"Aku sudah lama tidak pernah merindukan siapapun. Karena aku tahu, rindu itu cukup berat bagiku. Tapi sekarang, aku sudah mulai merindukan seseorang lagi. Dan itu kamu..!"
Maarten tahu, hidupnya tak pernah diam. Dia bekerja di kapal, dan dunia selalu berubah setiap kali ia berlabuh. Dia takut mencintai, karena rindu tak bisa dia bawa ke tengah laut.
"Jangan khawatir, kupu-kupumu akan tetap terbang.
Meski angin membawa kami ke arah yang berbeda,
jejak namamu tetap tertulis di sayapnya"
Apakah pria dari Belgia itu akan kembali?
Atau pertemuan kami hanya sebatas perjalanan tanpa tujuan lebih?
(Kisah nyata)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Hasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BEAUTIFUL IN WHITE
Maarten meletakkan sumpitnya dengan tenang, lalu menatapku lembut.
“Aku datang ke restoran Jepang ini, tanpa tahu semua rasanya. Tapi aku suka mencoba. Mungkin tidak semua cocok di lidahku, tapi... ada kepuasan saat aku mencoba hal baru.”
Aku menatap wajahnya. Matanya begitu jujur, tidak sedang berusaha mengajakku untuk berubah, tapi seolah sedang memeluk segala keraguanku dengan pemahaman.
“Aku nggak mau kamu harus suka hanya karena aku suka. Kalau kamu nggak cocok dengan makanannya, kita cari makanan lain setelah ini. Mungkin makanan favoritmu. Aku ingin kamu tetap jadi dirimu, Kelly.”
Aku menunduk sebentar, tersenyum kecil.
“Jadi aku boleh bilang kalau aku kurang suka makanan ini?”
“Of course,” katanya sambil tertawa ringan. “Rasa itu milik masing-masing orang. Sama kayak hidup. Kita nggak harus suka hal yang sama, tapi kita bisa tetap duduk di meja yang sama, saling mengerti.”
Aku terdiam sejenak. Hatiku terasa hangat. Bukan karena makanannya, tapi karena caranya membuatku merasa diterima.
“Terima kasih, Maarten.”
Dia tersenyum dan menggenggam tanganku lembut di atas meja.
“Let’s walk after this. And if we find something you love, we’ll stop and eat again. As simple as that.”
Aku mengangguk. Karena dengan Maarten, semua terasa sesederhana itu, tidak ada tekanan, tidak ada paksaan. Hanya dua orang asing yang saling memberi ruang untuk menjadi diri sendiri.
Setelah selesai makan, Maarten berdiri lebih dulu, lalu berjalan ke kasir sambil membawa nota kecil di tangannya. Aku memperhatikan dari kejauhan, melihat gestur tubuhnya yang tenang namun penuh kehangatan. Ia berbicara sebentar dengan kasir, tersenyum, lalu menyelipkan sejumlah uang tambahan sebagai tips.
Kasir muda itu tampak kaget, lalu tersenyum begitu lebar.
“Terima kasih banyak, Mister...” katanya sambil membungkuk sedikit penuh hormat. “Terima kasih ya... semoga liburannya menyenangkan...”
Maarten hanya mengangguk kecil. “Kamu ramah, dan itu membuat malam kami lebih baik. Kamu layak mendapatkannya.”
Aku hanya bisa berdiri diam, hatiku sesak oleh rasa haru. Bukan karena jumlah tipnya, tapi karena sikapnya. Sikap yang tidak dibuat-buat. Ketulusan yang tidak butuh panggung. Dia bukan hanya pintar dan baik, tapi juga punya hati yang tahu bagaimana memperlakukan orang lain dengan hormat.
Saat ia kembali menghampiriku, aku tersenyum dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
“Kenapa kamu selalu begitu... hangat sama orang yang bahkan kamu baru temui?”
Maarten menatapku sejenak, lalu menjawab pelan,
“Karena dunia ini sudah cukup dingin, Kelly. Kalau aku bisa jadi sedikit kehangatan untuk orang lain... kenapa tidak?”
Dan saat itu juga, aku tahu, aku tidak sedang bersama lelaki biasa. Aku sedang berdiri di samping seseorang yang membuatku percaya, bahwa kebaikan itu nyata, dan cinta mungkin tidak selalu hadir dalam bentuk yang mewah, tapi dalam sikap-sikap kecil yang diam-diam menyentuh jiwa.
Kami berjalan menyusuri koridor mall, lampu-lampu terang bersinar di lantai, sementara suara pengunjung mulai mereda seiring malam yang semakin larut.
“Sekarang giliran kamu yang pilih makanan,” kata Maarten sambil menoleh padaku, dia masih menggenggam tanganku dengan lembut. “Aku ingin kamu makan sesuatu yang kamu suka.”
Aku tersenyum tipis, tapi dalam hati jujur aku merasa sedikit lelah. Terlalu banyak pilihan, terlalu ramai, dan entah kenapa aku hanya ingin sesuatu yang simpel malam ini.
