat. Sesuatu yang akan mengubah sutra putih bersih menjadi warna ungu atau hijau yang menjijikkan.”
Sora tertawa, kali ini tawa yang penuh dengan bahaya dan antisipasi. “Itu brilian. Sabotase, bukan perampokan. Matriarch Kang akan kehilangan muka di istana, tapi dia tidak bisa menyalahkan hantu Chungmae. Dia akan menyalahkan pesaingnya.”
“Ini adalah ujian kita, Sora,” kata Hwa-young, menatap langsung ke mata wanita itu. “Jika ini berhasil, para pedagang kecil akan tahu bahwa Chungmae tidak hanya kembali, tapi juga punya gigi.”
“Baiklah, Nyonya Hwa,” kata Sora, untuk pertama kalinya menggunakan gelar kehormatan. “Kau punya otak. Sekarang mari kita lihat apakah kau punya nyali. Aku akan siapkan orang dan pewarnanya.”
*
Dua belas hari terasa sekejap ketika diisi dengan persiapan yang menegangkan. Malam bulan baru tiba bersama kabut tebal yang merayap dari pelabuhan, menelan kota dalam selubung putih yang dingin. Di kanal barat yang gelap, lima bayangan menunggu dalam diam. Hwa-young, Mae-ri, Sora, dan dua kurir tepercaya, Yeon dan Han.
Jantung Hwa-young berdebar kencang, bukan karena takut, melainkan karena adrenalin murni. Ini adalah pertarungan pertamanya. Di sini, tidak ada jubah sutra atau kipas untuk bersembunyi. Hanya ada kegelapan, pisau kecil di pinggangnya, dan guci berisi cairan pewarna ungu pekat di tangannya.
Tak lama, suara roda kereta yang tergesa-gesa memecah keheningan, diiringi makian kasar dari kusir.
“Jembatan sialan! Kenapa harus ada kecelakaan malam ini!”
Hwa-young tersenyum di balik kain yang menutupi wajahnya. Umpan telah dimakan.
Kereta tertutup itu muncul dari kabut, ditarik dua kuda yang gelisah dan dikawal empat pria bersenjata.
“Sekarang!” desis Hwa-young.
Yeon dan Han bergerak seperti hantu. Tali tebal yang diikat pada batu berat melesat melintasi jalan. Kuda-kuda tersandung dengan ringikan panik, membuat kereta berhenti mendadak. Para pengawal menarik pedang, mata mereka liar mencari penyerang dalam kabut.
Itulah saatnya Hwa-young, Mae-ri, dan Sora menyerbu. Hwa-young mencongkel paksa kunci pintu belakang kereta. Di dalamnya, ratusan gulungan sutra putih terbungkus rapi, berkilauan samar di bawah cahaya lentera yang bergoyang.
“Tuang!” perintahnya.
Tanpa ragu, mereka membuka guci-guci itu dan menuangkan cairan ungu pekat ke atas harta karun Matriarch Kang. Warnanya menyebar seperti racun, menodai kesucian sutra dengan noda yang mengerikan dan permanen.
Tuan Baek, pria gemuk yang baru saja berhasil menenangkan diri, melihat pemandangan itu. Wajahnya berubah dari merah karena marah menjadi pucat pasi karena teror.
“Sutraku! Sutra Matriarch!” pekiknya, pecah. Ia tidak mencoba melawan, ia hanya bisa menatap ngeri pada bencana finansial dan politis yang terjadi di depan matanya.
“Cukup! Pergi!” seru Hwa-young.
Mereka melesat kembali ke dalam kegelapan, meninggalkan Tuan Baek yang meratap di tengah lautan sutra ungu yang hancur.
Kembali di gudang, napas mereka masih terengah-engah. Bau pewarna yang tajam menempel di pakaian mereka.
“Kita berhasil,” bisik Mae-ri, matanya berbinar tak percaya.
Sora menyeringai lebar. “Matriarch Kang akan mengamuk besok pagi. Ini lebih baik dari emas.”
Kemenangan itu terasa manis, tetapi singkat.
Saat Hwa-young hendak memberi perintah untuk menghancurkan semua bukti, suara langkah kaki terdengar di luar. Bukan langkah tergesa-gesa patroli, melainkan langkah yang tenang, mantap, dan berwibawa. Langkah kaki yang sangat ia kenal.
