Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan yang Menyakitkan
Seorang pramugari mendorong troli perak di lorong kabin first class.
“Apa Anda ingin menikmati minuman atau makanan, Mam?” tanyanya lembut.
Celine mengangkat tangan sedikit, “No, thank you.”
Pramugari mengangguk, tersenyum professional lalu berlalu. Celine menarik selimut kasmir, hingga menutupi bahunya. Dari balik jendela pesawat, gugusan bintang tampak bertebaran di langit gelap, berkilau indah namun jauh dan tak terjangkau.
Tangannya bergerak tanpa sadar. Jemarinya menyentuh sesuatu yang dingin, cincin yang melingkari jari manisnya. Celine menunduk, mengangkat tangan perlahan. Berlian di sana masih berkilau yang terlalu indah untuk sebuah akhir. Ia mengelusnya, gerakan halus yang sarat kenangan, lalu berhenti. Ia menatap cincin itu lama, kemudian dengan tenang melepasnya.
Celine memasukkan cincin itu ke dalam tasnya, menutup ritsleting perlahan, seakan menutup satu bab hidupnya sendiri.
“Mama ibumu, Mama yang paling mengerti perasaanmu.”
Kalimat itu meluncur dari penumpang ibu dan anak di kursi belakang, sederhana namun sarat makna. Celine terdiam, hatinya bergetar. Ia mencondongkan telinga ke sandaran kursi, seolah jarak beberapa senti itu mampu membawanya lebih dekat pada kalimat yang begitu ia rindukan.
“Selama ada Mama, duniamu akan baik-baik saja, sayang,” suara itu terdengar lagi, begitu hangat dan penuh perlindungan.
Celine mengangkat pandangannya perlahan ke langit-langit kabin. Cahaya temaram memantul di bola matanya yang mulai berkaca.
“Mama…” bisiknya lirih.
“Ladies and gentlemen, we have just landed at John F. Kennedy International Airport, New York City. The local time is seven forty-five in the evening. Please remain seated with your seatbelt fastened until the aircraft has come to a complete stop and the seatbelt sign has been turned off. On behalf of the captain and the entire crew, welcome to New York, and thank you for flying with us.”
“Bapak dan Ibu sekalian, pesawat kita baru saja mendarat di Bandara Internasional John F. Kennedy, New York City. Waktu setempat menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh lima malam. Mohon tetap duduk di tempat dengan sabuk pengaman terpasang hingga pesawat berhenti sepenuhnya dan tanda sabuk pengaman telah dipadamkan. Atas nama kapten dan seluruh awak kabin, kami mengucapkan selamat datang di New York dan terima kasih telah terbang bersama kami.
Celine menutup matanya sesaat. New York, orang yang akan mengerti perasaannya ada di sini.
Ia merapatkan syalnya saat salju turun perlahan, butirannya menempel di rambut dan mantelnya. Udara New York menggigit, namun dinginnya kalah jauh dari sakit di dadanya. Ia menyeret koper keluar dari taksi, berhenti di depan sebuah rumah yang alamatnya ia ketahui satu jam sebelum naik pesawat.
Lampu-lampu hangat menyala di balik jendela. Celine menarik napas, berharap kehangatan itu akan memeluk kesedihannya malam ini.
Perlahan ia mengangkat tangannya, menekan bel sebanyak tiga kali. Langkah-langkah kecil terdengar berlari dari dalam. Ketika pintu terbuka, seorang anak laki-laki berambut pirang terang, kulit putih pucat, pipi kemerahan, mata berwarna biru yang bulat, menatapnya penuh rasa ingin tahu.
“Yaa?” katanya polos, suaranya lembut dan ceria.
Entah untuk alasan apa, Celine membeku.
“Sam, siapa di sana?” Suara seorang wanita menyusul dari dalam, ringan dan terdengar terlalu familiar.
Celine mengangkat pandangannya. Wanita itu muncul di ambang pintu dengan senyum yang langsung runtuh. Ornamen pohon natal di tangannya terlepas begitu saja.
“C-Celine…”
“Ada tamu, honey?”
Seorang pria menyusul dari dalam, merangkul pinggang wanita itu dengan gerakan alami. Pria itu menunduk ke arah bocah kecil di depan pintu.
“Sam, kau di sini?” katanya lembut. “Tidak mau ikut Papa dan Mama menghias pohon Natal?”
Papa dan Mama. Dua kata itu menghantamnya lebih keras dari ledakan mana pun. Celine tersenyum, senyum yang kosong dan… bodoh. Sepertinya hidupnya memang ditakdirkan menjadi permainan bagi orang lain. Namun bukankah ini terlalu berlebihan? Bahkan permainan pun punya batas.
Celine menurunkan pandangannya, menarik gagang koper dengan gerakan tenang yang dipaksakan, lalu berbalik pergi tanpa meninggalkan satu kata pun.
