Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Langkah Pertama
Pagi belum lagi merekah saat Arjuna berdiri di depan rumahnya. Ransel butut berisi beberapa potong baju, ijazah SMA, dan selembar tiket kereta ekonomi ke Jakarta tersampir di bahunya. Matanya berkaca-kaca memandang rumah bambu yang telah menjadi saksi bisu delapan belas tahun hidupnya.
"Mbah..." bisiknya lirih, "Arjuna berangkat dulu ya..."
Di depan pagar bambu yang sudah miring, Pak Karso, Yu Minah, dan beberapa tetangga sudah menunggu. Wajah mereka tampak lelah, tapi tetap memaksakan senyum. Mereka rela bangun dini hari hanya untuk mengantar Arjuna.
"Jun," Yu Minah maju dengan bungkusan plastik di tangan. "Ini bekal buat di kereta. Ada tempe goreng sama telur dadar. Dimakan ya?"
Arjuna mengangguk, menahan isakan. "Terima kasih, Yu..."
"Ini..." Pak Karso menyerahkan secarik kertas. "Alamat sepupu Bambang di Bekasi. Sudah Bapak telpon semalam. Katanya kamu bisa tinggal sementara di sana sambil cari kos-kosan."
"Pak Karso..." Arjuna membungkuk dalam, "Terima kasih... untuk semuanya..."
"Sudah, sudah," Pak Karso menepuk pundak Arjuna, suaranya sedikit bergetar. "Yang penting kamu jaga diri baik-baik di sana. Jangan lupa makan. Kalau ada apa-apa, langsung telepon."
"Jun," Bu Tini menyelipkan amplop ke saku Arjuna. "Ini dari Ibu sama bapak-bapak pengajian. Buat tambahan modal di Jakarta."
"Tapi Bu... ini..."
"Sudah, terima saja. Anggap hadiah dari orangtua sendiri."
Arjuna tak kuasa menahan air matanya. Ia membungkuk berkali-kali, tak mampu mengucapkan terima kasih dengan kata-kata. Cincin di jarinya terasa hangat, seolah memberinya kekuatan.
"Ayo, Jun," Pak Karso menunjuk truk sayur yang sudah menunggu. "Mas Dar sudah siap antar kamu ke stasiun."
Satu persatu, Arjuna memeluk para tetangga yang sudah seperti keluarganya sendiri. Yu Minah terisak keras, sementara yang lain berusaha tegar meski mata mereka berkaca-kaca.
"Hati-hati di jalan, Nak..." "Jangan lupa kabari kalau sudah sampai..." "Belajar yang rajin ya..." "Jaga kesehatan..."
Truk sayur mulai bergerak meninggalkan desa. Dari bak belakang, Arjuna memandang rumahnya yang semakin mengecil. Di sebelah rumah itu, gundukan tanah merah makam neneknya masih basah. Ia mengepalkan tangan, mengusap cincin perak di jarinya.
"Doakan Arjuna, Mbah..." bisiknya pada angin pagi. "Arjuna janji akan jadi orang yang bisa Mbah banggakan."
Matahari mulai mengintip di ufuk timur, menyinari kabut tipis yang menyelimuti lereng Gunung Sumbing. Hari baru telah dimulai, dan bersama terbitnya mentari, Arjuna memulai langkah pertamanya menuju takdir yang belum ia ketahui...
Bak truk sayur itu berderit-derit membelah kabut pagi. Arjuna duduk bersandar pada tumpukan keranjang kosong, sesekali terguncang saat roda truk menghantam lubang jalan. Udara dingin pegunungan menusuk tulang, tapi ia tak berani mengeluh. Di depan, Mas Dar sang sopir sudah berbaik hati mau mengantarnya, meski kabin truk sudah penuh dengan dua orang kernet yang akan membantunya mengangkut sayur.
"Maaf ya, Jun!" teriak Mas Dar dari jendela sopir. "Depan penuh, jadi kamu di belakang dulu!"
"Tidak apa-apa, Mas!" balas Arjuna. "Ini saja sudah sangat membantu!"
Truk terus melaju melewati jalan berkelok. Arjuna memandangi pemandangan yang berlalu - kebun teh yang masih gelap, sawah bertingkat yang mulai menguning, dan rumah-rumah penduduk yang mulai menyalakan lampu. Entah kapan ia akan melihat semua ini lagi.
Dua jam berlalu. Matahari sudah mulai naik ketika truk itu akhirnya memasuki halaman stasiun Temanggung. Bangunan kolonial yang sudah menguning itu mulai ramai dengan para pedagang dan calon penumpang.
