Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.
Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.
Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saga 20: Sumpah di Hadapan Sang Guru
Langit di atas gunung masih bergelayut dengan kabut tipis ketika Liang Chen membuka matanya pagi itu. Sisa malam menggantung di udara seperti napas dewa yang belum selesai dihembuskan. Pondok bambu itu sunyi,
hanya terdengar suara dedaunan digoyang angin dan denting lembut botol arak di tangan seorang tua yang duduk di beranda. Liang Chen memandang ke atas, ke atap jerami yang sederhana. Ada bau tanah basah dan asap kayu yang masih tersisa di udara, aroma yang anehnya membuat hatinya tenang sekaligus getir.
Ia duduk perlahan, merasakan tubuhnya yang kini tidak lagi rapuh. Luka di dadanya telah menutup, tetapi setiap denyut nadi di bawah kulitnya terasa seperti bara yang menunggu meledak.
Energi itu bukan miliknya, namun kini hidup di dalam dirinya, menyatu, menolak dilepaskan. Liang Chen menunduk, memandangi tangannya sendiri. Di sela-sela jari yang masih bergetar, ia seakan melihat bayangan darah menetes, mengingatkan pada malam pembantaian itu.
Suara lembut namun berat datang dari luar. “Kau sudah terjaga cukup lama untuk tahu bahwa tidur tidak akan menghapus apa pun,” ujar Guru Kui Xing tanpa menoleh. Suaranya tenang, namun di dalamnya terselip ketajaman yang tidak bisa diabaikan.
Liang Chen menggenggam lututnya. “Aku tidak bermimpi, bukan?” suaranya pelan, hampir tenggelam dalam desah kabut. “Mereka benar-benar mati... semuanya.”
Guru Kui Xing menyesap araknya perlahan sebelum menjawab, “Mimpi tidak meninggalkan bekas darah di tanganmu, anak muda.”
Hening kembali turun. Liang Chen menatap ke lantai bambu, dan dari balik mata yang tampak tenang itu, tersimpan gelombang yang nyaris pecah. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara yang mengguncang dadanya sendiri,
“Ayahku... melindungiku sampai napas terakhir. Ibu... tersenyum bahkan saat mereka menebasnya. Aku tidak sempat melakukan apa pun.”
Ia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke depan, menembus kabut yang menyelubungi pondok.
“Aku sudah mati waktu itu, Guru. Aku mati bersama mereka. Yang ada di sini sekarang hanyalah sisa yang terbakar oleh amarah.”
Guru Kui Xing menatapnya diam-diam, matanya seperti telaga yang memantulkan langit senja, tenang, namun dalam.
Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya meneguk arak lagi, seolah membiarkan kata-kata murid muda itu menegas sendiri di udara.
Liang Chen mengepalkan tinjunya.
“Aku bersumpah... mereka yang menumpahkan darah orang tuaku, mereka yang menginjak Desa Hijau... semuanya akan merasakan pedih yang sama. Aku tidak peduli jika aku harus menjadi iblis. Aku tidak peduli lagi apa yang disebut suci atau terlarang. Aku hanya tahu satu hal, aku akan membalas.”
Angin berhembus, menggoyang kelopak bunga liar yang tumbuh di depan pondok. Suara mereka bergesek halus seperti bisikan roh yang menyetujui sumpah itu. Liang Chen menutup matanya, dan untuk sesaat, ia melihat wajah ayahnya tersenyum samar di balik gelap matanya, mengangkat pedang tumpul yang dulu diajarkan padanya.
Suara Guru Kui Xing akhirnya terdengar lagi, pelan namun jelas. “Sumpah yang lahir dari duka adalah api, Chen’er. Ia bisa menerangi jalanmu, tapi juga bisa membakar hatimu.”
Liang Chen membuka mata. Tatapannya tidak lagi sekadar marah, ada keteguhan di sana, seperti batu yang dibasuh darah namun tetap berdiri. “Aku akan membakar dunia jika perlu, Guru. Tapi aku akan memastikan cahaya yang lahir dari api itu tidak padam sia-sia.”
Guru Kui Xing menatapnya lama. Lalu ia tersenyum tipis, bukan senyum hangat, melainkan senyum yang mengandung rasa pahit seorang tua yang tahu harga dari tekad semacam itu.
“Kalimat seperti itu hanya diucapkan oleh mereka yang sudah menatap maut dan memilih untuk kembali,” katanya pelan. “Baiklah, Liang Chen. Mari kita lihat seberapa jauh api itu bisa membawamu sebelum ia menghanguskan dirimu sendiri.”
