aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB
Ramli duduk terkulai di atas tikar lusuh, bersandar pada dinding kontrakan yang lembab. Napasnya masih berat, tubuhnya lemah, belum pulih sepenuhnya dari sakit yang semalam membuatnya terbaring di klinik. Ia melirik jam dinding—sudah lewat pukul sembilan pagi. Seharusnya ia sudah berada di toko.
Namun Wulan, istri mudanya, sudah pergi sejak pagi. Katanya ada "urusan penting" di luar. Ramli tidak tahu ke mana, dan tak sempat bertanya lebih jauh. Yang ia tahu, tak ada sepiring nasi pun di rumah. Tak ada air hangat. Tak ada obat.
Ia mencoba bangkit, tubuhnya bergoyang. Di kepalanya terbayang toko yang sedang dikelola Rukayah. Ia tahu jika absen hari ini, gajinya akan dipotong lagi. Tapi tubuhnya tak sanggup.
Dengan suara pelan ia bergumam, “Wulan… kenapa kamu pergi, bahkan saat aku begini?”
Tak ada jawaban. Hanya keheningan dan kipas angin tua yang berdecit pelan di sudut ruangan.
Ia menatap langit-langit kusam dan berbisik,
“Dulu, Rukayah tak pernah membiarkanku seperti ini…”
Lalu matanya terpejam, dan air mata mengalir diam-diam di pipinya yang mulai keriput.
Saat Ramli tengah bengong, duduk termenung dengan tubuh yang masih lemas dan kepala pening, tiba-tiba terdengar suara ketukan keras dari pintu kontrakan. Ia sedikit terlonjak, jantungnya berdetak cepat.
“Ramliii! Buka pintunya!”
Suara keras itu tak asing di telinganya. Dengan sisa tenaganya, Ramli menyeret langkah ke pintu dan membukanya perlahan.
Ternyata benar—di ambang pintu berdiri ibunya dan adiknya, Ratna. Wajah mereka terlihat tegang, terutama ibunya yang langsung masuk tanpa permisi dan memandang sekitar ruangan sempit itu dengan mata tajam.
"Astagfirullah… Ramli! Ini kamu kenapa bisa begini?!" seru ibunya dengan nada tinggi, melihat tubuh Ramli yang kurus, wajahnya pucat, dan pakaian rumah yang kusut tak karuan.
Ratna ikut masuk, wajahnya penuh keheranan.
“Mas… Ya Allah, kenapa rumahmu seperti gubuk?! Istrimu ke mana?”
Ramli terdiam. Ia menunduk dan hanya menjawab pelan,
“Wulan lagi keluar… ada urusan katanya…”
Ibunya langsung menghentakkan kakinya.
“Urusan?! Kamu sakit begini ditinggal urusan? Ini istri macam apa?! Dulu waktu masih sama Rukayah, nggak pernah kamu begini! Makan teratur, bajumu rapi, rumah pun bersih!”
Ramli hanya bisa menelan ludah. Matanya berkaca-kaca. Ia tak tahu harus menjawab apa. Sementara itu Ratna berjalan mengelilingi kontrakan itu dan membuka tirai ke dapur.
“Ya Allah, Mas… Ini dapur nggak ada makanan sama sekali. Bahkan beras pun nggak ada. Kamu makan apa, Mas?”
“Aku… belum makan…” jawab Ramli lirih.
Ibunya mendengus, lalu duduk di sebelah Ramli sambil memegang tangannya. Ibunya menatap Ramli tajam. Setelah melihat kondisi anaknya yang begitu memprihatinkan, ia pun tak bisa menahan amarah lagi.
“Kalau si Wulan nggak mau rawat kamu, terus mana Rukayah? Bukannya dia masih istri kamu juga?! Kenapa dia nggak datang urus kamu, hah?”
Ramli terdiam beberapa detik. Ia menunduk dalam, seperti mencari jawaban di lantai yang berdebu. Suaranya pelan, terdengar berat di dada.
“Rukayah… sudah nggak mau ikut campur, Bu. Dia bilang, sejak aku lebih memilih Wulan dan menyakiti dia, urusan hidup dan mati aku bukan tanggung jawab dia lagi…”
Ratna menyahut dengan nada tajam, “Tapi kan dia masih istrimu secara sah, Mas. Masa iya dibiarkan kamu sakit begini?”
