____________________________
"Dar-Darian?" suaranya pelan dan nyaris tak terdengar.
"Iya, akhirnya aku bisa membalas kejahatan mu pada Nafisha, ini adalah balasan yang pantas," ucap Darian Kanny Parker.
"Kenapa?" tanyanya serak dengan wajah penuh luka.
"Kau tak pantas hidup Cassia, karena kau adalah wanita pembawa masalah untuk Nafisha," ujarnya dengan senyum sinis.
Cassia Itzel Gray, menatap sendu tunangannya itu. Dia tak pernah menyangka akan berakhir di tangan pria yang begitu dirinya cintai. Di detik-detik terakhir. Cassia masih mendengar hal menyakitkan lainnya yang membuat Cassia marah dan dendam.
"Keluarga Gray hancur karena kesalahan mu, Cassia! Aku lah yang membuat Gray bangkrut dan membuat kedua orang tuamu pergi, jadi selamat menemui mereka, Cassia! Ini balasan setimpal untuk setiap tetes air mata Nafisha," bisik Darian dengan senyum menyeringai!
DEG!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senjaku02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
Jeans ketat dipadu kaos sederhana, sepatu boots kukuh, dan jaket kulit hitam menempel di tubuhnya, seolah menjadi tameng menghadang badai perasaannya.
Mesin meraung saat ia menyalakannya, dan dengan napas yang memburu, Cassia melesat ke jalan, meninggalkan jejak asap serta segala beban yang menggerayangi hatinya.
Beberapa menit kemudian, motor Cassia berhenti di depan sebuah rumah megah berlantai dua, dindingnya bercat putih dipadu warna mocca yang hangat.
Di halaman, deretan motor dan mobil terparkir rapat, tanda jelas bahwa para sahabat serta seniornya sudah berkumpul di dalam. sebuah reuni yang akan segera mengguncang hatinya dengan gelombang kenangan dan rahasia yang lama terkubur.
Tanpa ragu, Cassia melompat turun dari motor. Matanya menatap rumah itu sekejap, lalu senyum tipis menghias bibirnya—senyum yang penuh tekad dan luka tersembunyi.
Dia menarik napas dalam, berusaha menenangkan badai yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Karena sebentar lagi, dia harus menghadapi dua sosok yang paling dia benci mereka yang bisa merobek jiwa dan meruntuhkan segala harapannya.
Namun, kali ini, Cassia bertekad tak akan membiarkan amarah menguasainya.
...****************...
"Hai semua!" Cassia menyapa dengan suara cerah begitu mendorong pintu rumah sahabatnya.
Namun, di balik senyum itu, matanya menyimpan ribuan pertanyaan yang belum terucap. Apa yang menanti di balik pintu itu? Gugup dan harap bercampur menjadi satu dalam detik-detik yang menggantung.
Orang-orang di ruangan itu serentak menoleh saat suara itu terdengar, mata mereka tertuju pada sosok Cassia yang baru melangkah masuk.
Di antara kerumunan, salah satu sahabat karib sekaligus tuan rumah, Roselia Fredericka bergegas menghampiri dengan langkah tergesa-gesa.
Tanpa pikir panjang, dia merangkul Cassia erat, seolah takut kehadirannya hanyalah mimpi yang segera menghilang. “Cassia... akhirnya kamu datang juga! are you oke?” Suara Rose bergetar, penuh kekhawatiran yang terpendam lama.
Bola matanya yang hijau bersinar menatap dalam, mencoba mencari jawaban dari wajah Cassia yang sedikit pucat.
Cassia menghela napas, matanya menyiratkan perjuangan yang tak terlihat. “ I'm oke, Rose. Kamu lihat sendiri, kan?” Jawabnya dengan suara pelan, tapi tegar seolah berkata tanpa perlu banyak kata bahwa badai di dalam dirinya belum sepenuhnya usai, namun ia memilih berdiri di sini, menantang segala keraguan yang sempat membelenggunya.
Di sudut ruang itu, Darian dan Nafisha berdiri membeku, mata mereka tertuju tajam pada Cassia. Tatapan dingin itu seperti duri yang menusuk kulit, membakar setiap helai pikirannya.
Cassia bisa merasakan gelombang kebencian yang tersembunyi di balik mata mereka bukan hanya kebencian biasa, tapi kebencian yang mengancam untuk meledak kapan saja. Dia hanya melirik sekilas, tahu bahwa di balik diam mereka, perang diam tengah berkecamuk.
Rose menarik Cassia dengan lembut namun tegas, membawanya bergabung dengan kerumunan yang sudah menunggu. Ia mendudukkan Cassia di sisi dekat dirinya dan sahabat-sahabat lainnya, menciptakan sebuah lingkaran yang seolah ingin menghalau kesendirian.
