Bagi Heskala Regantara, kehidupannya di tahun 2036 hanya soal kerja, tanggung jawab, dan sepi. Ia sudah terlalu lama berhenti mencari kebahagiaan.
Sampai seorang karyawan baru datang ke perusahaannya — Aysha Putri, perempuan dengan senyum yang begitu tipis dan mata yang anehnya terasa akrab.
Ia tak tahu bahwa gadis itu pernah menjadi bagian kecil dari masa lalunya… dan bagian besar dari hidupnya yang hilang.
Lalu, saat kebenaran mulai terungkap, Heskal menyadari ...
... kadang cinta paling manis lahir dari kesalahan yang paling tak termaafkan.
•••
"The Sweetest Mistake"
by Polaroid Usang
Spin Of "Gairah My Step Brother"
•••
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Polaroid Usang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2
•••
"Lulusan Harvard, jurusan Business and Global Strategy. Menyelesaikan kuliah dalam tiga setengah tahun—di usia dua puluh satu."
Liane membaca data itu dengan nada datar namun terkesan takjub, sementara Heskal hanya menatap layar transparan di depannya.
"Sebelumnya magang di Veridian Consulting Group, lalu direkrut penuh sebagai Business Partnership Consultant. Sempat mengambil cuti enam bulan di tahun kedua, dan kembali dengan performa yang naik signifikan. Di tahun kelimanya, sudah menjadi salah satu staff senior di divisi yang sama."
Heskal mengetukkan jarinya di meja, pelan. "Menarik." Sudut bibirnya tertarik samar.
"Dia juga beberapa kali memimpin proyek kolaborasi lintas negara—terutama di bidang teknologi dan pengembangan AI. Salah satu proyek terakhirnya adalah negosiasi kerja sama dengan AI-RynTech."
Heskal akhirnya mengalihkan pandangan dari layar ke arah sekretarisnya. Tatapannya tenang, tapi ada kilatan singkat yang sulit didefinisikan—entah ketertarikan profesional atau sesuatu yang lain.
"Masukkan departemennya ke daftar rapat pagi ini."
"Baik, Pak." Liane mencatat cepat di tabletnya, lalu menambahkan, "Departement Business Development akan saya informasikan. Rapat dimulai pukul sembilan."
"Hm."
Heskal kembali menatap layar di depannya. Nama itu—Aysha Putri—muncul jelas di panel data.
Entah kenapa, nama itu mulai terasa sedikit... familiar.
•••
Heskala Regantara.
Sosoknya sekarang benar-benar berbeda dari sosok yang pernah Aysha kenal. Lelaki itu kini benar-benar terlihat dewasa, terlihat bisa diandalkan untuk banyak hal.
Gerak-geriknya tenang, tapi tegas. Matanya tak lepas memandang layar transparan bergantian dengan staff yang sedang presentasi, sesekali mengangguk dan juga mengernyit. Lalu mengomentari beberapa hal, menambahkan, memberi saran dan menyetujui.
Seluruh divisi telah menyelesaikan presentasinya. Heskal menutup kedua tangan di atas meja, jemarinya saling mengunci, ekspresinya datar tapi matanya tajam menilai.
"Okay." katanya akhirnya, suaranya berat tapi tenang. "Secara keseluruhan, progres berjalan sesuai timeline."
Beberapa kepala menunduk mengangguk cepat.
"Untuk pengembangan sistem internal, saya ingin revisi update bulanan dikirim langsung ke saya maksimal besok pagi. Setelah itu baru kalian sampaikan pada HTH Technology." Nada suaranya terdengar seperti perintah, bukan permintaan.
Setelah jeda singkat, layar transparan didepan mereka menampilkan logo baru, LUMINA. Warna biru muda holografik itu menyoroti ruang rapat yang tiba-tiba terasa lebih dingin.
"Selanjutnya," lanjut Heskal, "ada rencana kerja sama tahap awal dengan AI-RynTech. Proyek Lumina."
"Untuk divisi lain," ia menambahkan, "kalian bisa lanjutkan dengan persiapan laporan bulanan. Pastikan semua revisi presentasi sudah dikirim sebelum sore. Divisi Strategic Partnership, tetap ditempat."
"Baik, Pak," jawab mereka serempak.
Dan di sanalah, Aysha menegakkan punggungnya perlahan — belum tahu, bahwa rapat dadakan kecil itu akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih rumit dari sekadar urusan bisnis.
•••
"Lumina." Heskal berucap pelan, tegas.
Tujuh orang yang tersisa di ruang rapat itu — Aysha, Kepala Divisi, dan lima anggota lain termasuk Daryl — refleks menatap layar hologram didepan mereka. Dimana tulisan Lumina terpampang jelas dengan logonya.
