Di balik ketenangan Desa Warengi Jati, sebuah tragedi mengoyak rasa aman warganya. Malam itu, seorang penduduk ditemukan tewas dengan cara yang tak masuk akal. Desas-desus beredar, rahasia lama kembali menyeruak, dan bayangan gelap mulai menghantui setiap sudut desa.
Bayu, pemuda dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam, terjebak dalam pusaran misteri ini. Bersama Kevin sahabat setianya yang sering meremehkan bahaya dan seorang indigo yang bisa merasakan hal-hal yang tak kasatmata, mereka mencoba menyingkap kebenaran. Namun semakin dalam mereka menggali, semakin jelas bahwa Warengi Jati menyimpan sesuatu yang ingin dikubur selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaNyala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Yang Sama (2)
Sesampainya di rumah, perasaan Zikri lebih tenang karena tahu istrinya sedang menjaga ibunya di kota. Ia menutup pintu dan menguncinya. Hujan masih turun rintik-rintik. Malam itu, dengan hati yang tenang, Zikri menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor melalui perangkat teknologinya. Waktu menunjukkan pukul 00.00, ia pun memutuskan untuk bersiap tidur. Namun ketika keluar dari kamar mandi, ia melihat bayangan seperti istrinya berjalan ke arah ruangan gelap di lorong rumah.
“Sayang? Kok sudah pulang? Katanya tadi Mas Nandi jemput kamu...”
Bayangan itu tidak menoleh. Dengan heran, Zikri memberanikan diri mengikuti.
“Sayang... hei, mau ke mana?”
Sosok itu terus berjalan menuju ruangan di sudut lorong. Zikri masuk ke ruangan sunyi, gelap, dan berdebu itu. Sosok yang mirip istrinya terdiam tepat di depan karpet hijau keputihan bermotif bunga.
“Kenapa dengan karpet ini, Sayang? Kau mau menggantinya? Kalau iya, nanti Mas pesenin ke si Beti, langganan kamu.” Namun ternyata sedari tadi ia bicara sendirian. Sosok itu menghilang.
“Ah, kebiasaan kamu... kalau Mas lagi bicara suka banget ninggalin. Ya sudah, mungkin dia balik ke kamar. Kasihan, pasti lelah habis perjalanan dari kota ke sini.”
Zikri celingak-celinguk. Ia heran, karena baru kali ini menjamah ruangan tersebut. Perhatiannya tertuju pada sebuah lukisan.
“Kayak pernah lihat... ohh, ini persis kayak di rumah Kakek. Selera orang kaya zaman dulu ya, sering beli lukisan begini.”
Ia mondar-mandir, lalu menginjak karpet itu. Tiba-tiba terdengar suara derit lantai. Zikri mencoba menginjak bagian lain yang tidak tertutup karpet namun tidak ada suara. Kembali ia injak karpet, suara itu terdengar lagi.
“Hmm, ada yang aneh...” Zikri menyingkirkan karpet. Debu beterbangan. Ia melihat sebuah ubin kayu yang berbeda dari lainnya. Setelah mengetuk-ngetuk, terdengar bunyi kosong. Ia mencari linggis di gudang loteng, lalu kembali ke ruangan itu. Dengan usaha sekitar 20 menit, ubin itu terbuka. Tampak sebuah tangga menurun ke bawah. Zikri menyalakan lampu senter ponselnya dan perlahan turun.
“Belum pernah dijamah... tapi menyimpan rahasia?”
Ia sampai di dasar. Ternyata ada sebuah ruangan besar dengan banyak pintu. Salah satu pintu terbuka, memancarkan cahaya lilin. Zikri masuk. Ia kaget melihat simbol tanduk iblis dan lambang mirip satanis di dinding. Ada sesajen buah-buahan dan jeroan mentah. Bau anyir darah begitu menyengat.
Dengan perasaan mual, ia membuka sebuah karung putih di sudut ruangan.
“Astagfirullah... potongan tubuh manusia?!”
Ia menutup kembali karung itu dengan wajah pucat.
Tapi rasa penasarannya membuatnya tidak segera pergi. Zikri memeriksa ruangan lain. Kebanyakan kosong, berdebu, tak terpakai. Namun saat ia kembali ke ruangan persembahan, ada sosok bayangan hitam yang sedang menyembah patung dan memakan jeroan sesajen. Zikri berusaha mendekat perlahan, tapi lantai kayu berderit membuat sosok itu menoleh.
“Siapa kau? Apa motifmu membunuh mereka?!” teriak Zikri.
“Saya tak punya motif. Malam ini malam purnama... saya butuh satu tumbal lagi untuk dipersembahkan kepada mereka.”
“A-apa maksudmu?! Kau mau menjadikan aku seperti yang di karung itu?!”
