NovelToon NovelToon
Tumbal Rahim Ibu

Tumbal Rahim Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Kumpulan Cerita Horror / Rumahhantu / Matabatin / Iblis
Popularitas:543
Nilai: 5
Nama Author: Mrs. Fmz

​"Ibu bilang, anak adalah permata. Tapi di rumah ini, anak adalah mata uang."
​Kirana mengira pulang ke rumah Ibu adalah jalan keluar dari kebangkrutan suaminya. Ia membayangkan persalinan tenang di desa yang asri, dibantu oleh ibunya sendiri yang seorang bidan terpandang. Namun, kedamaian itu hanyalah topeng.
​Di balik senyum Ibu yang tak pernah menua, tersembunyi perjanjian gelap yang menuntut bayaran mahal. Setiap malam Jumat Kliwon, Kirana dipaksa meminum jamu berbau anyir. Perutnya kian membesar, namun bukan hanya bayi yang tumbuh di sana, melainkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lapar.
​Ketika suami Kirana mendadak pergi tanpa kabar dan pintu-pintu rumah mulai terkunci dari luar, Kirana sadar. Ia tidak dipanggil pulang untuk diselamatkan. Ia dipanggil pulang untuk dikorbankan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3: Senyum Ibu yang Terlalu Lebar

Mobil butut Dimas berhenti di halaman berpasir yang luas di depan sebuah rumah Joglo kuno yang terawat luar biasa. Tiang tiang penyangga kayu jati tampak kokoh dan mengkilap, memancarkan aura kemewahan yang kontras dengan kebangkrutan mereka. Halaman itu diterangi puluhan lampu pijar, seolah sengaja dibuat mencolok di tengah kegelapan desa.

Di depan pintu utama yang lebar, berdiri Nyi Laras, Ibu Kirana. Kehadirannya memancarkan otoritas yang dingin. Kirana tertegun melihat Ibunya. Nyi Laras seharusnya sudah melewati usia enam puluh tahun, tetapi ia tampak seperti wanita usia empat puluhan. Wajahnya kencang dan bersih tanpa kerutan, rambutnya hitam pekat seperti jelaga, disanggul rapi. Ia adalah kecantikan yang terlalu sempurna, bagaikan patung marmer yang menolak disentuh waktu.

Nyi Laras segera berjalan mendekat. Langkahnya anggun, tenang, dan tanpa tergesa, seolah ia memiliki seluruh waktu di dunia.

"Akhirnya kalian sampai, Nak," sambut Nyi Laras. Suaranya halus dan merdu, tetapi memuat nada perintah yang menuntut kepatuhan yang mutlak.

Nyi Laras langsung memeluk Kirana. Pelukan itu terasa dingin dan kaku, tidak seperti pelukan ibu pada anaknya yang lama tak bertemu. Kirana mencium aroma melati yang tajam, sangat pekat hingga menusuk hidung—aroma yang sama yang ia cium samar samar di batas desa tadi.

"Ibu sudah bilang, pulanglah. Jangan bandel," katanya, melepaskan Kirana dan beralih ke Dimas. Matanya tajam, mengamati Dimas dari ujung kaki hingga ujung rambut.

Dimas, yang biasanya angkuh dan keras kepala di Jakarta, kini tampak mengecil. Ia menundukkan kepala di depan Nyi Laras. "Maafkan kami terlambat, Bu. Mobilnya bermasalah di tengah jalan," ujar Dimas, nadanya patuh dan penuh rasa hormat yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun.

"Tidak apa apa. Ibu tahu kau pasti menghadapi kendala," kata Nyi Laras, tersenyum sekilas. Tatapan Nyi Laras kemudian menyapu perut Kirana, menimbang nimbang dengan sorot mata seperti seorang penilai barang antik yang sedang mengevaluasi nilai sebuah koleksi.

“Yang penting dia selamat sampai sini,” kata Nyi Laras, menekankan kata ‘dia’ merujuk pada janin Kirana, bukan pada Kirana sendiri. "Ibu sudah siapkan semuanya."

Kirana memberanikan diri. "Ibu tampak sangat sehat. Tidak ada yang berubah," pujinya, berusaha mencari celah atau petunjuk tentang rahasia keabadian Ibunya.

Nyi Laras tertawa pelan, tawa yang terdengar seperti gemerisik daun kering. Senyumnya lebar, tetapi hanya bergerak di bibir, tidak mencapai matanya yang gelap. "Rahasia Ibu cuma satu: hidup tenang, dan bersyukur. Kau tahu kan, Ibu tidak suka urusan yang berlarut larut. Sekarang, kau bisa istirahat."

"Saya sudah siapkan semuanya, Bu?" Dimas mengulang pertanyaan itu, nadanya terdengar cemas dan tergesa gesa. Ia tidak bertanya tentang istrinya atau barang barang mereka, melainkan tentang 'semuanya'—sebuah kata sandi yang hanya mereka berdua pahami.

Nyi Laras mengalihkan pandangan dari Kirana ke Dimas, senyumnya kini menghilang. "Tentu. Semua sudah beres, sesuai kesepakatan. Kau bisa bersihkan diri, Nak. Lalu bantu Ibu di belakang. Ada banyak yang harus disiapkan sebelum matahari terbit."

Dimas mengangguk cepat. Ia meraih koper mereka, dan segera berjalan ke dalam rumah tanpa menoleh pada Kirana, seolah ia takut berada terlalu dekat dengan istrinya. Kirana sadar, Dimas telah menerima perannya sebagai kaki tangan.

"Mari, Kirana. Ibu akan tunjukkan kamarmu," ajak Nyi Laras, meletakkan tangan dinginnya di punggung Kirana. Tangan itu terasa seperti pegangan yang tak akan melepaskan.

Mereka melangkah melewati ruang tamu. Rumah itu indah, tetapi terasa dingin dan sunyi. Tidak ada perabotan modern, hanya ukiran kayu tua yang gelap dan lukisan leluhur yang tampak menatap mereka dengan tatapan menghakimi. Kirana tidak melihat satu pun foto keluarganya sendiri, tidak ada foto masa kecilnya, atau foto dua Kakak Sulungnya yang dikabarkan meninggal karena sakit.

Nyi Laras menunjuk ke pintu kayu tua di ujung lorong, di area rumah yang paling gelap dan paling dingin.

"Kamar itu cocok untukmu, Nak. Tidurlah di kamar Kakak Sulungmu," kata Nyi Laras, suaranya tenang, tetapi di telinga Kirana, kalimat itu terasa seperti penentuan nasib yang dingin. Ini adalah kamar yang terakhir dihuni oleh Laksmi, Kakak Sulung Kirana, sebelum ia dikabarkan meninggal.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!