Ramli menghela napas panjang. “Aku juga sadar, Na… Aku terlalu jahat sama Rukayah dulu. Waktu dia masih sayang-sayangnya, aku malah sibuk jaga perasaan Wulan. Sekarang giliran aku susah, semua ninggalin…”
Ibu Ramli menatap anaknya yang masih terbaring lemah di atas kasur tipis kontrakan. Matanya berkilat penuh kemarahan yang ditahan-tahan. Setelah beberapa saat, ia berdiri sambil mengepalkan tangan.
“Sudah cukup! Ini sudah terlalu keterlaluan!” ucapnya tegas.
Ratna mencoba menenangkan, “Bu, sabar dulu…”
Namun sang ibu langsung menyela, suaranya penuh amarah,
“Sabar gimana, Na? Ini anakku! Masih sah jadi suami Rukayah, tapi ditelantarkan begitu saja?! Walaupun dia pernah salah, tapi saat sedang jatuh begini, masak dibiarkan kayak gini?!”
Ia berjalan mondar-mandir dengan geram.
“Aku nggak peduli Rukayah masih sakit hati atau apa, tapi ini bukan caranya! Dia masih istri sah Ramli, dan ini kewajibannya. Besok aku mau ke rumah dia! Aku mau bicara baik-baik, kalau perlu aku bawa pengurus RT biar semua orang tahu!”
Ramli mengangkat kepalanya dengan lemah, “Bu… jangan ribut sama Rukayah. Semua ini salahku. Aku yang hancurin semuanya…”
Tapi ibunya langsung menatapnya tajam.
“Justru karena kamu sudah jatuh, kamu perlu orang yang tetap ada di sampingmu! Kalau bukan istrimu sendiri, siapa lagi? Wulan jelas nggak bisa diharapkan, sekarang Rukayah juga ikut cuci tangan? Enak aja!”
Ratna ikut bicara pelan, “Tapi Bu, Rukayah itu sudah terlalu lama disakiti. Mungkin dia butuh waktu buat sembuh…”
Namun sang ibu tak bisa menerima.
“Kalau nggak sanggup hadapi masa sulit, jangan sok jadi istri setia di masa senang! Aku akan tuntut pertanggungjawaban dia sebagai istri sah anakku!”
Ramli hanya bisa menatap langit-langit. Ada perasaan bersalah, perih, dan takut bercampur jadi satu. Ia tahu, pertengkaran baru akan terjadi. Dan semua ini adalah buah dari keputusannya sendiri—menghancurkan perempuan yang dulu selalu menggenggam tangannya, bahkan saat mereka belum punya apa-apa.
...****************...
Panas terik siang itu tak menyurutkan tekad Ibu Ramli. Dengan penuh kemarahan dan kepedihan, ia memapah Ramli yang masih lemas menuju becak langganan di ujung gang kontrakan.
"Pak, tolong antar kami ke rumah Rukayah," ucapnya tegas pada tukang becak.
Ramli hanya bisa bersandar lemah di samping ibunya, matanya sayu. Sesekali ia menghela napas panjang, menahan nyeri di perutnya yang masih terasa.
Tak butuh waktu lama, becak pun berhenti di depan rumah Rukayah. Ibu Ramli langsung turun, membuka gerbang tanpa permisi, lalu mengetuk pintu dengan keras.
Tok… tok… tok…
“Rukayah! Buka pintunya! Ini Ibu!”
Tak lama, pintu dibuka. Rukayah tampak berdiri di balik pintu, mengenakan daster sederhana. Matanya langsung menangkap sosok Ramli yang tampak lemas di atas becak.
"Ibu?" Rukayah mengerutkan kening.
Tanpa basa-basi, ibu Ramli langsung bicara tajam.
“Kamu tahu suamimu ini sakit, tapi kamu tega membiarkannya begitu saja?!”
Rukayah tampak menahan emosi, “Bu, maaf. Tapi saya rasa ini sudah bukan urusan saya lagi. Saya sudah terlalu sering disakiti…”
Ibu Ramli menunjuk Ramli dengan tangan gemetar.
“Sakit atau tidak, dia itu suamimu! Istri macam apa yang tega membiarkan suaminya sakit begini tanpa dirawat? Kalau kamu punya hati, sekarang rawat dia. Ini aku bawa langsung ke sini supaya kamu lihat sendiri!”
Tanpa memberi waktu bicara, ibu Ramli kembali ke becak.
“Pak, turunkan Ramli. Taruh di ruang tamu!” perintahnya pada tukang becak.