Seorang wanita miskin bernama Kirana secara tidak sengaja mengandung anak dari Tuan Muda Alvaro, pria tampan, dingin, dan pewaris keluarga konglomerat yang kejam dan sudah memiliki tunangan.
Peristiwa itu terjadi saat Kirana dipaksa menggantikan posisi anak majikannya dalam sebuah pesta elite yang berujung tragedi. Kirana pun dibuang, dihina, dan dianggap wanita murahan.
Namun, takdir berkata lain. Saat Alvaro mengetahui Kirana mengandung anaknya. Keduanya pun menikah di atas kertas surat perjanjian.
Apa yang akan terjadi kepada Kirana selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafizqi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Kesempatan
Malam itu udara terasa berat. Kirana duduk di ranjang sederhana, menggoyangkan pelan tubuh Arya yang terlelap. Sementara, Bram berdiri di dekatnya, mencoba meyakinkan dengan suaranya yang lembut.
“Kau tidak perlu kembali, Kirana. Aku tahu hatimu hancur karena Alvaro. Biarkan aku yang menjagamu dan anak ini. Aku janji, tidak akan ada lagi air mata,” ujarnya dengan tatapan tulus. Berusaha membujuk Kirana untuk ikut dengannya.
Kirana menunduk, menggenggam erat tangan mungil Arya. Hatinya bergetar, tetapi ragu menguasai dirinya.
Tiba-tiba—
Suara deru mobil berhenti tepat di depan rumah. Lampu sorot menembus kaca jendela, membuat ketiganya menoleh serentak. Bram menegang, wajahnya seketika berubah muram.
“Kirana… dia datang.” Ucap Bram mendesak.
Pintu rumah diketuk keras. Suara berat Alvaro terdengar menembus keheningan.
“Kirana! Aku tahu kau di dalam! Bukakan pintunya, jangan buat aku gila mencari terus!”
Kirana menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya gemetar. Bram menatapnya dengan tegas.
“Jangan keluar. Biarkan dia pergi. Kau tidak perlu lagi tunduk padanya.”
Namun perlahan, Kirana berdiri. Ia masih menggendong Arya, berjalan menuju pintu dengan langkah ragu. Bram menahan lengannya.
“Kirana, jangan! Dia hanya akan menyakitimu lagi!”
Tapi Kirana melepaskan pelan, air matanya jatuh. “Aku harus mendengarnya, Bram… sekali ini saja.”
Bram terlihat melepaskan dengan hati berat.
Pintu terbuka.
Alvaro berdiri di ambang, wajahnya penuh debu dan keringat, matanya merah seakan tidak tidur berhari-hari. Tatapannya langsung jatuh pada Kirana dan Arya. Seketika suaranya melembut, pecah penuh luka.
“Kau boleh benci padaku… tapi jangan hukum aku dengan meninggalkan rumah bersama anak kita. Aku tidak bisa hidup tanpa kalian, Kirana. Tidak lagi.”
Kirana menahan nafas. Hatinya bergetar hebat.
Bram maju, berdiri di antara mereka. “Cukup, Alvaro! Kau sudah menyiksa dia terlalu lama. Kau tidak pantas mendapatkannya!”
Alvaro menatap Bram dengan sorot tajam, tapi suaranya tetap diarahkan ke Kirana.
“Aku tidak meminta maaf dengan kata-kata, Kirana. Biarkan aku buktikan dengan perbuatan. Pulanglah bersamaku… untuk Arya, untuk kita.”
"Aku tidak bisa tinggal jika masih ada wanita lain di dalam hatimu, Alvaro" ungkap Kirana.
"Aa-aku tidak memiliki wanita manapun, Kirana"
"Tidak Alvaro. Aku mendengar sendiri nama wanita itu di dalam mimpimu. Kau mengigau karenanya. Bahkan kau langsung marah besar saat aku bertanya tentang nya"
"Maksudmu,......Elena?" tanya Alvaro, menebak keraguan di hati Kirana.
"Apa? Elena?" Bram ikut terkejut saat Alvaro menyebut nama itu.
"Aku akan menjelaskan semuanya kepada mu, siapa Elena itu. Tapi..... pulanglah bersamaku. Aku tidak bisa hidup jika kalian tidak bersamaku"
"Aku berjanji akan menjelaskan semuanya kepadamu... tapi tolong berikan aku kesempatan. Kesempatan untuk menjadi ayah untuk anak kita"
Kirana meneteskan air mata. Kata-kata itu mengguncang pertahanannya. Ia menunduk, lalu menatap bayi mungil di pelukannya. Saat ia kembali menoleh pada Alvaro, hatinya sudah luluh.
“Alvaro…” bisiknya pelan
“aku tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku ingin Arya punya ayah.”
Bram terhenyak.
“Kirana… tidak… kau tak boleh kembali padanya!” serunya dengan suara bergetar agak memohon.
Namun Kirana melangkah perlahan melewati Bram, mendekat ke Alvaro.
"Maafkan Aku, Bram" ucap Kirana.
Alvaro segera meraih bahu Kirana dengan lembut, matanya berkaca-kaca.
Bram berdiri kaku, dadanya sesak. Ia menutup mata, mencoba menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Untuk pertama kalinya, ia merasa kalah total.
Alvaro menunduk pada Kirana, suaranya bergetar penuh janji.
“Kau tak akan menyesal lagi. Aku janji… aku tidak akan biarkan kau pergi untuk kedua kalinya.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, mobil hitam Alvaro berhenti di depan gerbang besar rumah keluarga Wilantara. Lampu-lampu halaman menyala terang, dan beberapa pelayan bergegas menghampiri. Kirana turun dengan hati yang masih ragu, menggendong Arya erat di pelukannya. Alvaro berjalan di sampingnya, seolah tak ingin membiarkan jarak sekecil apa pun terbentuk.
Namun, sebelum mereka sempat masuk, sebuah suara tajam menggema dari pintu utama.
“Kirana?!”
Clarissa berdiri di ambang pintu dengan gaun mewah yang masih melekat di tubuhnya, seolah ia baru saja pulang dari pesta. Matanya membelalak melihat pemandangan itu—Alvaro pulang bersama Kirana dan bayi di pelukannya.
“Kau berani kembali ke sini?!” seru Clarissa, langkahnya cepat mendekat. Sorot matanya penuh amarah dan kebencian.
Kirana menunduk, mencoba menenangkan bayi di pelukannya yang mulai merengek karena teriakan itu.
Alvaro segera berdiri di depan, melindungi Kirana dengan tubuhnya. Tatapannya dingin menusuk Clarissa.
“Cukup, Clarissa. Kau tidak punya hak untuk melarang siapa pun masuk ke rumah ini. Terutama Kirana.”
Clarissa tertawa sinis, matanya berair karena emosi.
“Hak? Aku tunanganmu, Alvaro! Semua orang tahu itu! Dan kau… kau malah membawa pulang dia lagi bersama anak itu?!”
Alvaro semakin keras rahangnya, jelas menahan amarah, "Jangan lupa siapa kamu bagiku, Clarissa"
Clarissa terhenyak, Kata-kata itu jelas menjelaskan siapa dia bagi Alvaro. Hatinya menas, mata memerah dan jelas ada kemarahan yang membara disana.
Alvaro pergi membawa Kirana dan anaknya masuk. Sementara, Clarissa masih berdiri dengan tatapan tajam penuh amarah yang mengiringi kepergian mereka.
"Tidak akan aku biarkan kamu berlama-lama di rumah ini, Kirana. Karena akulah pemiliknya"
.
.
.
Bersambung.