Cerita Mengenai Para Siswa SMA Jepang yang terpanggil ke dunia lain sebagai pahlawan, namun Zetsuya dikeluarkan karena dia dianggap memiliki role yang tidak berguna. Cerita ini mengikuti dua POV, yaitu Zetsuya dan Anggota Party Pahlawan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A.K. Amrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dungeon Pertama dan Pengkhianatan...
Keesokan paginya... cahaya keemasan jatuh di atas bukit utara Desa Eldoria.
Para pahlawan bersiap dengan perlengkapan mereka, sementara Jack, pemandu lokal, menunggu di luar.
“Dungeon Eldoria berada lebih ke utara. Tidak terlalu sulit ditemukan, tapi tetap berbahaya. Harap tetap waspada.”
Hanabi memandang ke bukit.
“Ini dungeon pertama kita di dunia ini ya… rasanya campur aduk.”
Ryunosuke mengencangkan ikat pinggang pedangnya. “Ayo kita tunjukkan kemampuan kita.”
Rey Normand berjalan ke depan dan menjelaskan:
“Ada dua jenis dungeon di dunia ini. Yang pertama adalah dungeon dengan pintu besar seperti ini. Kalian bisa keluar kapan saja.”
“Yang kedua adalah portal dan itu sangat berbahaya. Kalian tidak bisa keluar kecuali menyelesaikan minimal 10 lantai.”
Kouji mengangguk pelan, aura pemimpin yang karismatik kembali muncul.
“Kami mengerti. Kami siap menghadapi apapun yang menunggu di dalam.”
Putri Sena tersenyum ke arah teman-temannya.
“Semoga cahaya melindungi kalian.”
Gadis-gadis desa yang diam-diam mengikuti mereka langsung:
“Kouji-sama keren banget…”
“Putri Sena… benar-benar simbol kesucian…”
Jack menunjuk ke pintu batu besar dungeon.
“Semua siap? Kalau begitu… ayo masuk.”
Dan dengan itu, mereka memasuki kegelapan Dungeon Eldoria.
Tanpa sedikit pun menduga bahwa sabun wangi yang mereka kagumi…
Bukan dari Keshogunan Nagumo.
Bukan dari kerajaan.
Tapi dari merchant misterius yang mereka singkirkan yang pada saat ini sedang naik daun… Zetsuya.
Dan begitu mereka mulai menjelajah, para pahlawan tahu bahwa tantangan sesungguhnya baru saja dimulai.
Lantai pertama hingga keempat dungeon Eldoria tidak memberikan tekanan berarti. Goblin dan rat man yang berkeliaran dapat ditaklukkan dengan mudah. Serangan mereka terlalu lambat bagi pahlawan yang sudah terlatih. Bahkan perangkap sederhana pun langsung terbaca oleh mereka berkat pengalaman bertahun-tahun.
Rey Normand berjalan di belakang sambil melipat tangan. Dari wajahnya tampak jelas bahwa ia sedang menilai performa mereka.
Lisa Graham tersenyum tipis ketika melihat cara para pahlawan beradaptasi. “Lantai awal seperti ini seharusnya tidak membuat kalian lengah,” katanya. “Tetap fokus. Ini latihan yang baik untuk menyatukan ritme kalian.”
“Tenang saja, Lisa,” jawab Akari sambil mengangkat tangannya, bola api kecil berputar-putar di atas telapak tangannya. “Kami tidak akan lengah.”
Hanabi menyiapkan busurnya dan melepaskan panah ke arah goblin yang muncul tiba-tiba. “Yang beginian sih cuma pemanasan.”
Putri Sena yang awalnya diam mulai ikut terlibat. Ia mengayunkan pedangnya mengikuti gerakan Kouji. “Sebagai calon ratu,” katanya tanpa kehilangan ritme, “aku harus bisa mengandalkan diriku sendiri.”
Kouji meliriknya dan mengangguk bangga. “Bagus. Terus jaga posturmu. Kamu punya potensi, tinggal dibentuk.”