Kabut pagi pun menebal, menyelimuti pondok itu seperti tirai tebal yang menutup babak lama dan membuka jalan bagi sumpah baru.
Sore hari datang perlahan, menumpahkan cahaya jingga yang lembut di atas puncak kabut. Di dalam pondok kecil itu, Liang Chen duduk bersila di lantai bambu. Tubuhnya sudah tegak, tapi jiwanya masih belum tenang, seperti danau yang tampak hening di permukaan, namun menyimpan arus deras di kedalaman.
Guru Kui Xing duduk di seberangnya, memegang labu arak di tangan kiri dan sesuatu yang terbungkus kain di tangan kanan. Ia menatap Liang Chen cukup lama sebelum membuka bungkus itu perlahan. Sebilah pedang hitam, dingin dan nyaris tak memantulkan cahaya, terbentang di antara mereka.
Pedang itu bukan logam biasa. Permukaannya seolah hidup, berdenyut lembut dengan warna merah samar di bawah kegelapannya. Liang Chen merasakan hawa berat menguar, seolah udara di sekitarnya menolak untuk bergerak.
“Pedang ini dulu tumpul,” ujar Guru Kui Xing tenang. “Pedang seorang ayah yang memilih melindungi, bukan membunuh. Tapi malam itu, darah dan dendam menempanya menjadi sesuatu yang lain. Ia tidak lagi hanya besi. Ia menjadi cermin hatimu.”
Liang Chen menatap pedang itu tanpa berkedip. Setiap goresan di permukaannya memantulkan bayangan dirinya sendiri, bukan wajahnya yang kini muda dan pucat, melainkan bayangan yang lebih tua, lebih gelap, seolah menatap dari masa depan yang belum datang.
Guru Kui Xing mendorong pedang itu perlahan ke arahnya. “Pedang ini tidak mengenal kebaikan atau kejahatan. Ia hanya mengenal niat pemegangnya. Namailah ia, Chen’er. Karena setiap nama adalah doa, dan setiap doa akan menjadi belenggu bagi jiwa.”
Liang Chen mengangkat pedang itu. Dingin logamnya merambat ke jari-jarinya, menembus tulang, menyentuh inti tubuhnya yang masih mengandung bara. Dalam diam, ia teringat suara ayahnya yang dulu tertawa saat mengajarkan jurus sederhana di bawah matahari sore.
“Pedang tumpul tak akan menebas hati manusia, hanya melindungi apa yang layak.”
Tapi malam itu, pedang yang sama menebas leher para pembunuh, dan darahnya menodai tangan Liang Chen sendiri. Dunia telah berubah, dan pedang ini ikut berubah bersamanya.
Ia menunduk, lalu berbisik, “Kesunyian Malam.”
Guru Kui Xing mengangguk perlahan. “Nama yang indah. Pedang yang lahir dari cahaya, kini menari dalam gelap.”
Arak menetes dari bibir labu ke lantai bambu, mengeluarkan aroma yang samar dan hangat. Guru Kui Xing menatap Liang Chen dengan pandangan yang sulit diartikan, antara iba, kagum, dan kehati-hatian.
“Dengarkan baik-baik, anak muda,” katanya kemudian, suaranya merendah seperti guruh yang menahan diri. “Jalan yang telah kau pilih bukan Jalan Panjang Umur yang dikejar para sekte besar. Itu adalah Jalan Asura, jalur yang bahkan langit sendiri enggan menatap. Kau akan tumbuh kuat dengan pertumpahan darah, bukan meditasi. Kau akan bertambah tajam setiap kali menatap kematian.”
Liang Chen menatap pedang di tangannya, lalu kembali menatap gurunya. “Kalau itu harga yang harus kubayar untuk melindungi apa yang tersisa... maka biarlah.”
Guru Kui Xing menarik napas panjang, lalu meneguk araknya lagi. “Jangan salah sangka, Chen’er.
Warisan Asura bukan sekadar kekuatan membunuh. Ia juga ujian untuk mengenali batasmu. Banyak yang mencoba menaklukkan jalan ini, tapi akhirnya ditelan oleh amarah mereka sendiri.
Kau akan menjadi kuat, ya, tapi jika kau lupa wajah orang-orang yang ingin kau lindungi—maka pada akhirnya, kau hanya akan membunuh bayanganmu sendiri.”
