Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.
Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.
Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.
Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 - Hari Pengumuman Hasil Audisi
Tyler
Aku benci hari seperti ini. Hari pengumuman hasil audisi, hari ketika wajah asli orang-orang akhirnya terlihat. Kekecewaan berubah jadi bisik-bisik, lalu jadi tuduhan. Aku sudah sering menyaksikannya dulu, ketika masih jadi asisten Hunt. Tapi kali ini berbeda. Sekarang aku berdiri di garis depan. Dan di sampingku ada Vee.
Aku tahu yang paling ingin kulindungi hari ini bukanlah proyeknya, tapi dia.
Kampus Ashenwood masih setengah sepi karena libur semester belum berakhir. Yang tersisa di sini hanya mereka yang benar-benar ambisius, para calon aktor, kru, dan pembuat film muda yang menganggap proyek Hunt sebagai batu loncatan terbesar dalam hidup mereka. Mereka sudah menunggu di lorong, berkerumun, dengan wajah tegang penuh harap. Dan di tengah bisik-bisik itu, aku mendengarnya.
“Jelas aja Liam Carter yang kepilih. Sahabatnya Sinclair sendiri.”
“Aneh kan? Mahasiswa pindahan langsung dikasih posisi sutradara? Sendirian lagi, langsung di bawah Professor Hill.”
“Pasti ada sesuatu di antara mereka.”
“Katanya Professor Hunt makin parah sakitnya. Mungkin ini proyek terakhirnya… ya jelas aja orang-orang mulai rebutan posisi.”
Setiap kalimat menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya. Biasanya aku bisa menahan diri. Dulu aku bisa berpura-pura tidak mendengar. Tapi sekarang—sejak Vee—hal-hal seperti itu terasa personal.
Aku mempercepat langkah, membuka pintu ruanganku dan menutupnya dengan terlalu keras. Suara hantamannya memantul di dinding, menggema lebih lama dari seharusnya. Aku menatap bayanganku di kaca jendela. Napasku berat, jantungku berdegup cepat. Selama ini aku terbiasa jadi sasaran gosip: “anak emas Hunt”, “dosen muda arogan”, “asisten yang cuma menunggangi nama besar gurunya.”
Tapi Vee?
Dia tidak pantas mendapatkannya. Dia bekerja keras untuk sampai di sini. Dia menyiapkan audisi itu berhari-hari, mempelajari tiap ekspresi dan gerakan, merekam, menilai, mengedit, semuanya sendiri. Thomas percaya padanya bukan karena siapa dia, tapi karena kemampuannya.
Dan aku… belum memberitahunya bahwa kondisi Thomas semakin memburuk. Bahwa setiap kali aku melihatnya, tubuhnya makin rapuh, napasnya makin pendek. Aku tidak ingin Vee terbebani oleh itu. Tidak sekarang.
Tidak ketika dunia sudah mulai berbisik di belakangnya. Tidak ketika setiap langkahnya mulai diawasi oleh mata-mata yang menunggu kesalahannya.
Aku bersandar di meja, menatap pintu tertutup. Entah kenapa, firasatku buruk hari ini. Bisik-bisik itu baru permulaan. Dan aku tahu, cepat atau lambat, sesuatu—atau seseorang—akan mencoba menjatuhkannya.
\~\~\~
Vee
Perpustakaan selalu jadi tempat paling aman di kampus ini. Setidaknya hari ini. Aku duduk di sudut dekat jendela, menatap layar laptop yang menampilkan naskah film, membaginya ke dalam tiga babak, menandai adegan yang perlu diperkuat. Tapi pikiranku tidak sepenuhnya di sana. Setiap kali pintu perpustakaan terbuka, aku refleks menunduk, takut melihat tatapan orang-orang yang mungkin sedang membicarakanku.
Sejak pengumuman hasil audisi kemarin, suasana kampus berubah. Bukan semua orang marah karena gagal, tapi mereka butuh seseorang untuk disalahkan. Dan yang paling mudah, tentu saja, aku.
Notifikasi masuk di ponselku. Pesan dari Derek Vaughn.
Terima kasih sudah melibatkanku, Vee. Aku sadar aku belum sebagus yang lain, tapi aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Aku tersenyum kecil. Derek masih sama seperti dulu, percaya diri, tapi kali ini ada ketulusan yang berbeda. Setidaknya ada satu orang yang tidak ikut menjadi bagian dari kebisingan di luar sana.
Liam menanyakan keberadaanku beberapa menit lalu, dan sekarang aku bisa mendengar langkahnya dari jauh—cepat tapi ringan. “Terima kasih sudah percaya padaku,” katanya sambil duduk di sebelahku.
Aku menatapnya. Ia tersenyum kecil, tapi ada bayangan ragu di matanya. “Kamu yang terbaik kemarin, Liam. Tapi jangan puas dulu,” ujarku, mencoba menyalakan semangat yang biasa ku gunakan pada diriku sendiri. “Karakter Vincent itu kompleks. Kamu baru menyentuh permukaannya kemarin. Aku ingin kamu gali lebih dalam lagi sebelum first rehearsal.”