Tanpa bicara lagi, sosok hitam itu menyerang. Pertarungan singkat terjadi. Zikri terkena sayatan belati di wajahnya.
“Akhhh!!” Ia berteriak sambil memegangi pipinya yang berdarah.
Sosok itu menendangnya ke perut hingga Zikri jatuh. Pukulan demi pukulan menghantam kepala Zikri dengan balok kayu, membuatnya babak belur.
“Akhh... kumohon... lepaskan saya...”
Namun sia-sia. Zikri tewas malam itu, malam yang sama ketika istrinya pun kehilangan nyawa, hanya berbeda waktu. Sosok itu menyeret tubuh Zikri ke depan patung, mengucapkan mantra persembahan, lalu memutilasi tubuhnya menjadi potongan-potongan. Setelah selesai, ia membersihkan jejak, memasang kembali ubin, dan menutupnya dengan karpet hijau bermotif bunga. Seolah tidak terjadi apa-apa, ia kembali berperan sebagai orang desa biasa.
Satu minggu kemudian, beberapa bapak-bapak sedang berkumpul di pos ronda. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu.
“Menurut saya, mushola itu terlalu usang. Bagaimana kalau direnovasi, Pak?”
“Setuju. Soalnya udah lama juga, banyak yang bocor. Perlu diperbaiki sih kata saya.”
“Panggil Pak RT gih, suruh ke sini. Sekalian Ustadz Gani juga. Buruan, Bil. Ini proyek sekampung.”
“Siap, Pak!” Billy disuruh bapak-bapak yang lain untuk memanggil Pak RT dan Ustadz Gani agar ikut membicarakan soal pembangunan mushola.
Seorang pemuda tampan berusia sekitar 23 tahun melewati pos ronda.
“Woy, Yu! Lewat aja sombong amat sama kita-kita,” teriak salah satu bapak.
Pemuda itu menoleh sambil tersenyum tipis.
“Bukannya sombong, Pak. Saya baru pulang bertugas, ini mau mandi dulu. Kalau bersih kan enak ngopi bareng di sini.”
“Ya sudah, sana mandi dulu. Habis itu balik lagi ke sini. Ada proyek kampung nih.”
“Wihh, apaan tuh? Kepo nih. Kasih tahu dong.”
“Mandi dulu, Yu. Kalau udah balik, baru enak ceritanya.”
“Hm, tua-tua pelit. Ya udah lah...” Bayu melanjutkan langkahnya.
Sementara itu, Billy sudah sampai di rumah Pak RT.
“Assalamualaikum, Pak RT!”
“Waalaikumsalam. Eh, Bil. Ada apa?” tanya Pak RT sambil meletakkan selang yang tadi ia gunakan untuk menyiram tanaman.
“Disuruh Pak Herry, Pak. Kumpul di pos buat ngobrol soal proyek.”
“Ohh, ya sudah. Kamu duluan saja, nanti saya menyusul.”
“Iya, Pak. Saya duluan ya. Assalamualaikum!”
“Waalaikumsalam.”
Setelah Billy pergi, Pak RT masuk ke rumah untuk berganti pakaian sebelum ke pos. Billy melanjutkan langkahnya ke rumah Ustadz Gani. Di perjalanan, ia melihat seorang pemuda blasteran Tionghoa dan kampung yang dikenal pendiam, sedang duduk sendirian di bawah pohon dekat kali.
“Ngapain mojok sendirian, Bang? Mending ikut nimbrung ke pos, ada proyek tuh.”
Pemuda itu menoleh, tatapannya datar.
“Proyek apa?” tanyanya singkat.
“Bangun mushola, Bang. Mending kumpul aja yuk, daripada duduk sendirian di bawah pohon.”
Pemuda itu berdiri dan menghampiri Billy. “Ayo.”
Mereka berdua berjalan menuju rumah Ustadz. Kebetulan, belum sampai, mereka berpapasan dengan Ustadz Gani.
“Eh, Assalamualaikum, Pak Ustadz!” sapa Billy sambil tersenyum.
“Assalamualaikum, Pak,” tambah pemuda pendiam itu.
“Waalaikumsalam. Kalian mau ke mana?”
“Kami mau ke rumah Pak Ustadz. Disuruh Pak Herry kumpul di pos.”
“Ngapain si Herry nyari saya?”
“Ngomongin proyek bangun mushola, Pak. Terus, Pak Ustadz mau ke mana?”
“Oh, kebetulan saya mau ke mushola. Mau ngumumin soal dana kematian. Sekalian aja yuk, bareng-bareng ke pos.”
“Ayo, Pak.” Billy menoleh ke pemuda di sampingnya.
“Ayo, Bang.”