Hening kembali mengisi ruang itu. Liang Chen menunduk, merenungi kata-kata itu. Ia memahami maksudnya, tapi juga tahu bahwa kata-kata tidak akan menenangkan darah yang sudah berjanji.
Guru Kui Xing akhirnya meletakkan labu araknya di samping. “Mulai hari ini, aku bukan sekadar orang yang menyelamatkan hidupmu. Aku gurumu. Tapi aku tidak akan menuntun tanganmu. Aku hanya akan menunjukkan arah.
Langit dan bumi sudah terlalu bosan melihat Asura menghancurkan dunia. Mungkin sudah saatnya seseorang mencoba menebusnya.”
Liang Chen menatap gurunya, lalu mengangguk. “Kalau begitu... biarkan aku menjadi pedang itu.”
Di luar pondok, angin gunung mengalir membawa gema perkataan itu. Kabut yang melayang di sekitar puncak berputar perlahan, seperti mengakui sumpah baru yang akan menggetarkan langit.
Malam turun perlahan, menyelimuti pondok dengan bayangan panjang yang lembut. Kabut gunung menggantung seperti tirai tipis, dan aroma arak yang biasa menenangkan kini bercampur dengan hawa besi dari pedang di tangan Liang Chen.
Api kecil di tungku bambu berkeredap pelan, memantulkan cahaya ke wajah mereka berdua, murid muda yang baru terlahir kembali dan guru tua yang sudah menyaksikan terlalu banyak kehancuran.
Guru Kui Xing duduk bersila di atas lantai bambu, labu araknya di pangkuan. Ia menatap Liang Chen yang masih menunduk pada pedang hitam di tangannya. “Kau tahu,” ucapnya pelan, “dunia tidak membenci Asura karena kekuatannya.
Dunia membencinya karena tak seorang pun bisa mengendalikan apa yang menjadi sumber kekuatannya.”
Liang Chen mendongak. Matanya memantulkan cahaya api, merah samar, namun belum penuh amarah. “Aku bisa mengendalikannya,” katanya tegas. “Aku tidak akan membiarkan amarah mengambil segalanya lagi.”
Guru Kui Xing tersenyum samar, seperti seseorang yang sudah mendengar janji yang sama ribuan kali. “Setiap Asura berkata demikian di awal,” jawabnya tenang.
“Dan setiap Asura akhirnya tenggelam di dasar jiwanya sendiri. Jalan ini bukan sekadar pertarungan melawan musuh, Chen’er. Jalan ini adalah pertarungan melawan dirimu sendiri.”
Ia meneguk arak, lalu melanjutkan dengan suara dalam dan datar, “Asura pertama memulai jalannya karena kehilangan. Ia membakar dunia untuk mencari jawaban, tapi yang ia temukan hanyalah kesunyian yang abadi.
Aku bertemu dia, bukan dalam tubuh, tapi dalam ingatan dunia yang tersisa. Ia berlutut di tengah laut darah, menangis seperti anak kecil. Sejak saat itu, aku tahu bahwa kekuatan tanpa arah adalah kutukan.”
Liang Chen terdiam. Kata-kata itu meresap ke dalam dadanya seperti jarum halus, meninggalkan rasa nyeri yang tak bisa dijelaskan. “Tapi tanpa kekuatan, kebenaran akan selalu diinjak,” gumamnya perlahan. “Aku melihat mereka membunuh Ayah, Ibu... orang-orang yang tidak punya tempat berlari. Aku tidak bisa diam.”
Guru Kui Xing menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Benar. Dunia tidak bisa diselamatkan oleh mereka yang hanya duduk bersila di kuil.
Tapi dunia juga tidak bisa dilindungi oleh pedang yang kehilangan belas kasih.” Ia mengulurkan tangan, menunjuk dada Liang Chen. “Yang perlu kau kendalikan bukan pedangmu, tapi hatimu.”
Liang Chen menggenggam gagang pedang hitam itu erat-erat. Tangannya bergetar, antara tekad dan ketakutan. “Aku... tidak tahu apakah aku masih punya hati itu,” katanya pelan. “Sejak malam itu, rasanya semua yang manusia dalam diriku ikut mati.”
Guru Kui Xing tidak menjawab segera. Ia menutup matanya sebentar, membiarkan keheningan memanjang di antara mereka. Angin malam berdesir, membuat nyala api bergoyang. Lalu, dengan suara yang lebih lembut, ia berkata, “Mungkin memang sudah mati. Tapi mati bukan berarti hilang. Kegelapan pun punya cara untuk melahirkan kembali cahaya.”
