NovelToon NovelToon
Pewaris Kerajaan Mafia

Pewaris Kerajaan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Identitas Tersembunyi / Kelahiran kembali menjadi kuat
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: ZHRCY

Ethan, seorang kurir yang diperlakukan seperti sampah oleh semua orang, dikhianati oleh pacarnya, dipecat oleh bosnya. Tepat pada saat dia hampir mati, seorang lelaki tua memberitahunya identitas aslinya. Sekarang, dia bukan lagi sampah yang tidak berguna, dia disebut Dominus, raja dunia!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZHRCY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 3

Tak ada yang lebih sunyi dari anak yang tidak pernah diharapkan.

Bagi sebagian anak panti, hidup tanpa orang tua memang menyakitkan. Tapi bagi Ethan, yang tidak tahu bahkan siapa dirinya, hidup adalah luka yang tidak bisa dijahit. Tiap pagi terasa seperti hukuman, dan tiap malam hanyalah pengulangan dari kesepian yang sama.

Sekalipun tidak ada yang menyatakan terang-terangan bahwa ia tidak diinginkan, sikap mereka cukup berbicara. Saat makan malam, bangku di samping Ethan selalu kosong. Anak-anak lain berbicara dengan berbisik saat ia lewat. Bahkan para suster mulai membatasi kontak.

“Anak itu berbeda,” kata Suster Agnes pada Mira, suatu hari. “Tatapannya… seperti orang dewasa yang pernah melihat pembunuhan.”

Mira tidak menjawab. Di hatinya, Ethan adalah anak yang kuat, tapi ia pun tahu—anak itu menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar trauma.

Suatu siang di lapangan belakang panti, seorang anak baru—Diego—mendekati Ethan.

“Kau suka main bola?” tanyanya polos.

Ethan menggeleng.

“Kau suka apa?”

Ethan diam sebentar. “Diam.”

Diego tertawa kecil. “Kau aneh.”

Tapi sebelum Ethan bisa menjawab, sekelompok anak yang lebih tua menghampiri. Dario, yang wajahnya masih menyimpan bekas luka lama, tersenyum mengejek.

“Kau mengajak ngobrol si monster? Hati-hati, nanti dia robek tenggorokanmu,” katanya pada Diego.

Anak-anak lain tertawa.

“Hey, Ethan. Kau mau bergabung? Kita akan buat kandang baru. Kau cocok dijadikan penjaganya. Diam dan ganas.”

Ethan hanya menatap mereka. Tidak menjawab. Tidak marah.

“Lihat tuh. Wajahnya seperti hewan peliharaan yang gagal.”

Tawa semakin keras. Tapi Ethan hanya membungkuk, mengambil bola dari bawah bangku, dan melemparkannya ke arah pagar. Ia pergi meninggalkan mereka begitu saja.

Diam, tenang, tapi mata itu... lebih tajam dari pisau dapur.

Di malam-malam yang sepi, Ethan mulai berlatih sendirian. Dia tidak tahu kenapa, tapi gerakan tubuhnya seperti mengingat sesuatu yang otaknya lupakan. Kuda-kuda. Pukulan lurus. Tangkisan. Ia tidak pernah diajari. Tapi tubuhnya tahu.

Setiap malam, ia berlatih dengan benda-benda seadanya, meninju kasur, melompati bangku, berdiri di satu kaki sambil menutup mata.

Suster Mira pernah memergokinya. “Apa yang kau lakukan?”

“Bernafas,” jawab Ethan singkat.

Mira ingin menasihatinya, tapi ia tahu anak itu sudah hidup di dunia yang tidak bisa dijangkau orang lain.

Saat usia Ethan mendekati tujuh belas, dia mulai mencari pekerjaan. Panti membatasi akses anak-anak ke luar. Tapi Ethan punya cara sendiri. Ia mulai membantu di pasar setiap akhir pekan, membawa barang, mengangkat karung, membersihkan lapak.