Namun, Cassia tetap diam, berbeda dari kebiasaannya yang selalu mencari-cari perhatian Darian dengan menempel erat padanya.
Darian menyipitkan mata, mengernyit bingung. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya menghimpit dadanya.
Sebuah kegelisahan yang tanpa sadar mulai merayapi pikirannya, walau ia berusaha keras menepisnya, menganggapnya hanyalah bayangan sesat yang tidak perlu dipikirkan lagi.
Di sudut lain, mata penuh cinta itu tak berani lebih dekat. Seseorang menatap Cassia dengan lembut tapi terbatas, seolah takut kehadirannya akan mengusik keseimbangan yang rapuh itu. Jarak terasa menjadi benteng antara kerinduan dan keberanian, membuat tatapan itu menjadi penuh kerinduan yang tersimpan rapat dalam diam.
...****************...
"Hay Zhela," Cassia menyapa temannya yang duduk diam di sofa.
"Hay, kau baik-baik saja, kan?" Arzhela bertanya dengan nada suara cukup Khawatir, sebab kemarin dia melihat sendiri bagaimana Cassia pingsan.
"Seperti yang kamu lihat, maaf sudah membuat kalian semua khawatir," ucapnya, dia menatap sendu kedua temannya.
"Cas, ini bukan salahmu." Zhela menjawab, dia lalu melirik sekilas dan kembali melanjutkan ucapannya,"Tapi salah seseorang yang duduk tenang dan tak tahu malu," sindiran itu halus. Namun, menusuk bagi orang yang di maksud Arzhela.
Sedangkan orang yang di maksud Arzhela hanya bisa meremat pelan ujung baju yang di kenakan malam ini, dia menatap dengan sendu seolah hatinya benar-benar tersakiti."Darian!" panggilnya dengan suara parau.
Darian, pria itu menoleh dan saat dia akan membela gadis di sampingnya itu. Tapi belum sempat dirinya bersuara, Rose menginterupsi sindiran Arzhela tadi.
"Zhel, jangan bicara apapun!" tegur Rose, gadis cantik bermata sedikit kehijauan itu tak ingin ada keributan.
"Memangnya apa yang aku katakan?" jawabnya acuh. Dia kembali mengambil ponselnya dan men-scroll akun media sosialnya dengan tenang.
Arzhela Viorie Haven adalah seorang Selebgram, dia cantik dan berbakat, bahkan gadis cantik 17 tahun itu sudah pernah menjadi seorang model, dan beberapa waktu lalu dirinya juga sempat di tawari bermain film bertema remaja. Namun, dia enggan sebab menurutnya itu akan sangat merepotkan di tengah kesibukannya di sekolah.
"Mau minum?" suara Rose kembali memecah keheningan di tengah gemuruh kemarahan yang tak terlihat.
"Boleh, apa kamu punya jus jeruk?" Cassia haus, apalagi kemarahan yang dirinya pendam membuat tenggorokannya terasa kering.
"Ada, akan aku ambil. Sebentar ya!" Rose bangun, dia berjalan menuju dapur dan meminta bantuan pelayan di rumahnya untuk membuat minuman bagi semua Teman-temannya.
"Zhel," tepuk Cassia, dia mendekat pada Arzhela yang begitu sibuk.
"Iya, kamu butuh sesuatu?" Arzhela meletakkan ponsel mahalnya di meja, dan tatapannya beralih pada Cassia yang tampak sekali khawatir dan seperti menyimpan sesuatu.
"Kemana Ara? Tumben dia tidak datang?" Cassia menanyakan salah satu sahabatnya yang lain.
"Dia ada acara keluarga," jawabnya lembut.
"Oh, aku pikir dia sedang sakit."
Arzhela menggeleng, dia melanjutkan obrolan ringan dengan Cassia dan melupakan beberapa pesan yang masuk kedalam ponsel mahalnya itu.
Sedangkan di sudut lain, tatapan seseorang yang pernah putus pada sosok Cassia yang sejak tadi tampak berbeda, pria itu merasa ada sesuatu yang coba Cassia sembunyikan di tengah kerumunan banyak orang.
"Jangan menatapnya seperti itu, Dax!" tepukan sekaligus teguran pada sosok pria tampan bernetra hitam itu membuat dia segera menoleh.
Tak ada jawaban, ataupun suara yang keluar dari bibir sedikit tebal bervolume itu. Pria itu tenang dan nyaris tak bisa dia tebak.
Orang yang menepuk tadi meringis, Giovano menatap Dax dengan wajah malu dan agak takut juga ngeri, sebab pria tampan bernetra hitam pekat itu memang sulit sekali di ajak bercanda.
"Aku hanya memberitahu!" ujarnya pelan dan nyaris tak terdengar bahkan hanya seperti sebuah bisikah di tengah kesunyian.