pernikahan yang terjadi karena kebaikan seorang laki-laki yang ingin menyelamatkan teman perempuannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kholifah NH2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jamu...Jamu
"Adrian? Mau kemana?." Airin berhasil menahan tangan Adrian, laki-laki itu terlihat menghampiri semua anggota keluarga yang sedang berkumpul diruang tengah. Ia takut Adrian akan kembali menghampiri Tommy.
"Nah, itu mereka..." Henry membuka suara saat Airin dan Adrian tiba, "Sebaiknya kita pulang, ya. Sudah malam, Oma juga mau istirahat."
"Huh, bagus lah langsung pulang. Adrian sama Tommy nggak bakal berantem lagi, kan?." Batin Airin sambil bernafas lega
"Hey, tunggu dulu sebentar." Nilam terlihat bangun dari duduknya dan mengambil sesuatu dari dalam kamarnya,
"Nak, ini ada jamu untuk kamu." Nilam memberikan sebuah tas berisi tiga botol kaca kepada Airin,
"Ini, jamu apa Oma?."
"Jamu penyubur kandungan. Ya, supaya rahim kamu semakin subur dan bisa cepat punya anak."
Tidak ada yang bisa Airin katakan selain melempar pandangan pada Adrian yang terlihat menahan tawa, "Kok dia malah ketawa sih?."
"Oma kasih ini buat Airin?."
"Iya. Kalian kan pengantin baru, memangnya kamu dan Adrian nggak mau cepat-cepat punya anak?."
"Hmm, tapi Oma-"
"Sudah, terima aja." Henry angkat bicara sambil tersenyum
"Tuh, dengar kan. Sepertinya Papa kamu juga ingin segera punya cucu..."
"Begitu pun Oma yang ingin segera gendong cicit Oma dari kamu dan Adrian."
"Ah, iya iya. Ya udah Oma, ini Airin terima." Airin bingung harus bereaksi seperti apa. Tidak mungkin juga ia menolak niat baik dari Nilam ditambah didepan semua anggota keluarga.
"Oma tunggu kabar baiknya segera, ya."
Setelah berpamitan, Airin dan Adrian melangkah menuju mobil, "Lo dengar kan tadi Oma minta apa? Minta cicit."
"Ya, ya terus?." Airin merasa gugup, sudah ia duga Adrian akan membahas soal itu.
"Kuy, kita bikin."
"Hey?!."
"Kenapa?."
"Aku nggak mau, takut."
"Takut? Lo bikinnya sama gue, manusia. Bukan setan, ngapain takut."
"Ih, kamu nggak ngerti."
"Airin?." Panggilan Tommy membuat Airin dan Adrian kompak berbalik kearahnya. Adrian langsung melayangkan tatapan sengit.
"Iya, Tom? Kenapa?."
"Ini, handphone kamu ketinggalan." Tommy mengulurkan tangannya yang memegang ponsel berwarna merah muda milik Airin. Gadis itu pun menyambutnya dengan senyum sumringah,
"Aku lupa. Makasih ya, Tom."
"Hm....aku duluan ya, hati-hati dijalan, Rin."
"Iya, kamu juga."
Adrian tidak suka dengan interaksi kecil antara Airin dan Tommy, ia merasa Tommy belum sepenuhnya melupakan Airin. Mengingat ucapan Tommy saat di dapur tadi, sepupunya itu mengatakan bahwa ia masih mencintai istrinya itu. Harus kah sekarang ia hati-hati dengan kehadiran Tommy?
"Adrian? Ayo pulang. Kenapa bengong?." Adrian tidak menjawab, ia langsung masuk kedalam mobil,
"Eh, dia kenapa? Habis bengong langsung diam begitu? Apa kesambet?."
"Hih, seram." Airin bergidik ngeri setelah mengedarkan pandangannya, suasana gelap pada malam itu memang cukup menyeramkan. Airin pun bergegas menyusul Adrian kedalam mobil.
Setelah melalui perjalanan yang cukup panjang dan kemacetan yang membuat mereka semakin lelah, akhirnya mereka tiba dirumah. Airin sempatkan untuk ke dapur sementara Adrian langsung ke kamar.