Orang-orang mulai mengenalnya sebagai “anak panti yang kuat”.

Tapi tetap saja, cap buruk tetap melekat. Jika terjadi kehilangan, nama Ethan disebut pertama. Jika ada perkelahian, bahkan jika dia tidak terlibat, dia yang dipanggil lebih dulu.

“Dia memang tidak cocok di sini,” bisik Suster Agnes, suatu malam. “Bukan karena dia jahat. Tapi karena dunia ini tidak tahu harus apa dengan dia.”

Puncaknya terjadi saat Dario dan teman-temannya menjebak Ethan dalam kamar mandi belakang. Mereka menguncinya dari luar lalu melemparkan ember kotor dari ventilasi.

“Selamat mandi, monster!” teriak mereka.

Saat pintu akhirnya dibuka dua jam kemudian, Ethan keluar dalam diam. Tidak berkata apa-apa. Tapi malam itu, Dario mendapati semua pakaiannya dipotong rapi hingga hanya tinggal sobekan kain. Tidak ada yang tahu pelakunya.

Tidak ada yang dituduh.

Tapi semua tahu, Ethan membalas tanpa perlu berkata satu kata pun.

Beberapa hari kemudian, Ethan duduk di depan Suster Mira. Di tangan suster itu, ada map kuning tipis dan sebuah amplop kecil.

“Aku tahu kau akan bicara soal ini suatu saat,” ucap Mira tenang.

“Aku ingin pergi,” kata Ethan.

“Kau yakin?”

“Aku tidak tahu siapa aku. Tapi aku tahu aku tidak akan menemukan jawabannya di sini.”

Suster Mira menatap mata itu—mata yang tidak pernah berubah sejak pertama kali ia melihatnya, mata anak yang dibentuk oleh kehancuran.

Ia menyerahkan map itu. “Ini semua yang bisa kami bantu. Dokumen identitas. Uang seadanya. Dan alamat tempat kerja informal di pusat kota. Mereka butuh anak kuat. Mereka tidak peduli siapa kamu.”

Ethan bangkit. Ia menunduk perlahan. “Terima kasih.”

“Kau akan kembali suatu hari?”

Ethan tidak menjawab. Tapi sebelum menutup pintu, ia berbalik dan menatap panti itu sekali lagi. Hatinya tidak berat. Karena ia tahu tempat itu tidak pernah benar-benar menjadi rumah.

Dan malam itu, seorang remaja tanpa identitas, tanpa asal-usul, tanpa masa lalu... meninggalkan halaman panti, menyatu dalam dunia yang keras—dengan satu tekad:

Vexley City terlihat berbeda saat dilihat dari jalanan. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan cahaya yang menyilaukan, jalanan sibuk, dan orang-orang yang selalu tampak terburu-buru. Tapi dari sudut sempit antara trotoar retak dan tumpukan kardus, kota itu adalah hutan beton yang buas.

Ethan kini hidup sendiri.

Dia tinggal di kamar sempit berukuran dua kali tiga meter, di lantai paling atas sebuah bangunan tua yang hampir runtuh. Tidak ada lemari. Tidak ada kasur. Hanya tikar tipis, kipas rusak, dan gantungan tali untuk menggantung baju.

Setelah meninggalkan panti, Ethan menerima pekerjaan sebagai kurir antar barang dari sebuah toko alat elektronik. Bayarannya kecil, waktunya panjang, dan orang-orang di sekitarnya memperlakukannya seolah dia bukan siapa-siapa.

Tapi itu tidak menghentikannya.

Setiap pagi, dia bangun sebelum matahari terbit, mandi dengan air dingin, dan langsung menjemput paket. Dia membawa semuanya dengan sepeda tua—kadang laptop, speaker, kadang televisi kecil. Tubuhnya sudah terbiasa dengan beban. Tapi beban di dadanya—itu lain cerita.

