Dia tertawa bersama teman-temannya yang kaya raya… berani memperlakukanku seperti mainan.
Tapi sekarang giliran dia yang jadi bahan tertawaan.
Ketika aku dipermalukan oleh gadis yang kucintai, takdir tidak memberiku kesempatan kedua, melainkan memberiku sebuah Sistem.
[Ding! Tugas: Rayu dan Kendalikan Ibunya – Hadiah: $100.000 + Peningkatan Keterampilan]
Ibunya? Seorang CEO yang dominan. Dewasa. Memikat. Dingin hati.
Dan sekarang… dia terobsesi denganku.
Satu tugas demi satu, aku akan menerobos masuk ke mansion mereka, ruang rapat mereka, dunia elit mereka yang menyimpang, dan membuat mereka berlutut.
Mantan pacar? Penyesalan akan menjadi emosi teringan baginya.
[Ding! Tugas Baru: Hancurkan Keluarga Pacar Barunya. Target: Ibunya]
Uang. Kekuasaan. Wanita. Pengendalian.
Mereka pikir aku tak berarti apa-apa.
Kini aku adalah pria yang tak bisa mereka hindari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZHRCY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERCINTA DIATAS MEJA
Elena duduk bertengger di tepi pangkuan Max, sepatu haknya sudah sejak tadi dilepas, lengannya melingkar di lehernya, sementara tangan Max bertumpu di pahanya.
“Kau tahu,” gumam Max, ibu jarinya mengusap pinggulnya, "suatu hari, aku akan bercinta denganmu tepat di atas meja ini… saat kau berteriak memanggil namaku.”
Napas Elena tersentak… Bayangan itu menghantamnya, punggung telanjangnya menempel pada permukaan meja, kertas-kertas berserakan, tangan Max mencengkeramnya agar tetap di tempat sementara ia kehilangan kendali sepenuhnya pada laki-laki itu.
Kemerahan menjalar dari dadanya, cepat naik ke pipinya. Ia menoleh, lalu kembali menatap Max, “Jangan goda aku,” bisiknya.
“Tapi kau sudah tergoda.”
Ia meluncur turun dari pangkuannya sebelum Max sempat berkata apa pun, merapikan roknya dan kembali mengambil postur tenang di balik meja. “Kita berdua memiliki pekerjaan,” katanya, nada suaranya kembali profesional. “Apapun alasan kau datang hari ini... anggap saja sudah selesai.”
Max berdiri, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal. “Baik, Nyonya,” katanya main-main, sebelum berjalan keluar.
Baru dua minggu berlalu, namun Max sudah menemukan ritmenya di Garcia Industries. Ia belum resmi masuk daftar gaji... tapi dia hadir terus-menerus. Agendanya penuh konsultasi, sesi strategi, dan evaluasi produk.
Nathan, yang jarang memiliki waktu untuk orang di luar lingkaran eksekutif, sering memanggil Max hanya untuk “bertukar ide.” Lebih dari sekali, ia berkata pada Elena, “Anak itu memiliki cara pandang yang aneh.”
Claudia, yang selalu menjadi pusat perhatian di kantor, mulai menggoda Max.
“Kau menatap angka-angka itu seolah-olah mereka mau menggigitmu,” katanya sambil menyenggol bahunya. “Kalau kau butuh bimbingan dalam spreadsheet... atau hal lain... aku guru yang sangat baik.”
Max hanya tersenyum malu dan menunduk, menggaruk belakang leher.
Layla juga mulai menyukainya, ia menghargai bagaimana Max tak pernah kelewat batas, selalu berbicara sopan, dan bertanya dengan bijak, dan itu membuat Layla menghormatinya kembali.
Menjelang Jumat sore, Max bukan lagi sekadar “mentee" Elena. Dia sudah menjadi bagian dari lingkungan kantor... hadir dalam setiap percakapan di lorong, setiap sesi brainstorming, dan beberapa lirikan penasaran dari staf yang bertanya-tanya sejauh apa hubungan bimbingan itu berjalan.