Ia mengangguk, lalu terdiam sejenak sebelum bertanya pelan, “Vee… kamu nggak meloloskanku karena kita teman, kan?”
Aku berhenti mengetik. Kalimat itu tidak seharusnya menyakitkan, tapi entah kenapa rasanya seperti tusukan halus di dada. Aku tahu dari mana asalnya, gosip itu. Menyebar seperti api, membakar sebelum siapa pun sempat memadamkannya.
“Jangan dengarkan mereka,” kataku akhirnya. “Kalau mereka benar-benar memperhatikan audisi kemarin, mereka bakal tahu kamu yang terbaik. Yakin saja sama dirimu sendiri.”
Ia menatapku lama, lalu mengangguk pelan. “Baiklah. Aku akan buktikan di rehearsal nanti.”
Setelah ia pergi, perpustakaan kembali sunyi. Aku menatap layar laptop yang kini sudah berubah dari naskah ke jendela pesan. Aku tersenyum kecil, melihat pesan dari Tyler.
Hey, cantik. Tenangkan pikiranmu. Kita hadapi para monster ini bersama. Makan malam di Laura’s kitchen kalau kamu tidak sibuk?
Aku membaca kalimat itu berulang kali. Dan entah kenapa, kalimat sederhana itu terasa seperti jangkar kecil di tengah laut yang bergelombang. Ya, mungkin dunia mulai berbisik di belakangku. Tapi setidaknya… aku tidak sendirian lagi kali ini.
\~\~\~
Malam itu, Eddie menelepon seperti biasa. Suaranya penuh semangat, seperti biasa juga, menceritakan soal klub debatnya, soal betapa serunya lomba nasional bulan lalu. Ia baru saja menjuarai peringkat tiga tingkat nasional, dan aku tidak bisa menahan senyum mendengarnya. Adikku yang dulu selalu takut bicara di depan orang, kini menantang ruangan penuh juri dan penonton. Aku bangga padanya.
“Aku nggak peduli kalau filmnya nanti nggak tayang di Cali,” katanya cepat, seperti takut aku memotong. “Aku akan ke Ashenwood buat nonton sendiri. Jadi kamu harus kasih tahu aku kapan selesainya, oke?”
Aku tertawa pelan. “Iya, adikku yang pintar. Tapi kalau kamu mau datang ke sini lagi, kasih tahu dulu ya. Aku perlu persiapan biar kamu nggak datang tiba-tiba kayak terakhir kali.”
Hening sejenak di seberang sana, lalu suaranya berubah hati-hati. “Nggak sendirian kok… Maria bilang mau nganter aku.”
Aku berhenti seketika. “Siapa Maria? Pacarmu?” tanyaku, meski di dalam hati aku tidak yakin sanggup mendengar jawabannya.
“Pacarnya Ayah,” jawabnya lirih.
Rasanya seperti ada sesuatu yang jatuh pelan di dalam dadaku. Eddie cepat menambahkan, seolah tahu aku sedang menahan napas. “Maria nggak buruk kok, Vee. Kamu tahu aku juga susah nerimanya di awal, tapi dia sabar banget. Dia datang waktu lomba debat, bantu aku latihan juga. Aku cuma… pikir mungkin sudah waktunya kamu juga kenal dia.”
Suara Eddie lembut, tapi setiap katanya seperti menekan luka lama yang belum sembuh. Aku menatap langit-langit kamar, mencoba menahan emosi yang muncul tiba-tiba.
“Eddie,” suaraku pelan, tapi tegas. “Aku nggak mau ngomongin orang itu ya. Kalau kamu udah selesai, aku capek. Mau istirahat.”
Hening lagi beberapa detik. Lalu suaranya berubah lembut, seperti biasa. “Baiklah. Jaga dirimu, Vee. Love you.”
Telepon terputus, dan aku hanya menatap layar lama, lampu ponsel meredup bersama pikiranku yang sesak.
Eddie sejak kecil tidak pernah punya sosok ibu. Yang paling dekat dengan sosok itu adalah aku, kakak perempuan yang terlalu cepat belajar menggantikan peran yang bukan miliknya. Sejak aku pergi enam bulan lalu, ia hanya punya teman-temannya, dan mungkin itu sebabnya ia bisa menerima kehadiran Maria dengan mudah. Ia butuh seseorang di sana. Dan aku tidak bisa menyalahkannya untuk itu.
Tapi aku tidak bisa sebaik itu. Aku belum siap. Aku masih membenci cara Ayah mencoba mengganti bagian hidupku yang ia rusak seolah bisa disambung dengan wajah baru setiap kali.
Dan saat Eddie bilang “Mungkin sudah waktunya,” yang bisa ku pikirkan hanyalah—mungkin memang waktunya untukmu, Ed. Tapi untukku? Belum. Aku belum bisa.
\~\~\~