“Jangan jatuhkan barang ini, anak kampung,” ujar seorang pelanggan dengan nada jijik sambil menandatangani resi.

Ethan tidak menjawab.

“Lain kali cuci tangan dulu sebelum menyentuh kotak ini. Aku bisa mencium bau murah dari jarimu.”

Ethan menunduk sopan, menyerahkan paket, lalu melangkah pergi.

Saat dia membelok ke sudut jalan, ia berhenti sejenak di belakang bangunan, menatap tangannya. Bersih. Tapi kata-kata mereka selalu meninggalkan noda yang tidak bisa dicuci.

Di tempat kerja, para staf toko juga tak kalah kejam.

“Lambat sekali,” omel manajer. “Kamu pikir kamu pelari olimpiade? Atau keledai?”

“Dia diam terus, pasti otaknya rusak,” celetuk karyawan lain.

Ethan tetap tidak membalas. Dia tidak belajar menahan amarah di panti. Dia belajar bagaimana mengalahkan dunia dengan cara bertahan. Dia tahu satu hal: jika dia marah dan menyerang, maka dunia akan menjadikannya monster seperti yang selalu mereka tuduhkan.

Hujan turun sore itu. Jalanan becek dan kendaraan berlalu lalang seperti kawanan hewan. Ethan mengayuh sepeda dengan kardus di punggung. Pakaian dan rambutnya basah kuyup, tapi dia tetap maju.

Tujuannya: Beaumont University—tempat pengiriman sebuah laptop untuk dosen senior.

Dia belum pernah ke daerah itu. Jalan-jalannya bersih, trotoarnya licin dan lebar, dan orang-orang memakai jas hujan branded. Saat dia tiba di gerbang utama, dia terpaksa berhenti. Sepedanya terlalu usang untuk masuk begitu saja.

Petugas keamanan menatapnya penuh curiga. “Kurir?”

Ethan mengangguk.

“Jangan masuk terlalu jauh. Serahkan saja ke meja resepsionis.”

Ethan menuruti. Tapi saat hendak keluar, langkahnya terhenti. Matanya menangkap pemandangan yang tak bisa ia abaikan.

Gedung-gedung menjulang tinggi dengan jendela kaca dan balkon elegan. Taman-taman rapi. Patung para ilmuwan berdiri megah. Tapi bukan itu yang membuat Ethan terpaku.

Melainkan… tatapan di wajah para mahasiswa. Tegas. Percaya diri. Penuh tujuan.

Dia berdiri di balik gerbang. Basah kuyup. Sepatunya sobek. Tapi entah kenapa... ada sesuatu yang muncul dari dalam dadanya.

Keinginan.

Untuk pertama kalinya sejak dia mengenal dirinya sebagai Ethan, anak panti, dia merasakan hasrat yang nyata.

“Aku ingin ke sini,” bisiknya pada dirinya sendiri.

Bukan untuk orang lain. Bukan karena gengsi. Tapi karena dia ingin membuktikan pada dunia bahwa dirinya bukan cuma kurir tanpa nama.

Hari itu, Ethan pulang lebih larut dari biasanya. Ia berdiri lama di atap bangunan tempat ia tinggal, menatap langit malam yang kelam. Tangannya masih dingin, kakinya pegal. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang menyala.

Dia menatap jari tangannya. Cincin tua itu masih ada di sana. Ia tak tahu kenapa tidak bisa melepasnya. Tapi hari ini, dia tahu satu hal:

Selama darahnya masih mengalir, dia akan mencoba.

Tidak peduli berapa tahun yang dibutuhkan.

Tidak peduli berapa banyak penghinaan yang akan dia telan.

Dia akan kuliah di Beaumont. Dengan jerih payahnya sendiri.

Dan dia akan menulis ulang takdirnya—bukan sebagai korban dari masa lalu, tapi sebagai orang yang akan berdiri sejajar dengan siapa pun... bahkan mereka yang menatapnya dari atas menara.

1
Glastor Roy
up
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!