Ryunosuke mengangkat tangannya, melepaskan semburan energi gelap ke arah musuh. “Seharusnya kita bisa naik ke lantai lima tanpa masalah.”
Takeshi berdiri di depan sebagai perisai tim. “Selama aku ada di depan, serangannya pasti tidak tembus,” ucapnya yakin sambil menahan serangan rat man yang datang.
Rey akhirnya bersuara ketika semua terlihat terlalu percaya diri. “Jika kalian menganggap ini mudah, itu wajar. Tapi jangan terlena.” Ia menatap mereka satu per satu. “Lantai berikutnya tidak akan memanjakan kalian.”
“Siap,” jawab Sakurai Tomoe sambil memutar staff airnya. “Kami tidak akan menyepelekan yang di depan.”
Perjalanan mereka di lantai awal berjalan lancar. Mereka bekerja dengan kompak, bergerak dengan ritme yang semakin sinkron. Walau mudah, semua sadar bahwa ini hanyalah permulaan.
Lantai satu sampai empat hanyalah pemanasan sebelum Eldoria menunjukkan taringnya yang sesungguhnya. Tantangan besar masih menunggu jauh di bawah.
Para pahlawan akhirnya mencapai lantai 5 dungeon Eldoria. Begitu menapakkan kaki di lantai itu, mereka langsung melihat 17 Goblin General berdiri berjajar. Namun sebelum pertempuran dimulai, Rey Normand dan Lisa Graham meminta seluruh pahlawan berhenti sejenak. Ini adalah momen untuk memastikan setiap anggota memahami posisi dan peran masing-masing sejelas mungkin, terlebih dungeon ini diduga mengalami Dungeon Break.
Lisa, seorang Sage, berdiri tenang sambil memeriksa struktur energi di sekitar lantai. Sebagai Sage, ia berada satu tingkat di atas para Mage biasa—memiliki pemahaman yang jauh lebih dalam tentang elemen, energi, serta teori sihir tingkat lanjut. Perannya bukan hanya menyerang, tetapi juga membaca pola bahaya dan memastikan para Mage bisa bekerja lebih efisien.
Rey Normand, pengguna Greatsword yang terkenal dengan kekuatan fisik dan teknik brutal yang terkontrol, berdiri di barisan depan. Ia tidak hanya bertindak sebagai pelindung, tetapi juga eksekutor utama bila terjadi kekacauan. Tatapannya tak lepas dari konfigurasi musuh, memastikan jarak, posisi, dan kondisi arena pertarungan.
Kouji, sang Paladin, adalah poros pertahanan utama. Dengan perisai besar dan pedang suci, tugasnya adalah menahan serangan pertama dan menjaga kestabilan barisan. Aura perlindungan miliknya menjadi benteng pertama yang akan melindungi para Mage dan Support.
Putri Sena berdiri di sisi barisan depan sebagai Swordman pengguna rapier. Gaya bertarungnya lincah dan elegan, tusukan cepat, presisi, dan kontrol jarak. Sebagai calon ratu, ia menekankan kecepatan dan disiplin dalam setiap gerakannya. Rapier miliknya bukan sekadar senjata, tapi simbol latihannya selama bertahun-tahun.
Takeshi, Tanker murni, berdiri tepat di belakang Kouji. Tubuhnya dilapisi kemampuan pertahanan tingkat tinggi. Tugasnya adalah menjadi tembok kedua, jika garis depan tertekan, Takeshi akan menahan gelombang berikutnya dan memperkuat formasi.
Kelas Mage dan pengguna sihir berdiri di barisan tengah, semuanya memegang tongkat sihir yang sesuai dengan elemen dan role mereka:
Akari, Fire Mage, memegang tongkat dengan inti kristal merah menyala. Ia memiliki spesialisasi serangan luas dan suhu ekstrem.
Ryunosuke, Dark Mage, membawa tongkat hitam berornamen ukiran rune gelap. Ia ahli manipulasi kegelapan, serangan ilusif, dan gangguan mental musuh.