Didapur, Airin bertemu Inez yang sedang mengambil minuman dingin. Tentu kehadiran Airin disana membuat Inez menatap sinis padanya,
"Itu jamu dari Oma kamu terima?." Inez bertanya sambil melirik tas berisi jamu yang Airin letakkan diatas meja
"Iya, Tante. Airin nggak mungkin nolak, takut Oma sedih."
"Hm, terus kamu mau minum jamu itu?."
"Ya, bukannya harus diminum kan, Tante?."
"Iya, kamu benar. Tapi maksud saya..."
PRANG,
Inez menjatuhkan tas tersebut hingga ketiga botolnya pecah. Kini jamu itu sudah berantakan dilantai bersamaan dengan pecahan kaca.
"Ups, nggak sengaja." Inez tersenyum miring, ia sangat puas dengan tindakannya.
"Harusnya kamu sadar diri, bukan malah mimpi mengandung anak Adrian..."
"Karena selain Oma, nggak ada yang berharap kamu hamil. Jadi buang jauh-jauh mimpi kamu itu..."
"Jadi, ngaca dan sadar diri itu lebih penting."
Inez melenggang pergi dengan angkuh. Sementara Airin, gadis itu terlihat menghela nafas panjang, ia usap air matanya yang hampir tumpah. Sungguh menyakitkan untuknya mendengar ucapan Inez.
"Non? Non Airin?." Mbak Ana datang, ia merasa cemas melihat serpihan kaca yang berserakan disekitar kaki Airin.
"Non nggak apa-apa, kan? Non baik-baik aja?."
"Iya, Mbak. Saya nggak apa-apa."
"Sini, Non. Awas, hati-hati." Mbak Ana berbaik hati menuntun Airin berjalan menghindari pecahan-pecahan kaca tersebut
"Kenapa? Itu kok botol jamunya pecah?." Adrian bertanya saat ia tiba didapur, tatapannya seakan heran melihat dapur menjadi basah dan berantakan,
"Iya, tasnya jatuh dari meja..."
"Aku nggak sengaja, aku taruh tas nya terlalu pinggir."
"Tapi, Non? Tadi saya lihat Nyonya Inez yang sengaja menjatuhkan botol ini." Mbak Ana membuka suara dan Airin hanya bisa pasrah, padahal ia sedang berusaha menyembunyikan kejadian itu dari Adrian.
"Mama, Mbak?." Adrian memastikan lagi dengan bertanya pada Mbak Ana
"Iya, maaf Den. Saya cuma mengatakan apa yang saya lihat. Nyonya Inez sengaja melakukan itu..."
"Dan mengatakan hal buruk ke Non Airin."
"Mbak, udah." Airin memohon, ia lirik Adrian yang terlihat menahan amarahnya, "Adrian? Ayo kekamar."
"Mbak Ana, ini tolong dibersihin, ya."
"Iya, Non. Baik."
Airin memeluk lengan Adrian dan membawanya menaiki tangga, "Gue mau ngomong sama Mama dulu."
"Nggak usah, Adrian. Jangan..."
"Nggak apa-apa, kok. Mama kamu nggak sengaja."
"Nggak sengaja lo bilang? Bahkan tadi lo berusaha nutupin dari gue, kenapa sih, Rin?."
"Aku cuma nggak mau kamu marah ke Mama kamu."
"Terus apa gue nggak boleh marah ngeliat Mama perlakuin lo kayak gini?."
"Udah, udah. Jangan dibahas lagi, ya. Nggak apa-apa kok." Obrolan mereka terhenti sejenak, mereka pun tiba didalam kamar. Adrian langsung menutup dan mengunci pintunya.
"Sesekali lo harus ngelawan. Jangan diam aja."
"Kamu lagi ngajarin aku buat ngelawan orang tua? Nggak boleh."
"Ck, lo ini terlalu mendalami peran jadi anak yang baik, ya?..."
"Anak baik, penurut. Bahkan diminta buat nikah sama Om Benny lo nurut-nurut aja."
"Adrian? Kok jadi bahas Pak Benny?..."
"Eh, tunggu dulu deh, ngomong-ngomong soal Pak Benny, tadi Oma bilang Pak Benny lagi dirawat dirumah sakit?..."
"Emangnya Pak Benny kenapa? Dia sakit apa?."