"Nah, sudah sampai!" Mas Dar menghentikan truknya. "Masih ada waktu setengah jam sebelum kereta datang."
"Terima kasih banyak, Mas," Arjuna membungkuk dalam-dalam setelah turun dari bak truk. Tubuhnya sedikit kaku karena terguncang sepanjang jalan.
"Eh, tunggu Jun!" Mas Dar merogoh saku kemejanya. "Ini, buat beli sarapan di stasiun." Ia menyodorkan beberapa lembar uang lusuh.
"Jangan, Mas! Sudah terlalu banyak yang—"
"Sudah, ambil saja!" Mas Dar memaksa. "Anggap dari kakakmu sendiri. Yang penting kamu sukses di sana, ya?"
Arjuna kembali membungkuk, tak mampu menolak kebaikan yang terus mengalir. Cincin di jarinya berdenyut hangat, seolah mengingatkannya akan pesan sang kakek tentang ketulusan hati.
"Hati-hati di Jakarta!" teriak Mas Dar dari jendela truk yang mulai bergerak. "Jangan lupa kabari kalau sudah dapat kerja!"
Arjuna melambaikan tangan sampai truk itu menghilang di tikungan. Kemudian, dengan ransel di pundak dan tiket yang tergenggam erat, ia melangkah memasuki stasiun. Di atas rel besi yang memanjang ke arah timur, masa depannya menunggu.
Peluit panjang membelah udara pagi. Asap putih mengepul
Suara peluit panjang membelah udara pagi. Dari kejauhan, asap putih mengepul diiringi deru mesin yang semakin mendekat. Arjuna berdiri gugup di peron, menggenggam erat tiket ekonominya yang sudah kusut. Ini pertama kalinya ia akan naik kereta api.
"Kereta api ekonomi jurusan Jakarta... akan segera tiba di peron satu!" suara pengumuman bergema dari speaker tua yang berderik.
Arjuna memperhatikan orang-orang di sekitarnya. Ada yang membawa kardus besar, tas ransel, bahkan karung-karung entah berisi apa. Mereka semua tampak sudah biasa, berbeda dengannya yang masih celingukan kebingungan.
"Permisi, Pak," memberanikan diri, ia bertanya pada petugas berseragam biru yang lewat. "Ini... kereta saya yang mana ya?"
Petugas itu tersenyum ramah, memeriksa tiket di tangan Arjuna. "Gerbong lima, Mas. Itu yang tengah. Tunggu kereta berhenti total, baru naik ya? Ikuti saja arah papan nomor gerbongnya."
"Oh, terima kasih, Pak!"
Kereta akhirnya berhenti dengan suara mendesis panjang. Arjuna mengikuti arus penumpang yang bergerak teratur, matanya terus mengawasi nomor-nomor gerbong yang tertera. Satu... dua... tiga...
"Permisi... maaf... permisi..." ia bergumam pelan, berusaha tidak menyenggol siapapun dengan ranselnya.
"Gerbong lima! Gerbong lima!" seorang kondektur berseru sambil mengarahkan penumpang.
Arjuna menghela nafas lega. Akhirnya ketemu juga. Dengan hati-hati ia naik, sedikit terkejut dengan tingginya anak tangga kereta. Di dalam, lorong sempit sudah dipenuhi penumpang yang mencari tempat duduk.
"Nomor kursi 23D, Mas," kondektur yang ramah membantunya. "Itu di sebelah sana, dekat jendela."
"Terima kasih, Pak," Arjuna tersenyum malu, bersyukur masih ada yang mau membantunya.
Menemukan kursinya, Arjuna duduk dengan canggung. Di sebelahnya, seorang bapak setengah baya sudah tertidur pulas. Dari jendela, ia bisa melihat hiruk pikuk peron - para pedagang asongan, keluarga yang berpamitan, dan petugas yang mondar-mandir mengecek gerbong.
"Kepada para penumpang, kereta api ekonomi jurusan Jakarta akan segera berangkat. Mohon periksa kembali barang bawaan Anda..."
Arjuna mengeluarkan bungkusan bekal dari Yu Minah, merapikan ranselnya di bawah kursi. Cincin di jarinya terasa hangat, seolah meyakinkan bahwa ia telah mengambil langkah yang benar.
Peluit panjang berbunyi untuk terakhir kali. Perlahan, roda-roda besi mulai bergerak. Stasiun Temanggung bergeser mundur, semakin jauh, hingga akhirnya hilang di kelokan rel.
"Selamat tinggal," bisiknya lirih, entah pada siapa. Di depan sana, Jakarta menunggu dengan segala misteri dan harapan.
biar nulisny makin lancar...💪