Yui, Light Mage, memegang tongkat emas yang memancarkan cahaya lembut. Ia bertugas membersihkan debuff gelap dan menyokong serangan suci.
Jun, Wind Mage, membawa tongkat tipis dengan simbol angin melingkar. Ia mampu mencipta tekanan udara, badai kecil, dan kontrol arah pergerakan musuh.
Tomoe, Water Mage, menggunakan tongkat berwarna biru dengan aliran air kecil di sekelilingnya. Ia adalah ahli pertahanan air dan serangan berbasis tekanan.
Ichika, Earth Mage, tongkatnya terbuat dari batu hidup yang memancarkan getaran stabil. Ia kuat dalam membuat dinding, perangkap tanah, dan serangan batu berat.
Hikari, Lightning Mage, memegang tongkat yang berdenyut seperti arus listrik. Ia ahli kecepatan dan serangan petir destruktif.
Masato, Summoner, memiliki tongkat dengan simbol kontrak dan kristal yang menyimpan energi para elemental. Tugasnya memanggil makhluk pendukung dan elemen tempur.
Hitomi, Priestess, dengan tongkat suci perak, berperan sebagai penyembuh suci tingkat tinggi yang mampu memberi perlindungan sakral serta penyembuhan instan.
Honoka, Healer, berfokus pada penyembuhan cepat, pemulihan stamina, dan stabilisasi kondisi tim menggunakan tongkat medis berornamen hijau.
Haruka, Enchantress, memegang tongkat dengan pita sihir yang melayang tenang. Ia bertugas memperkuat serangan sekutu dan melemahkan kekuatan musuh.
Kaede, Support, menggunakan tongkat ungu dengan inti berbentuk prisma. Ia fokus pada buff tim, perlindungan tambahan, dan kontrol tempo pertarungan.
Fugaku, sang Illusionist, memiliki tongkat panjang berukir pola spiral. Ilusinya mampu menciptakan gambaran palsu, memanipulasi fokus musuh, dan memecah konsentrasi mereka.
Aoki, Scout, tak memakai tongkat, tapi berdiri tidak jauh dari barisan tengah. Tugasnya mendeteksi gerakan musuh, membaca pola kaki Goblin General, dan menentukan rute aman.
Asuka, Tracker, memegang alat sensor magis yang membantunya melacak arah dan pola pergerakan musuh. Ia mendukung Aoki dengan pembacaan lanjutan.
Endo, Hawkeye, berdiri bersama para penembak jarak jauh. Kemampuan tembakannya sangat presisi, memanfaatkan penglihatan super dan bidikan mematikan untuk melemahkan musuh sebelum mereka mendekat.
Hanabi, sang Archer, memegang busur panjang dengan aura merah ringan. Ia unggul dalam tembakan cepat, akurat, dan mengincar titik vital musuh.
Spearman, Shin berdiri di sisi barisan depan-tengah, menggunakan tombak jarak menengah untuk menusuk musuh yang mencoba mendekat dari celah yang tidak dijangkau pedang.
Yuji, Swordsman, mengandalkan kecepatan dan teknik pedang satu tangan. Ia meruntuhkan musuh dari samping formasi, menciptakan celah serangan.
Kaito, Axeman, membawa kapak berat dengan pukulan dahsyat. Tugasnya menghancurkan armor musuh dan membuka peluang bagi DPS lain.
Gojo, Berserker, berdiri dengan napas berat namun stabil. Dalam keadaan normal ia tenang, tapi begitu masuk mode amuk—tekanan serangannya luar biasa.
Yato, Samurai, memegang katana dengan gaya tenang namun penuh bahaya. Serangannya cepat, presisi, dan mematikan dalam satu tebasan.
Hanzo, Ninja, bergerak hampir tanpa suara. Ia berada di sisi barisan belakang, siap menerobos ke depan menggunakan kecepatan tinggi.
