“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”
Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.
Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.
Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.
Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tak pernah perduli
Siang itu, suhu di dalam pabrik semakin panas. Mesin-mesin berputar kencang, suara bising membuat kepala Rani terasa berdenyut. Keringatnya bercucuran, tubuhnya kian melemah.
Ia mencoba berdiri tegak, tetap bekerja seperti biasa. Tapi perut kosong sejak semalam membuat tenaganya terkuras habis. Pandangannya mulai berkunang-kunang, langkahnya goyah.
“Ran! Kamu nggak apa-apa?” suara Nadia terdengar dari kejauhan, tapi bagi Rani, suara itu samar.
Dalam hitungan detik, tubuh Rani ambruk ke lantai dingin. Semua pekerja di sekitarnya menjerit kecil, beberapa buru-buru menghampiri.
“Rani! Astaga, Rani!” Nadia segera berlari, memeluk tubuh sahabatnya yang lunglai. Wajah Rani pucat pasi, napasnya tersengal lemah.
“Seseorang tolong ambil air! Cepat!” teriak Nadia panik.
Seorang rekan kerja menyerahkan botol air, Nadia segera membasahi bibir Rani perlahan. Tangannya gemetar, tapi matanya menyala dengan amarah sekaligus kepedihan.
“Ran… kamu denger aku nggak? Ini aku, Nad. Jangan paksain diri kayak gini, tolong…” suaranya bergetar.
Rani membuka mata setengah, pandangannya buram. Bibirnya bergetar, hampir tak terdengar.
“Aku… aku cuma… capek, Nad.”
Air mata Nadia jatuh. Ia menggenggam erat tangan sahabatnya.
“Ya Allah, Rani… lihat apa yang kamu lakukan pada dirimu sendiri. Demi orang yang bahkan nggak pernah peduli sama kamu! Ini sudah kelewatan, Ran. Kamu harus sadar!”
Rekan-rekan lain membantu mengangkat Rani ke ruang istirahat kecil di pabrik. Nadia terus mendampingi, menyeka keringat dari wajah sahabatnya dengan kain.
Dalam hati, Nadia bersumpah—ia tidak akan tinggal diam lagi melihat Rani dihancurkan oleh suami dan mertua yang hanya tahu menuntut.
Rani terbaring di ranjang sempit klinik pabrik. Selang infus menempel di tangannya, sementara wajahnya masih pucat pasi. Di sampingnya, Nadia duduk dengan tatapan penuh khawatir, tak lepas menggenggam tangan sahabatnya.
“Ran, kamu nggak mau pergi aja dari rumah itu?” tanya Nadia pelan, tapi tegas. Ada getar emosi dalam suaranya, seolah menahan amarah pada Andi dan keluarganya.
Rani hanya menggeleng lemah, matanya berkaca-kaca.
“Kalau aku pergi… aku harus pergi ke mana, Nad? Aku nggak punya siapa-siapa. Aku nggak punya tempat untuk pulang.”
Nadia mencondongkan tubuh, suaranya terdengar lembut tapi penuh tekad.
“Kamu bisa tinggal di rumahku yang lama. Masih kosong, nggak ada yang menempati. Aku bisa bantuin kamu mulai hidup baru, Ran. Tolong jangan terus-terusan menyiksa diri begini.”
Namun lagi-lagi, Rani menggeleng. Air mata jatuh pelan di pipinya.
“Aku takut, Nad… Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa Andi. Meskipun dia sering menyakitiku… dia satu-satunya yang kupunya sekarang.”
Nadia menatap Rani lama sekali, hatinya remuk melihat sahabat yang begitu terikat oleh cinta yang salah. Ia menarik napas dalam, lalu berkata tegas,
“Ran… yang kamu punya sekarang bukan cinta, tapi belenggu. Kamu terus bertahan di dalam rumah yang membunuhmu pelan-pelan. Aku nggak mau suatu hari nanti cuma bisa dengar kabar kalau kamu benar-benar jatuh dan nggak bangkit lagi.”
Rani terdiam. Kata-kata itu menghantam hatinya seperti petir. Ia menatap Nadia, lalu menunduk lagi, menahan perasaan yang campur aduk—antara cinta, takut, dan juga keraguan yang mulai merobek keyakinannya sendiri.
---
Siang itu, setelah diperiksa oleh perawat di klinik pabrik, mandor datang menjenguk. Lelaki berperawakan tegap itu menatap Rani dengan wajah prihatin.
“Rani, kondisi kamu lemah sekali. Hari ini jangan kerja dulu. Pulanglah, istirahat di rumah. Nanti kalau sudah lebih baik, baru masuk lagi.” ucapnya tegas tapi lembut.
Rani ingin menolak, ingin tetap bekerja karena takut kehilangan upah. Namun tubuhnya benar-benar tak sanggup. Akhirnya ia hanya mengangguk pelan.
“Baik, Pak… terima kasih.”
Dengan langkah gontai, ditemani Nadia, Rani pulang ke rumah. Hatinya waswas, tapi ia mencoba meyakinkan diri bahwa Andi akan mengerti.
Namun sesampainya di rumah, ketakutannya terbukti. Andi sudah duduk di ruang tamu bersama Bu Marni, wajah keduanya menegang.
