Hana, gadis sederhana anak seorang pembantu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Pulang dari pesantren, ia hanya berniat membantu ibunya bekerja di rumah keluarga Malik, keluarga paling terpandang dan terkaya di kota itu. Namun takdir membawanya pada pertemuan dengan Hansel Malik, pewaris tunggal yang dikenal dingin dan tak tersentuh.
Pernikahan Hansel dengan Laudya, seorang artis papan atas, telah berjalan lima tahun tanpa kehadiran seorang anak. Desakan keluarga untuk memiliki pewaris semakin keras, hingga muncul satu keputusan mengejutkan mencari wanita lain yang bersedia mengandung anak Hansel.
Hana yang polos, suci, dan jauh dari hiruk pikuk dunia glamor, tiba-tiba terjerat dalam rencana besar keluarga itu. Antara cinta, pengorbanan, dan status sosial yang membedakan, Hana harus memilih, menolak dan mengecewakan ibunya, atau menerima pernikahan paksa dengan pria yang hatinya masih terikat pada wanita lain.
Yuk, simak kisahnya di sini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Waktu yang berlalu tak bisa dikembalikan
Rayyan pulang dengan langkah berat, meninggalkan rumah besar itu dengan hati yang kembali tercabik. Suara pintu utama tertutup menimbulkan keheningan yang mencekam.
Hana menunduk, bahunya bergetar. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan, perasaan bersalahnya menumpuk hingga membuat dadanya sesak.
“Aku jahat, Mas … aku menyakitinya. Aku benar-benar jahat,” ucap Hana di sela tangisnya, tangannya menutupi wajah.
Hansel langsung meraih bahu Hana, menariknya ke dalam pelukan. “Ssshh … sudah, jangan menangis lagi. Semuanya akan berlalu, Hana. Percayalah, aku di sini ... aku yang akan menanggung semuanya bersamamu.”
Hana mengguncang kepalanya, air matanya semakin deras. “Tapi Tuan Rayyan … aku tidak ingin membuat dia hancur begini ... semua orang terluka karena aku.”
Hansel mengusap punggung Hana dengan lembut.
“Tidak, Hana. Kamu tidak salah. Ini jalan yang sudah kita pilih … dan aku janji, aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu, termasuk dirimu sendiri. Kita akan lewati semua ini, bersama.”
Tangis Hana perlahan mereda di pelukan Hansel, meski hatinya masih gelisah. Ia tak tahu apakah benar semua ini akan berlalu, atau justru akan menjadi badai yang lebih besar.
Sementara itu, jauh di Tiongkok, Laudya melangkah keluar dari ruang praktek seorang dokter obgyn ternama. Di tangannya ada amplop putih berisi hasil pemeriksaan. Langkahnya pelan, wajahnya pucat.
Di sampingnya, Rian sang manajer berjalan dengan wajah cemas. Saat mereka berhenti di lorong sepi, Laudya membuka amplop itu sekali lagi, matanya membaca kembali hasilnya perlahan. Seketika napasnya tercekat, wajah cantiknya gemetar, lalu air mata menetes tanpa bisa dibendung.
“Rian…” suaranya bergetar, nyaris tak terdengar. Rian yang sejak tadi menahan diri, langsung meraih pundak Laudya.
“Sstt … tenang. Kamu tidak sendiri, Laudya. Apa pun itu, aku di sini.”
Laudya terisak di pelukan Rian, tubuhnya goyah. Hasil itu mengguncang seluruh dunianya, membuatnya merasa semakin kehilangan arah. Rian mengusap punggungnya, mencoba menenangkan. Tapi di balik sorot matanya sendiri, ada kekhawatiran mendalam yang tak bisa ia sembunyikan. Dan di lorong rumah sakit asing itu, tangis Laudya pecah tanpa suara, menyisakan pertanyaan besar tentang apa yang sebenarnya ia sembunyikan dari semua orang selama ini.
Dua bulan kemudian.
Waktu berjalan cepat. Dua bulan berlalu sejak kepergian Laudya ke Tiongkok. Kini, usia kehamilan Hana sudah memasuki bulan kesembilan. Perutnya semakin membesar, tubuhnya lebih cepat lelah, dan langkahnya pun kini perlahan. Semua orang di rumah besar itu mulai bersiap, karena sewaktu-waktu bayi itu bisa lahir.
Namun, ada satu hal yang terus membayangi, Laudya belum kembali. Seharusnya ia pulang sebulan lalu, sesuai jadwal kontrak project besar di Tiongkok. Hansel sudah berulang kali menghubunginya, tapi jawaban Laudya selalu sama, "Aku sibuk, aku baik-baik saja di sini.”
Hansel menahan kecewa, tapi mencoba mengerti. Ia berpikir mungkin istrinya sedang butuh waktu untuk menenangkan diri. Hanya saja, semakin lama Laudya tak pulang, semakin besar rasa bersalah dan resah dalam hati Hansel.