Jiro, Martial Artist, berdiri dengan tubuh santai, tangan terangkat ringan. Ia spesialis serangan jarak dekat tanpa senjata, fokus ke serangan cepat dan tekanan bertubi-tubi.
Shigeru, Reaper, memegang sabit mematikan. Aurasnya dingin, gerakannya halus, dan tebasannya selalu bersih serta berbahaya.
Eiji, Tamer, membawa cambuk komando dan artefak sihir untuk memanggil serta mengendalikan binatang buas.
Sai, Monk, berdiri dengan kedua tangan bersiap. Teknik serangannya menggabungkan tenaga dalam, pukulan telapak, dan serangan cepat berbasis energi tubuh.
Ken, Knight, dengan armor penuh dan longsword, menjaga sisi lain dari barisan depan bersama Kouji. Ia adalah pelindung garis kedua, menjamin tidak ada musuh lolos dari pertahanan.
Hajime, Strategist, berdiri paling belakang. Tongkat komandonya berfungsi sebagai alat pemancar pesan taktis. Ia menganalisis jarak, jumlah musuh, formasi tim, alur ruang, dan kemungkinan serangan balik. Dialah otak di belakang seluruh gerakan, pengarah utama, pengatur tempo, dan orang yang nanti akan paling sering berteriak memberi instruksi.
Setiap pahlawan telah mengetahui tugas masing-masing dengan sangat jelas. Barisan depan bersiap sebagai benteng. Barisan tengah adalah inti serangan dan sihir. Barisan belakang adalah otak, penyembuh, pendukung, dan eksekutor presisi.
Dungeon Break atau tidak, mereka akan menghadapi ancaman ini sebagai satu kesatuan.
Ledakan api, kilatan petir, dan dentingan logam memenuhi seluruh lantai 5 dungeon Eldoria. Para pahlawan bergerak cepat, terlatih, dan sangat terkoordinasi—seolah mereka sudah bertarung bersama selama puluhan tahun.
Namun di balik semua itu… sebuah racun tak terlihat telah disebar ke dalam aliran formasi mereka.
Dan orang itu bukan musuh.
Bukan monster.
Bukan fenomena dungeon.
Melainkan salah satu dari mereka sendiri.
Hanzo, si bayangan hidup, si pembunuh senyap, melaju dengan kecepatan gila seperti biasa.
Ia menerobos barisan Goblin General, menari bagai angin, menebas, menghilang, muncul lagi, mengiris, dan kembali lenyap di antara keheningan.
“Jangan kejar aku kalau nggak bisa lihat aku,” gumamnya dengan senyum miring khas Ninja yang tahu dirinya hampir tak tersentuh.
Namun… tiba-tiba, langkahnya terseret setengah detik.
Hanzo mengerutkan kening.
(Hah? Kok kaki ku berat)
Ia menganggap itu hanya tanah dungeon yang licin. Atau sekadar kelelahan.
Dia tidak pernah curiga bahwa seseorang telah mengunci nasibnya sejak satu menit lalu.
Di belakang, Kaede—Support yang biasanya memberi buff penyelamat—mengangkat tongkat ungunya dengan gerakan halus.
Tak ada seruan mantra.
Tak ada lambaian dramatis.
Gerakannya kecil, rapi, dan sangat… disengaja.
Dari ujung tongkatnya, sebuah aura samar berwarna gelap meresap keluar.
Debuff “Slow Veil”.
Efek penghambat gerakan tingkat tinggi yang biasa dipakai untuk memperlambat monster besar.
Lalu…
Debuff “Fragile Shell”.
Minus armor tersembunyi yang tidak akan terdeteksi sebagai anomali di tengah pertempuran.
Kaede memandang Hanzo sebentar.
Kedua matanya sangat tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja mengirimkan racun tak terlihat ke rekan satu timnya.
Tak ada penyesalan.
Tak ada tekanan.
Hanya keheningan seorang eksekutor.
Hanzo maju sekali lagi, mencoba menghindar dari Goblin General yang lebih besar dari biasanya.