“Celine!” teriak wanita itu histeris.
“Celine, tunggu!”
Namun langkah Celine tidak berhenti, pandangannya lurus seolah rumah ini bukanlah tujuannya sejak awal.
“Honey, ada apa?”
Pria itu mengguncang lengan sang wanita kebingungan. “Siapa dia?”
Wanita itu, Veronika, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya bergetar hebat,
“Dia… dia putriku, Jack.”
Detik itu juga, Jack langsung terdiam kaku.
Celine melangkah di bawah salju yang kian rapat. Langkahnya goyah, bukan karena dingin, melainkan karena kenyataan yang baru saja meremukkan sisa harapan dalam dirinya. Ia benar-benar dibodohi. Bukan hanya oleh Ethan tapi juga oleh ibunya sendiri.
Selama ada Mama, duniamu akan baik-baik saja. Kalimat itu kembali terngiang, jika tadi penuh dengan harapan maka detik ini terasa pahit dan menjijikkan.
Baik-baik saja?
Lalu apa ini?
Dengan tangan gemetar, Celine menyalakan ponselnya. Ia langsung menekan satu nama tanpa ragu. Suara di seberang sana langsung terdengar bahkan sebelum panggilan berdering lama.
“Celine, akhirnya kau menghubungi Papa. Katakan kau sekarang ada dimana, sayang?”
Suara Golda terdengar panik, ia sudah menunggu panggilan ini sejak lama.
“Papa,” suara Celine datar, dingin, nyaris tanpa emosi. “Aku bertemu Mama… di New York.”
“Apa?” napas Golda tersendat. “New York? Jangan bercanda, sayang…”
“Apa Papa tahu?” potong Celine.
“Apa maks…”
“Apa Papa sudah tahu semuanya? Pria itu, anak itu, dan Mama. Apa Papa sudah tahu?” ulangnya, lebih lirih. Suaranya bergetar meski ia berusaha menahannya.
Keheningan menggantung dalam waktu yang lama.
“Maafkan Papa,” ucap Golda lirih.
Tit.
Celine memutus panggilan tanpa pamit, lalu mematikan ponselnya kembali. Ia berhenti di tengah trotoar yang sepi, dadanya bergerak naik turun. Kata ‘maaf’ sudah menjawab semuanya.
“Brengsek!” teriaknya keras.
Ia menendang kopernya hingga terjatuh, lalu membungkuk, mengambil segenggam salju dan melemparkannya ke udara tanpa arah.
“Kalian semua brengsek!”
Suara itu pecah, tenggelam bersama angin dan salju.
“Arghhhh!”
Celine berjongkok, tangannya mengepal kuat di atas salju. Kuku-kukunya menekan telapak tangan hingga nyeri, seolah rasa sakit fisik itu satu-satunya cara agar ia tetap sadar.
“Kalian semua… pengkhianat,” bisiknya lirih.
Pertahanannya runtuh, napasnya tersendat. Dadanya naik turun tak beraturan seperti kehilangan ritme. Ia menunduk, bahunya bergetar hebat. Isakan pertama lolos tanpa suara, hanya getaran kecil yang mengguncang tubuhnya. Lalu yang kedua dan berikutnya, tangis itu akhirnya pecah.
Celine terisak, napasnya pendek-pendek seperti seseorang yang tenggelam dan berusaha mengambil udara. Ia menutup mulutnya dengan punggung tangan, mencoba meredam suara, tapi sia-sia karena rasa sakit itu terlalu penuh untuk disimpan sendiri.
Dadanya terasa seperti diremas dari dalam. Setiap tarikan napas terasa menyayat, setiap embusan napas membawa keluar potongan demi potongan hatinya yang hancur. Ia membungkuk lebih dalam, dahinya bersandar pada lututnya sendiri.
Di bawah langit yang dingin dan asing, Celine menangis sendirian seperti anak kecil yang kehilangan rumahnya.
celine apapun yg terjadi jangan goyah.
tetap cuek,dingin dan jangan noleh² lagi kemasa lalu.
tak stabil suka naik turun tensi..
dokter bidan tak sanggup obati..
masalahnya cintaku yang kurang gizi..
💃💃💃💃💃 aseeek.. lanjutkan ethan..
pengorbanan celine terlalu besar hy untuk se ekor ethan...
cepatlah bangkit dan move on celine dan jauh jauh celine jangan terlibat apapun dgn amox apalagi yg didalamnya ada ethan² nya...
mungkin si SEthan merasa bersslah dan ingin bertanggung jawab atas kematian ayahnya Cantika, karna mungkin salah sasaran dan itupun sudah di jekaskan Raga & Rega.
tapi dadar si SEthan emang sengaja cari perkara, segala alasan Cantika punya adik, preettt...🤮🤮🤮