Pagi itu, matahari baru saja naik ketika ponsel Hansel bergetar di meja kerjanya. Nama Laudya muncul di layar. Seketika dadanya berdegup kencang, jemarinya cepat menekan tombol hijau.
“Sayang?” suara Hansel terdengar ragu tapi penuh harap. Di ujung sana terdengar helaan napas berat sebelum suara Laudya menjawab pelan, [Aku sudah kembali.]
Hansel terperanjat. “Kamu … kamu sudah di sini?”
[Aku di bandara ... jemput aku, Hansel.]
Seketika wajah Hansel berbinar. “Ya, tentu! Aku akan segera ke sana. Aku sangat merindukanmu, Laudya. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu … terutama soal Hana. Usia kandungannya sudah sembilan bulan ... sebentar lagi … kita akan punya bayi, Laudya, itu bayi kita.”
Ada jeda panjang di ujung telepon. Laudya tidak langsung menjawab. Hansel mengernyit, merasakan sesuatu yang aneh dari keheningan itu. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, suara Laudya terdengar lagi, datar namun cukup tegas.
[Aku tunggu di pintu kedatangan internasional.]
Lalu sambungan itu terputus begitu saja. Hansel menatap layar ponselnya, perasaan senang bercampur dengan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Ia mencoba menepis kegelisahan itu, lalu segera bangkit, mengambil jaket, dan bersiap menuju bandara.
Sementara itu, di ruang tengah, Hana duduk di sofa sambil mengelus perutnya. Ia baru saja selesai sarapan dengan Jamilah. Melihat Hansel tergesa mengambil kunci mobil, Hana bertanya, “Mau ke mana, Mas?”
Hansel mendekat, menatap Hana dengan raut wajah yang sulit ditebak. “Laudya … dia sudah kembali. Aku akan pergi menjemputnya lebih dulu,"
Dada Hana terasa sesak seketika, tapi ia berusaha tersenyum. “Oh … begitu. Ya sudah, hati-hati, Mas.”
Hansel menunduk, lalu menempelkan telapak tangannya di perut Hana. Bayinya menendang pelan seolah merespons. Hansel tersenyum tipis. “Jaga bayi ini baik-baik, Hana. Aku akan pulang bersama Laudya.”
Hana hanya mengangguk. Namun, begitu Hansel berbalik dan melangkah keluar, senyum tipis itu runtuh, berganti dengan tatapan kosong. Ada rasa asing menusuk hatinya campuran cemas, takut, dan perih. Tangannya refleks menggenggam kain baju di atas perutnya yang menegang.
'Bagaimana nanti nasibku … dan bayiku … setelah Nyonya Laudya kembali?' bisiknya lirih dalam hati.
Sementara itu, Hansel sudah melajukan mobilnya ke arah bandara. Di dalam hatinya berkecamuk berbagai rencana. Ia ingin meminta maaf, ingin memperbaiki hubungan dengan Laudya, ingin menyatukan kembali keluarganya. Tetapi ia juga tak bisa memungkiri cinta yang tumbuh pada Hana sudah semakin dalam. Dan ia tahu, saat pertemuan itu nanti, hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
'Laudya, aku mencintaimu dulu, sekarang dan selamanya. Kau tahu ... kepergianmu membuatku terluka,'
udah lah Ray kalo gua jadi lu gaya bawa minggat ke Cairo tuh si Hana sama bayinya juga, di rawat di rumah sakit sana, kalo udah begini apa Laudya masih egois mau pisahin anak sama ibu nya
Rayyan be like : kalian adalah manusia yg egois, kalian hanya memikirkan untuk mengambil bayi itu tanpa memikirkan apa yg Hana ingin kan, dan anda ibu jamilah di sini siapa yg anak ibu sebenarnya, Hana atau Laudya sampi ibu tega menggadaikan kebahagiaan anak ibu sendiri, jika ibu ingin membalas budi apakah tidak cukup dengan ibu mengabdikan diri di keluarga besar malik, kalian ingin bayi itu kan Hansel Laudya, ambil bayi itu tapi aku pastikan hidup kalian tidak akan di hampiri bahagia, hanya ada penyesalan dan kesedihan dalam hidup kalian berdua, aku pastikan setelah Hana sadar dari koma, aku akan membawa nya pergi dari negara ini, aku akan memberikan dia banyak anak suatu hari nanti
gubrakk Hansel langsung kebakaran jenggot sama kumis 🤣🤣🤣
biar kapok juga Jamilah
Pisahkan Hana dari keluarga Malik..,, biarkan Hana membuka lembaran baru hidup bahagia dan damai Tampa melihat orang" munafik di sekitarnya
Ayo bang Rey bantu Hana bawa Hana pergi yg jauh biar Hansel mikir pakai otaknya yang Segede kacang ijo itu 😩😤😏