Pedang raksasa musuh itu diayunkan dari samping, cepat dan brutal.
Hanzo biasanya bisa menghindari serangan seperti itu bahkan sambil tidur.
Namun kali ini…
Gerakannya tertahan.
Kakinya lambat.
Tubuhnya berat.
Cedera kecil yang seharusnya tidak masuk hitungan kini menjadi lubang besar.
Dan armor fisiknya—yang biasa menahan serangan fatal—tiba-tiba terasa rapuh seperti kaca tipis.
“Eh—”
Itu satu-satunya suara yang keluar dari mulutnya.
CRAASHHH!!
Pedang besar itu menghantam tubuh Hanzo secara penuh.
Darah menyembur tinggi.
Tubuh Ninja yang selalu bergerak seperti angin… terlempar seperti boneka kain.
Ia menabrak dinding dungeon, lalu jatuh ke lantai dengan suara tumpul.
Tubuhnya kejang setengah detik.
Lalu… sunyi.
“HA—HANZO!?" Hanabi berteriak, suaranya pecah.
“Tidak mungkin.” Akari menutup mulutnya, wajahnya shock. “Dia… dia nggak mungkin kena serangan segampang itu… Dia Hanzo.”
Yui memanggil cahaya penyembuhan, tapi berhenti di tengah jalan.
“Armor-nya… kenapa pecah? Ini tidak masuk akal…”
Seluruh pahlawan merasakan hal yang sama:
Ada yang salah. Ada yang sangat salah.
Namun di tengah semua kekacauan itu…
Kaede masih berdiri tenang.
Senyumnya biasa.
Napasnya stabil.
Matanya tak berkedip sedikit pun ke arah tubuh Hanzo yang kian pucat.
Ia bahkan mengucap dengan suara datar:
“Fokus pada pertarungan. Kita masih punya 16 Goblin General lagi.”
Tak ada yang menyadari getaran halus di ujung tongkatnya.
Tak ada yang melihat sisa aura debuff yang sudah menghilang sempurna.
Tak ada yang tahu bahwa kematian Hanzo… bukan kecelakaan.
Itu eksekusi.
Rapi.
Bersih.
Tanpa saksi.
Tanpa bukti.
Melainkan satu potong puzzle dari konspirasi yang baru saja membuka mata.
Pertempuran dengan 17 Goblin General berubah total setelah Hanzo terjatuh. Suasana yang awalnya penuh koordinasi seketika berubah menjadi kekacauan emosional.
Hanabi langsung berteriak, suaranya pecah oleh kepanikan. “Hanzo! Bangun! Jangan tinggalin aku!” Tangan kirinya gemetar saat menarik busur, dan setiap panah yang dilepas bukan lagi serangan terukur, melainkan ledakan emosi.
Panahnya melesat liar tapi justru karena dorongan putus asa itu, kekuatan tarikan busurnya melebihi biasanya. Setiap tembakan nyaris menembus armor kasar para Goblin General, meski tetap tidak langsung membunuh, karena levelnya masih rendah. Namun ekspresi Hanabi sudah hancur; wajahnya merah, basah oleh air mata, dan ia menembak tanpa henti seperti hendak membalas dunia.
“Jaga jarak, Hanabi! Fokus!” teriak Hajime keras dari belakang, namun suaranya kalah oleh desakan emosi sang pemanah. Hajime sendiri sibuk berteriak mengatur formasi, matanya bergerak cepat menghitung situasi. “Jangan terpencar! Kalau ada yang kena critical lagi kita tamat!”
Kouji melihat Hanabi yang kehilangan kendali, dan langsung maju ke garis depan untuk menahan dua Goblin General sekaligus. “Kalau kalian datang, lewatin aku dulu!” teriaknya sambil menangkis tebasan pedang raksasa goblin. Tangan Kouji bergetar keras, dia masih level rendah, jadi setiap benturan membuat lengannya seperti retak dari dalam. Tapi dia memaksa tubuhnya untuk bertahan.