Ia bangkit berdiri, mengangkat labu arak, dan menumpahkan beberapa tetes ke tanah. “Ini bukan persembahan, tapi pengingat,” katanya. “Mulai hari ini, setiap tetes darah yang jatuh dari pedangmu akan memantulkan sumpah ini.” Ia menatap Liang Chen dalam-dalam. “Sumpahmu sendiri, bukan milikku.”
Liang Chen berdiri perlahan. Tubuhnya masih terasa berat, tapi pandangan matanya sudah teguh. Ia menatap api, lalu menunduk sedikit, suaranya dalam namun gemetar.
“Aku bersumpah... dengan darah yang telah mencemari tanah ini, aku akan menggunakan kekuatan ini untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang tak lagi bisa berbicara. Aku akan membunuh hanya ketika tak ada jalan lain. Aku akan melindungi mereka yang tak mampu melindungi diri mereka sendiri. Dan jika suatu hari amarahku menelan hatiku, biarlah pedang ini menjadi tangan yang menebasku.”
Suara itu bergetar di antara dinding bambu, seolah dunia sendiri mendengarnya. Angin berhenti, kabut mengental, dan untuk sesaat, api di tungku tampak membungkuk ke arah Liang Chen, seperti memberi hormat.
Guru Kui Xing menatapnya tanpa bicara untuk waktu yang lama. Lalu, akhirnya, ia tersenyum tipis, senyum yang jarang muncul di wajahnya yang keras.
“Sumpah yang berat untuk bahu yang muda,” katanya, “tapi setiap jalan besar memang dimulai dari ketidakmungkinan.” Ia melangkah ke depan dan meletakkan tangan di kepala Liang Chen, menekan lembut seperti seorang ayah menenangkan anaknya.
“Mulai malam ini, kau muridku. Dan mulai saat ini, dunia akan menatap dua Asura,satu yang lahir dari darah, satu yang ditempa oleh tekad.”
Liang Chen menunduk dalam-dalam. “Terima kasih, Guru.”
Guru Kui Xing tertawa pelan, mengambil labu arak dan meneguk panjang. “Jangan berterima kasih dulu. Jalan ini tidak punya akhir bahagia. Tapi kalau kau tetap hidup cukup lama untuk menyesal, berarti aku berhasil mengajarmu sesuatu.”
Mereka berdua tertawa pelan, tawa yang lebih menyerupai hembusan napas dari dua jiwa yang memahami beban yang sama.
Di luar pondok, angin gunung berputar membawa gema tawa itu, lalu menghilang ke lembah. Di langit, bulan pucat mulai naik, memantulkan sinarnya pada pedang hitam di tangan Liang Chen. Permukaannya berkilat lembut, bukan karena cahaya, melainkan karena darah dan janji yang telah mengikatnya malam itu.
Guru Kui Xing duduk kembali di tempatnya, menatap murid barunya. “Kita mulai besok pagi. Tapi ingat, pelatihan pertama bukanlah tentang kekuatan, melainkan kendali. Sebab hanya mereka yang mampu menahan diri yang pantas untuk menebas.”
Liang Chen mengangguk. “Aku mengerti, Guru.”
“Baik.” Guru Kui Xing menatap keluar jendela, ke arah pegunungan jauh di timur. “Dan ingat satu hal terakhir, Chen’er,” katanya pelan.
“Pedangmu adalah pantulan hatimu. Jika hatimu retak, maka pedangmu akan haus darah. Jika hatimu jernih, maka dunia akan bergetar bukan karena takut, tapi karena hormat.”
Liang Chen menunduk, menyerap kata-kata itu seperti ukiran pada jiwanya. Ia menggenggam pedang Kesunyian Malam dan memejamkan mata.
Untuk pertama kalinya sejak malam pembantaian itu, ia merasakan sesuatu yang menyerupai ketenangan, bukan damai, tapi ketenangan seorang pejuang yang tahu arah langkahnya.
Malam itu, guru dan murid duduk dalam diam. Hanya suara angin dan arak yang menetes dari labu menjadi musik lembut yang mengantar mereka pada awal sebuah kisah besar.
Di luar pondok, kabut kembali turun, menutup dunia di bawah mereka, seolah langit sendiri menunggu napas pertama dari kebangkitan yang akan datang.
Dan di dalam kegelapan itu, Kesunyian Malam bergetar pelan, seolah ikut menyetujui sumpah baru yang terpatri di hati pemiliknya.
Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.
Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.
Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.