Mendengar pertanyaan Airin, Adrian mendadak bungkam, ia sangat menyesal telah menyebut nama Benny. Kini apa yang harus ia katakan, mengingat sampai saat ini, Airin belum tahu kalau dirinya lah penyebab Benny dilarikan kerumah sakit, bahkan ia hampir membuat nyawa pamannya itu melayang.
"Adrian? Pak Benny sakit apa?."
"Ya, biasa, penyakit orang tua." Adrian pun asal menjawab,
"Penyakit orang tua? Maksudnya?."
"Ck, udah lah, ngapain bahas orang itu, sih?."
Adrian melenggang pergi, ia pun membuka seluruh pakaiannya dan hanya menyisakan celana pendek ditubuhnya,
"Kamu mau mandi?."
"Hm, mau ikut?."
"Gila!."
"HAHAHA."
Beberapa menit sudah berlalu, Airin sudah selesai membersihkan diri. Ia meninggalkan kamar mandi hanya menggunakan handuk sebatas paha, niatnya untuk kembali ke kamar mandi setelah mengambil baju ganti harus tertunda karena secara tiba-tiba Adrian memeluknya dari belakang,
Adrian menunduk, hidungnya menghirup dalam-dalam tengkuk Airin yang masih sedikit basah. Aroma tubuh Airin terasa lebih menyegarkan, itu jelas, karena mereka memakai jenis sabun yang berbeda. Airin terkekeh, suaminya itu terlihat manja. Ia tidak membiarkan Airin lepas dari pelukannya,
"Kangen." Adrian merajuk, hidungnya kembali menghirup tengkuk sang istri
"Kangen?."
"Hm."
"Aku pake baju dulu, ya."
"Enggak, nggak mau." Adrian semakin mengeratkan pelukannya,
"Adrian, sebentar aja."
"Ya udah, iya. Kasihan...kedinginan." Adrian mengalah, ia membiarkan Airin kembali ke kamar mandi dan ia pun menunggunya ditempat tidur.
Tidak perlu menunggu lama Airin sudah kembali, bertepatan dengan ponselnya yang berdering diatas meja belajar. Mata Airin memicing, sebuah nomor tidak dikenal menghubunginya, "Ini nomor siapa, ya?."
Merasa tidak mengenal nomor itu, Airin pun menolaknya. Tetapi belum sempat menaruh kembali ponselnya, nomor itu langsung menghubunginya lagi.
"Halo? Ini siapa?."
"Rin? Ini aku, Tommy."
"Eh, Tommy?."
"Ups." Airin menyadari sesuatu, Adrian sedang berada di dekatnya, bagaimana jika Adrian tahu dengan siapa ia berbicara? Beruntung suaminya itu juga sedang sibuk dengan ponselnya,
"Ada apa, Tom?." Airin sedikit berbisik,
"Hm, Rin, soal tadi dirumah Oma, aku minta maaf ya..."
"Aku nggak bermaksud menghina kamu, bikin kamu sakit hati..."
"Aku cuma marah, aku belum bisa terima keadaan. Kamu maafin aku kan, Rin?."
"Iya, aku udah maafin kamu, Tom. Aku ngerti-"
Grep, Airin terkejut setengah mati, Adrian telah merebut ponselnya. Belum sempat memberi penjelasan, Adrian langsung membungkam mulut Airin dengan bibirnya.
Tanpa memutus sambungan telfon, Adrian menciumi Airin dengan brutal. Sangat dalam, sampai Airin mengeluarkan "suaranya" disela-sela ciuman mereka. Dan dengan sengaja Adrian semakin mendekatkan ponselnya, ia yakin Tommy dapat mendengarnya dengan jelas.
"Adrian?." Suara Airin terdengar lirih, ciuman Adrian berpindah kebawah, menyapu permukaan leher Airin tanpa sisa. Suara Airin semakin menjadi, Adrian meninggalkan banyak jejak disana. Adrian tersenyum miring setelah Tommy memutuskan sambungan telfonnya tanpa izin. Ia merasa puas.
"Mampus."
...••••...
Haaayyyy aku kembali dengan bab baruuuu...tapi bersambung lagi ya wkwkk
Haduh haduh, gimana nih menurut kleennn?? Adrian sengaja bgt yakk bikin Tommy meledak wwkwkk #menyalaTommy
Seperti biasa yaa....klenn tau lah....aku gak perlu jelasin lagi huehehehewww
Lovyu sekebo guyzzzz❤️❤️❤️❤️