"Proyek yang kalau berhasil, akan jadi langkah terbesar Regantis Tech Group dalam lima tahun ke depan."
"Lumina bukan sekadar sistem pencahayaan adaptif," lanjutnya. "Ini adalah upaya kita memadukan teknologi, psikologi, dan kesehatan mental dalam satu ekosistem cerdas. Sebuah ruang terapi. Ruang yang mampu menyesuaikan intensitas cahaya, warna, bahkan aroma berdasarkan kondisi emosional penggunanya."
Ia berhenti sejenak, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Nada suaranya tenang, tapi setiap kata terasa tajam. Layar transparan berganti menampilkan logo perusahaan lain, AI-RYNTECH.
"Kalau kita bisa mengintegrasikan Lumina dengan sistem neuro-sensor dari AI-RynTech, bukan hanya rumah pintar yang kita ciptakan, tapi terapi berbasis teknologi—alat bantu penyembuhan stres, insomnia, bahkan trauma pasca-kejadian."
Beberapa orang menatap kagum, sebagian lain mencatat cepat. Aysha hanya diam, matanya menatap layar hologram di depan.
"Namun kerja sama ini," Heskal kembali bicara, "tidak bisa kita anggap ringan. AI-RynTech bukan perusahaan kecil—mereka tidak akan mudah diajak bicara tanpa alasan yang jelas. Karena itu, saya ingin orang-orang yang terlibat nanti bukan hanya paham teori, tapi juga bisa berpikir strategis, dan… punya pengalaman dibidang ini."
Ia menatap ke arah tim Strategic Business, lalu berhenti tepat pada Aysha.
"Aysha?"
Aysha menelan ludahnya tanpa sadar, "Ya, Pak?"
Jantungnya mulai berdebar keras hanya karena namanya terucap oleh bibir Heskal.
"Saya sudah baca CV kamu. Sebelumnya bekerja di luar, Veridian Consulting Group, sebagai Business Partnership Consultant. Dan di tahun kelima, di usia 26 tahun, sudah menjadi satu-satunya staff senior termuda di divisi itu. Benar?"
Rekan kerjanya sontak menatapnya kaget, kagum, tak menyangka.
"Benar, Pak." Balas Aysha, perasaannya mulai tidak enak.
"Pernah ikut proyek kerjasama dengan AI-RynTech juga, bukan?"
"Iya, Pak."
Tanpa sadar, tangan Aysha dibawah sana meremas roknya. Bukan karena merasa tegang karena pembahasan ini, tapi karena tatapan Heskal sejak tadi tak beralih sedetik pun dari matanya.
Heskal duduk bersandar, menatap layar hologram di mejanya sekilas, lalu matanya berpindah dari layar ke arah Aysha.
"Jadi, kamu pikir kerja sama dengan AI-RynTech ini penting untuk Lumina?"
Aysha menatapnya sebentar, lalu mengangguk mantap.
"Iya, Pak. Kalau kita ingin Lumina lebih dari sekadar sistem pencahayaan, kita butuh teknologi mereka. Sensor mereka bisa bantu ruangan membaca emosi seseorang dengan lebih akurat."
Heskal menaikkan alis tipis. "Itu saja?"
Aysha tersenyum kecil, tapi nada suaranya tetap tenang.
"Kurang lebih begitu. Tapi bukan hanya tahu, Pak. Lumina harus bisa merespons—bikin orang merasa lebih tenang, bukan malah diawasi."
Beberapa kepala menoleh ke arahnya, tampak tertarik dengan cara Aysha menjelaskan. Heskal hanya menatapnya beberapa detik tanpa bicara, lalu mengangguk pelan.
"Kamu bicara seolah tahu persis apa yang dibutuhkan orang untuk merasa tenang."
Aysha sempat terdiam sepersekian detik, tak menyangka akan balasan itu yang dirasa keluar dari konteksnya.
Perempuan itu membalas pelan. "Mungkin karena saya juga pernah butuh hal itu, Pak.”
Hening singkat menggantung. Lalu Heskal menunduk, mengetuk meja ditempatnya. Disana, tak ada yang berani berbicara. Karyawan lama mulai merasa ada yang berbeda, seakan ini bukan pembicaraan tentang proyek saja.
Heskal mengangkat pandangan, membuat Aysha lagi-lagi menahan nafasnya saat Heskal kembali menatapnya langsung tanpa disembunyikan.
"Baik. Siapkan draft awal kerja sama dengan AI-RynTech. Saya ingin kamu ikut dalam tim negosiasi proyek Lumina."