Semua orang di dalam membeku. Sora dan anak buahnya langsung mencabut senjata.
Langkah kaki itu berhenti tepat di depan pintu utama.
Lalu, sebuah ketukan terdengar. Tiga kali. Pelan dan penuh otoritas.
“Aku tahu kau di dalam, Hwa-young,” sebuah suara dingin dan tajam membelah keheningan malam.
Darah serasa surut dari wajah Hwa-young. Adrenalin kini terasa berhenti berdetak karena syok. Itu suara Yi Seon. Tapi bagaimana? Seharusnya ia berada ratusan mil jauhnya, mengejar petunjuk palsu yang ia tanamkan.
“Buka pintunya,” lanjut suara itu, kali ini lebih tajam. “Atau Jenderal Kim akan membukanya untukmu. Aku yakin kau tidak ingin ‘markas arang’ barumu ini hancur sebelum sempat digunakan.”
Dia tahu. Entah bagaimana, dia tahu segalanya. Jebakan di dalam jebakan. Selama ini Hwa-young mengira ia adalah pemainnya, padahal ia hanyalah bidak di papan catur yang lebih besar.
“Sembunyikan guci-guci itu,” desis Hwa-young pada Sora, bergetar. “Mae-ri, buka pintu.”
Dengan tangan gemetar, Mae-ri menarik palang kayu yang berat. Pintu besar itu berderit terbuka, menampakkan Pangeran Mahkota Yi Seon yang berdiri di ambang pintu. Ia tidak mengenakan jubah kebesarannya, hanya pakaian gelap yang praktis, membuatnya tampak lebih mengancam. Di belakangnya, Jenderal Kim berdiri kaku seperti batu.
Mata Yi Seon menyapu seisi gudang, pada Sora dan anak buahnya yang tegang, pada Mae-ri yang ketakutan, dan terakhir berhenti pada Hwa-young, yang masih mengenakan pakaian hitam kotor dengan noda ungu samar di tangannya.
Yi Seon melangkah masuk, gerakannya tenang tapi mematikan. Ia mengangkat sebelah tangannya, untaian manik-manik giok hijau itu tergantung di antara jemarinya, berkilau dingin.
“Kuil Sembilan Lonceng ternyata hanya berisi abu dan debu tua,” katanya, rendah dan berbahaya. “Sebuah pengalihan yang cerdas. Tapi kau meremehkanku, Putri Mahkota. Aku tidak pernah mengirim seluruh pasukanku untuk mengejar hantu.”
Ia melemparkan sesuatu ke lantai di depan kaki Hwa-young. Benda itu mendarat dengan suara basah.
Itu adalah secarik kain sutra. Basah dan ternoda oleh warna ungu yang sama persis dengan yang ada di tangan Hwa-young.
“Anak buahku lebih cepat dari yang kau kira,” lanjut Yi Seon, matanya menusuk Hwa-young. “Mereka tiba di kanal tepat setelah kau pergi. Sekarang, jelaskan padaku. Apa yang sedang kau, istriku tercinta, lakukan di gudang kumuh ini pada malam pengiriman sutra Matriarch Kang?”
Hwa-young menelan ludah, otaknya berputar mencari jalan keluar. Kebohongan tidak akan berhasil. Penyangkalan adalah bunuh diri. Hanya ada satu jalan.
Ia mendongak, menatap mata suaminya tanpa gentar.
“Kau bertanya apa yang aku lakukan, Yang Mulia?” terdengar jelas, memotong ketegangan. “Aku sedang melakukan apa yang seharusnya kau lakukan sejak lama.”
Yi Seon mengangkat alis, menunggu.
“Aku sedang menghancurkan Keluarga Kang,” lanjut Hwa-young. “Satu per satu. Dan aku baru saja memulai.”
Keheningan total menyelimuti gudang. Jenderal Kim menegang, tangannya bergerak ke gagang pedangnya. Sora dan anak buahnya menahan napas, siap bertarung sampai mati.
Yi Seon menatap Hwa-young lama, ekspresinya tak terbaca. Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Ujung bibirnya sedikit terangkat, membentuk senyum tipis yang dingin dan penuh perhitungan.
“Begitu,” bisiknya. “Kalau begitu, sepertinya kita punya tujuan yang sama.” Ia melirik ke arah Jenderal Kim. “Tutup pintunya. Kita perlu bicara. Secara pribadi.”