Putri Sena juga maju, memelintir pedangnya dengan teknik dasar yang baru ia pelajari dari Kouji beberapa hari lalu. Gerakannya masih kaku, tapi tekadnya jelas. “Jangan ada yang mati lagi!” teriaknya, lalu menghunuskan pedangnya pada salah satu Goblin General. Serangannya tidak dalam, tapi cukup untuk mengalihkan perhatian musuh dari Ryunosuke yang sedang merapal sihir.
Ryunosuke, Tomoe, dan para mage lain mengangkat tongkat sihir mereka, namun mantra mereka belum sempurna. Cahaya yang mereka keluarkan terputus-putus—power kecil, durasi pendek, efek minim. “Argh, cooldown-nya lama banget!” gerutu Hikari sambil mengumpulkan kilatan listrik di ujung tongkatnya. “Hanzo, dasar idiot! Jangan mati dulu!”
Kaito, yang paling dekat dengan Hanzo selama latihan fisik, meraung penuh kemarahan. “Aku habisin kalian!” Tubuhnya maju sambil mengayunkan kapak besar, tetapi karena level rendah, ayunan itu tidak cukup kuat untuk merobohkan musuh. Bahkan salah satu Goblin General mendorongnya mundur sampai kakinya terseret tanah.
Situasi makin tidak terkendali.
Melihat semua itu, Rey dan Lisa yang dari tadi hanya mengawasi dari belakang akhirnya kehilangan kesabaran.
“Berhenti gila! Kalian semua masih level rendah! Ini bukan duel latihan!” teriak Rey.
Lisa langsung merapal sihir. Angin berputar di sekelilingnya dan api membara di telapak tangannya, dua elemen yang paling dikuasainya. Lalu kilatan petir tipis menyambar dari ujung tongkatnya, elemen ketiganya yang lebih sulit dikendalikan.
“Aku turun tangan,” kata Lisa dengan nada tegas. “Kalau tidak, kalian akan menyusul Hanzo satu per satu.”
Tiga Goblin General melompat ke arahnya. Lisa menepuk tanah dengan tongkatnya dan mengirimkan hembusan angin kuat yang membuat lompatan musuh meleset ke samping. Lalu bola api kecil... karena dia juga membatasi output energi agar tidak membakar para pahlawan... meluncur ke dada salah satu goblin, cukup untuk membuatnya jatuh terhuyung.
Rey tidak kalah cepat. Dengan pedang panjangnya, ia maju ke depan. Namun karena kekuatan musuh tidak ringan, ia harus menebas dua sampai tiga kali untuk menjatuhkan satu Goblin General. “Ini bukan musuh level rendah! Jangan bergerak sembarangan!”
Hanabi, di sisi lain, semakin rusuh.
“Aku nggak peduli! Mereka bunuh Hanzo! Aku bunuh mereka semuaaa!!!”
Dia menarik busurnya dengan kekuatan penuh, panah menembus bahu goblin, lalu panah berikutnya mengenai tenggorokan yang lain meski tidak langsung membunuh. Para Goblin General menggeram, mengalihkan fokus pada pemanah yang hysteris itu.
Kouji refleks berdiri di depan Hanabi. “Kau mau mati juga, hah!? Tenang dulu!”
“JANGAN HALANGI AKU!”
“Kalau kau mati, Hanzo bangkit juga tidak akan bangga padamu!” balas Kouji, memukul plat armour goblin hingga nyaris patah pedangnya sendiri.
Serangan gabungan Rey dan Lisa akhirnya mengurangi jumlah Goblin General perlahan-lahan. Ryunosuke, Tomoe, Hikari, dan para mage lainnya membantu dengan sihir-sihir kecil, walaupun efeknya terbatas.
Putri Sena menutup wajahnya sejenak, menggigit bibir, lalu maju sambil memukul goblin dengan seluruh tenaga. “Hanzo… maaf… aku tidak cukup kuat…”