Aysha sedikit terkejut, tapi cepat menyembunyikannya dengan senyum tipis.
"Baik, Pak."
Dan saat ia menunduk mencatat, perasaannya sedikit aneh—antara gugup, bangga, dan… dipertaruhkan.
•••
Aysha menjatuhkan tubuhnya perlahan ke kursi. Ruangan Department Business Development masih ramai—suara tuts keyboard, dengung mesin pendingin, dan obrolan kecil tentang hasil rapat tadi pagi. Tapi bagi Aysha, semuanya terdengar seperti gema jauh di belakang kepala.
Tangan kirinya meraih cangkir kopi di meja, tapi tak segera diminum. Matanya justru terpaku pada pantulan wajahnya di permukaan meja kaca.
"Kenapa dia milih aku…" gumamnya pelan, nyaris tak bersuara.
Selama lima tahun bekerja di luar negeri, dia sudah terbiasa menghadapi atasan yang menuntut, rapat besar yang penuh tekanan, negosiasi lintas zona waktu, bahkan klien dengan ego sebesar perusahaan tempatnya bekerja. Tapi baru kali ini—baru kali ini, satu tatapan dari seseorang bisa membuat pikirannya bertahan lebih lama dari seluruh rapat pagi tadi.
Heskala Regantara. Nama itu terus terngiang.
Aysha mengembuskan napas panjang. Ia tahu persis, di perusahaan sebesar ini, hal seperti "terpilih langsung oleh CEO" bukan perkara biasa. Biasanya semua sudah difilter lewat kepala divisi, atau minimal lewat rapat koordinasi. Tapi tadi? Heskal yang menanyakan langsung. Menyebut proyek Lumina seolah ingin melihat responnya, dan menghentikan rapat begitu Aysha selesai bicara.
Itu bukan hal yang bisa dianggap sepele.
Tapi juga bukan hal yang mau ia besar-besarkan. Tidak sekarang. Tidak di minggu keduanya bekerja di sini. Dirinya berusaha mempercayai bahwa Heskal memilihnya murni karena pengalaman kerjanya yang juga pernah mengatur negosiasi dengan AI-RynTech.
Ia menyandarkan punggung, menatap ke arah jendela besar yang menampilkan pemandangan kota. Langit tampak bersih, terlalu bersih untuk hari seberisik ini.
Dan untuk pertama kalinya sejak kembali ke Indonesia—sejak meninggalkan hidup lamanya di luar negeri—Aysha merasa, mungkin dia memang sedang menuju sesuatu yang tak bisa dihindari.
Entah proyek besar … atau sesuatu yang jauh lebih rumit dari itu.
Perlahan, pertanyaan tentang apakah keputusannya kembali ke Indonesia itu tepat atau tidak kembali muncul.
Namun sebelum pikirannya sempat menjawab, notifikasi berbunyi di layarnya.
[From: CEO Office – H. Regantara]
Subject: Draft Meeting Schedule – Project Lumina
Aysha membukanya, tapi alisnya langsung bertaut. Rapat pertama untuk pembahasan detail Lumina dijadwalkan... besok pagi, pukul 07.30. Lebih awal dari jadwal kantor manapun.
Dan di bawahnya, ada catatan singkat yang seharusnya dikirim oleh asisten, tapi jelas-jelas diketik langsung oleh Heskal sendiri. Satu kalimat sederhana.
"Saya ingin lihat cara kamu berpikir, bukan hanya hasilnya." – H. Regantara
Aysha menatap layar itu cukup lama.
Jantungnya berdetak lebih cepat—bukan karena takut, tapi karena entah kenapa, kalimat itu terasa seperti sesuatu yang lebih dari sekadar instruksi kerja.
Sementara di ruangannya, Heskal masih duduk dalam diam. Cahaya hologram memantul di matanya, menyoroti layar yang masih menampilkan email yang baru saja dikirimnya tanpa sempat berpikir ulang.
Tangannya mengepal perlahan, "Kenapa kesannya gua kayak nggak sabaran gitu buat ketemu dia lagi?"
Di luar, hujan mulai turun tipis-tipis di atas gedung Regantis.
Dan di dalam dua kepala yang sama-sama menolak mengingat, masa lalu mulai bergerak pelan—menunggu saatnya terbuka lagi.
•••
Kayak bisa banget jabarin perasaan tokohnya, bikin kita bener2 ngerasain apa yang tokoh rasain😭😭😭
penulisannya juga rapi, tanda bacanya rapi, enak bgt dibacaaa!!
love bgt pokoknyaaa🥰🥰
DEGDEGANNN