Begitu melihat Rani, Andi langsung berdiri.
“Kamu ini apa-apaan, Ran? Baru juga siang sudah pulang? Seenaknya aja bolos kerja! Kamu kira uang jatuh dari langit?!”
Rani terlonjak, buru-buru menjelaskan.
“Mas, aku… aku pingsan di pabrik. Mandor yang suruh aku pulang istirahat. Aku—”
Belum selesai bicara, Bu Marni menyambar dengan suara lantang.
“Alasan! Pingsan apanya? Pura-pura sakit biar nggak kerja, ya? Memangnya kamu pikir bisa hidup enak di rumah anakku kalau cuma ongkang-ongkang kaki? Dasar pemalas!”
Air mata Rani langsung mengalir, ia menunduk, tubuhnya gemetar.
“Aku sungguh sakit, Bu. Badanku lemah, aku bahkan belum makan dari kemarin…”
Andi mendengus, matanya melotot penuh amarah.
“Itu salahmu sendiri! Kamu yang nggak bisa atur badanmu, nggak bisa atur uang, nggak bisa atur apa-apa! Jangan manja, Ran. Kalau sakit sedikit aja udah tumbang, gimana bisa aku andalkan kamu sebagai istri?!”
Rani menatap suaminya dengan pandangan penuh luka, suaranya lirih bergetar.
“Mas… aku sudah berusaha. Aku kerja sampai habis tenagaku, semua demi kamu, demi keluarga ini. Apa masih kurang… pengorbananku?”
Namun, jawaban yang ia dapat hanyalah tawa sinis Bu Marni.
“Kurang? Jelas kurang! Selama kamu masih ada di rumah ini, anakku nggak bakal pernah bahagia. Kalau aku jadi Andi, udah kuceraikan kamu sejak lama!”
Andi terdiam sejenak, wajahnya dingin. Kata-kata ibunya seperti mengendap di pikirannya. Sementara Rani berdiri kaku, air matanya jatuh semakin deras. Saat itu ia sadar… tubuhnya boleh saja pulang untuk beristirahat, tapi hatinya tak lagi punya tempat untuk pulang.
Setelah puas melontarkan amarah dan caci maki, Andi meraih kunci motornya. Ia menatap ibunya lalu berkata pendek,
“Ayo, Bu. Kita pergi saja. Males aku lihat dia nangis mulu.”
Bu Marni berdiri sambil mendengus sinis.
“Iya, Ndi. Biarkan saja. Percuma ngomong sama perempuan nggak tahu diri.”
Keduanya keluar, meninggalkan pintu terbuka begitu saja. Rani berdiri kaku di ruang tamu, matanya masih sembab, tubuhnya lemah. Hening menusuk telinga, hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Perlahan, ia menyeret langkah menuju dapur. Perutnya perih minta diisi, tapi ia masih menyimpan harapan bisa menemukan sisa lauk yang dimasaknya pagi tadi.
Namun, yang tersisa di meja hanya piring kosong berlumur minyak. Lauk-pauk yang ia siapkan—sayur bening, ikan goreng, tempe—semuanya sudah habis. Yang tersisa hanyalah sepotong kecil singkong rebus di panci tua.
Rani menatap singkong itu lama sekali. Air matanya kembali jatuh.
“Aku masak untuk mereka… tapi tak sepotong pun tersisa untukku.” bisiknya lirih.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil singkong itu, menaruhnya di piring, lalu duduk di kursi kayu. Giginya hampir tak sanggup mengunyah, bukan karena kerasnya singkong, tapi karena hatinya sudah terlalu lemah.
Saat itu, suara pintu pagar kecil terdengar. Seorang wanita paruh baya, tetangganya, Bu Wati, muncul sambil membawa kantong plastik berisi makanan. Wajahnya teduh, penuh iba.
“Rani…” panggilnya pelan. “Kamu nggak apa-apa, Nak? Dari tadi saya dengar ribut-ribut di rumahmu.”
Rani buru-buru menyeka air matanya, memaksa tersenyum.
“Aku… aku nggak apa-apa, Bu.”
Bu Wati menatap singkong di piring, lalu menatap wajah Rani yang pucat. Ia menghela napas dalam, lalu meletakkan kantong plastik di meja.
“Ini ada ayam goreng, sayur asem, sama obat penurun panas. Saya sengaja bawain buat kamu. Kamu butuh makan yang layak, Ran. Tubuhmu udah terlalu kurus.”
Rani tertegun, hatinya tersentuh. Air matanya jatuh lagi, kali ini karena rasa haru. Ia menggenggam tangan Bu Wati erat-erat.
“Terima kasih, Bu… terima kasih banyak. Saya… saya benar-benar nggak tahu harus bagaimana kalau bukan karena kebaikan Ibu.”
Bu Wati tersenyum hangat, menepuk punggung tangan Rani.
“Kamu jangan terus-terusan begini, Nak. Hidupmu masih panjang. Jangan habiskan dirimu untuk orang-orang yang nggak pernah menghargaimu.”
Rani menunduk, hatinya bergetar hebat. Kata-kata Bu Wati dan Nadia bergema di kepalanya. Mungkin, sudah waktunya ia benar-benar memikirkan jalan keluar.
---
bukan ada apanya🤲🤲🤲
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
di neraka .