“Aku... kayaknya mau makan KFC aja deh,” ucapku akhirnya. “Gampang, cepet, dan aku bisa makan di hotel.”
Maarten mengangguk tanpa sedikit pun ragu.
“Sounds perfect. Kita beli itu, lalu pulang… kamu butuh istirahat.”
Kami pun menuju gerai cepat saji itu. Aku memesan makananku, lalu kami berjalan kembali keluar mall. Di sepanjang jalan, Maarten tidak henti memperhatikanku. Bukan dengan pandangan menghakimi, tapi seperti memastikan, bahwa aku nyaman, bahwa pilihanku tak pernah membuatnya kecewa.
Aku adalah wanita sederhana, tidak banyak menuntut, tidak terbiasa meminta. Aku bukan tipe perempuan yang menjadikan momen bersama pria sebagai ajang untuk mendapatkan segala yang bisa dibeli. Jika aku adalah wanita yang berbeda, yang lebih berani, lebih nakal mungkin, aku bisa saja memanfaatkan kesempatan ini untuk berbelanja, membeli apa pun yang aku inginkan, meminta barang-barang yang selama ini hanya bisa aku lihat dari balik etalase. Tapi bukan itu diriku. Aku hanya ingin ditemani, dimengerti, dan dihargai. Karena bagiku, kebersamaan yang tulus jauh lebih mahal dari tas bermerek mana pun. Dan mungkin, justru karena aku seperti ini, Maarten tetap bertahan di sampingku. Tanpa syarat. Tanpa pamrih.
Dia pernah bilang, “Kamu beda, Kelly. Kamu nggak ribet, nggak banyak minta. Tapi justru itu yang bikin kamu berharga.”
Kata-katanya selalu tenang, tapi menghunjam. Ada ketulusan dalam caranya memandangku, seolah dia benar-benar melihatku, bukan hanya dari luar, tapi sampai ke bagian terdalam yang selama ini aku sembunyikan. Seringkali dia bilang dia tidak peduli pada wanita yang hanya mengejar tempat-tempat mewah. Baginya, duduk di bangku kayu, tertawa lepas, dan saling menggenggam tangan lebih berarti daripada makan malam mahal di restoran bintang lima. Dan setiap kali dia mengatakan itu, aku merasa dihargai, dengan cara yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Kami kembali ke hotel, menyusuri lorong yang mulai sepi. Di dalam lift, lampu kuning redup menyinari wajah kami yang kelelahan tapi bahagia. Musik lembut mengalun dari speaker di atas kepala lagu yang entah kenapa, terasa familiar.
Maarten menoleh, mengernyit lucu.
“Eh... lagu ini lagi?” katanya sambil menatap panel lift.
Aku tertawa kecil, karena sejak kami pertama kali naik lift ini, lagu Beautiful in White memang selalu diputar.
“Mungkin ini satu-satunya lagu yang mereka punya,” Jawabku santai.
Tapi wajah Maarten tiba-tiba berubah lebih serius. Ia menatapku, senyum pelan merekah di sudut bibirnya.
“Tentu! Kalimat tersebut jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi:
"Kamu tahu... Aku sudah beberapa kali mendengar lagu ini, tapi malam ini... Aku membayangkanmu memakai gaun putih itu. Dan rasanya begitu indah di pikiranku."
Aku sedikit terdiam, tidak menyangka dia akan mengatakan itu. Dia melanjutkan, suaranya terdengar rendah dan hangat,
“Tentu, berikut terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan nuansa yang lebih dewasa dan emosional:
"Kalau suatu hari nanti aku melihatmu berjalan dalam gaun putih seperti itu... Aku rasa aku akan menangis. Kamu sudah begitu cantik sekarang. Dan aku hanya bisa membayangkan betapa anggunnya saat kamu memakai gaun putih"
Aku hanya tersenyum, menyembunyikan debar yang sulit dijelaskan.
Karena lagu itu, dan kata-katanya, tiba-tiba mengubah malam menjadi sesuatu yang lebih hangat dari sekadar pulang dari mall.
Aku menatapnya dalam diam, senyumku perlahan tumbuh di tengah detak jantung yang entah kenapa berdegup lebih cepat.
“Suatu hari... Aku akan menunjukkan padamu gaun putih itu. Dan kamu akan melihatku, bukan hanya sebagai gadis sederhana yang kamu temui di stasiun, tapi sebagai seseorang yang layak berdiri di sampingmu."
Aku mengatakannya dalam hati. Berharap apa yang aku katakan hari ini, suatu hari nanti akan terwujud.
Dan, Maarten menatapku dalam. Tak ada kata dari mulutnya, hanya genggaman tangan yang menguat, seolah dia sedang menahan sesuatu di dadanya. Dan di tengah denting lembut lagu yang berulang-ulang itu, aku tahu ada sesuatu yang tumbuh di antara kami.
Perlahan. Tapi nyata.
"You look so beautiful in white....... Tonight"
Akhir dari lagu itu memecah keheningan..