Mereka bertiga berjalan kembali ke pos ronda. Di sana sudah ada Pak RT dan warga lain. Termasuk pemuda tampan yang tadi lewat, kini sudah rapi dengan kaos dan celana pendek selutut.
“Assalamualaikum!” sapa ketiganya.
“Waalaikumsalam...” jawab semua bapak-bapak di pos.
Pak Herry menoleh. “Loh? Kamu nggak kerja, Pin?” Pemuda pendiam itu bernama Kevin.
“Libur, Pak. Tiga hari.”
“Ohh, bagus dong. Jadi bisa ikut kegiatan proyek mushola.”
“Betul, betul,” timpal warga lain.
Pak RT segera membuka pembicaraan.
“Jadi begini, bapak-bapak sekalian. Benar kata Pak Herry, mushola kita sudah kuno dan butuh diperbaiki. Kira-kira, bapak-bapak setuju tidak kalau besok kita berpencar, dari desa ini sampai desa sebelah, untuk minta sumbangan warga?”
“Setuju aja. Apasih yang nggak buat mushola, ya kan?” ucap pemuda tampan itu, Bayu.
“Setujuuu!” sahut semua warga serentak.
Pak RT mulai membagi tugas.
“Oke, mulai ya. Herry, Pak Galuh, Billy—kalian bertiga ke Desa Lembayung. Di sana warganya padat, insyaallah lumayan banyak dapat sumbangan nanti.”
“Siap, Pak!” jawab Billy semangat.
“Bayu, Kevin, dan saya sendiri akan meminta sumbangan di desa ini.”
“Pak Ustadz, Rijal, sama Herman nanti ke Desa Sukadiri.”
“Siap, Pak!” sahut Herman mantap.
Setelah pembagian selesai, warga kembali ngobrol sambil bercanda. Suasana penuh tawa, apalagi Bayu memang terkenal nyeleneh.
“Menurut gue, kubah musholanya warna pink aja, Pak. Biar para women tertarik, jadi rajin tarawih di sana,” celetuk Bayu.
“Anjayy! Keren, Bang. Nanti kalau ada yang nanya alamat Desa Warengi Jati, jawab aja: yang kubah musholanya pink. Hahaha!” Billy tertawa terbahak-bahak, diikuti yang lain.
“Keren kan ide gue? Ya kan, Pak RT?”
“Kamu ada-ada saja. Emang bisa kubah warna pink?”
“Bisa aja, Pak. Kalau setuju semua, tinggal pesan online shop. Search: kubah pink.” Kevin tiba-tiba ikut bersuara.
“WooOyy! Nggak kebayang kurir bawa paket segede gaban, isinya kubah pink. Hahaha!” Bayu makin ngakak. Dan semua ikut tertawa.
“Anak-anak zaman sekarang idenya ajaib-ajaib ya,” komentar Pak Galuh.
Bayu menambahkan lagi.
“Kalau nggak pink, gimana kalau coraknya loreng macan gitu? Lagi tren tuh di kalangan ibu-ibu.”
“Ke baju emak gue aja, loreng macan. Pas nyanyi: dasar kau keong racun!” Herman berceloteh sambil memperagakan gaya ibu-ibu. Semua tertawa terbahak-bahak.
“Man, lu cocok jadi inspektur senam ibu-ibu PKL, sumpah,” sahut Bayu.
“Iya, Bang Herman cocok. Abang lentur soalnya,” goda Billy.
“Ya allah, jangan didoakan gitu ah...” Herman geleng-geleng.
“Gapapa kali, Bang,” Bayu terkekeh.
Kevin hanya diam, sesekali melirik kanan-kiri. Ustadz Gani menepuk pundaknya.
“Udah, nggak usah diladeni. Semakin kau tanggapi, semakin mereka penasaran, Pin.”
“Iya, Pak. Saya juga biasa aja,” jawab Kevin singkat.
Bayu menyahut, “Jangan ngelamun, Pin. Nggak seru, masa pagi-pagi kesurupan.”
Billy penasaran. “Ngomong-ngomong, emang hantu bisa muncul pagi-pagi, Bang Kevin?”
Kevin menatap sebentar, lalu menjawab pendek.
“Ada aja...”
Jawaban itu membuat Billy dan warga lain penasaran. Mereka mulai bertanya-tanya seperti apa bentuk hantu itu, dan di mana mereka berada sekarang. Karena di desa itu, hanya Kevin yang bisa melihat dan mendengar mereka. Sejak lahir, Kevin memiliki keistimewaan: bisa melihat sesuatu yang tak kasatmata..
...**-----------------------**...
DISCLAMER❗️⚠️
Cerita ini hanya karangan semata jika ada perilaku/kata yang kasar mohon di maafkan. Terimakasih
Happy Reading...📸🕵♂️