Dan Elena?
Dia mengamati semuanya dari ruangannya dengan tangan terlipat, senyum kecil bermain di sudut bibirnya.
---
Begitu Max keluar dari ruangan Elena, pintunya tertutup di belakangnya, ia hampir berpapasan dengan Layla.
Layla berjalan mendekat dengan tablet di tangan, mata waspada, dan sekejap saja jantung Max melonjak.
Apakah dia melihat sesuatu? Mendengar sesuatu?
Tapi Layla hanya mengangkat alis tipis, berhenti dua langkah darinya.
“Hampir lewat batas waktu, bukan?” katanya dengan suara datar.
Max memberi senyum cepat, “Tepat waktu, sebenarnya.”
“Kau memiliki bakat, tahu?” katanya, menatap Max dari samping. “Membuat semua orang mengira kau tak berbahaya... sambil perlahan mendapatkan simpati mereka.”
Max mengedipkan mata, tak yakin apakah itu pujian atau peringatan.
Layla tak menunggu jawaban. Ia langsung melewatinya begitu saja.
“Cerdas,” tambahnya santai, “Atau sangat, sangat beruntung.”
Max terkekeh pelan, melangkah ke arah berlawanan.
“Mungkin sedikit dari keduanya,” gumamnya.
---
Tak lama setelah Max pergi, Layla masuk dengan ekspresi tenang, sebuah dokumen terselip rapi di lengannya.
Elena tidak langsung menatapnya. Ia merapikan lengan blusnya, mengatur napas, lalu baru mengangkat pandangannya.
“Kau sudah membawa laporan terbarunya?” tanyanya cepat.
Layla mengangguk dan meletakkan dokumen itu di meja. “Sudah dirangkum lengkap. Tren pasar, analisis risiko, dan proyeksi finansial terbaru. Tim Tom sudah memasukkan revisi terakhir dari Max.”
Elena membuka file itu dan melihat halaman pertama. “Bagus. Bagaimana hasilnya?”
Layla hanya ragu sejenak. “Lebih kuat dari yang kita kira. Asumsinya konservatif, tapi potensi keuntungannya besar, terutama di segmen yang kurang tersentuh.”
Elena mengangguk kecil. “Dan penilaian pribadimu?”
Tatapan Layla bertemu dengannya. “Dia tajam. Benar-benar mendengarkan. Tidak asal menyenangkan orang. Ambisius. Dan... ya, menawan.”
Elena tersenyum tipis, tapi tidak terpancing. “Mari kita siapkan langkah selanjutnya.”
“Kau ingin membawanya ke komite?”
“Aku ingin memposisikannya untuk komite,” koreksi Elena. Ia berdiri dan berjalan ke jendela, tangan terlipat. “Kita bingkai sebagai temuan bimbingan yang berkembang menjadi peluang investasi yang nyata.”
Layla menyatukan kedua tangan di depan. “Dua sampai lima juta sebagai awal?”
“Bergantung pada pemeriksaan teknis. Tapi siapkan ruang untuk lebih. Kalau visinya solid, kita ingin hubungan jangka panjang.”
Layla mengangguk, lalu menambahkan, “Perlu kujadwalkan evaluasi tambahan? Mungkin kunjungan lapangan juga?”
“Ya. Aku ingin jejaknya jelas: dokumen, agenda, rangkuman umpan balik. Semuanya rapi. Profesional. Pastikan Monica dan Tom tetap terlibat, tapi hanya yang perlu.”
“Dan Max?”
Elena akhirnya berbalik dari jendela, ekspresinya sulit dibaca. “Perlakukan dia seperti anggota lain. Artinya kita beri dia tekanan, tenggat waktu, dan target yang jelas.”
Bibir Layla bergerak sedikit, hampir seperti senyum. “Dia tidak keberatan. Dia bagus di bawah tekanan.”
Elena duduk kembali. “Begitu juga aku.”
Ada hening kecil. Lalu Layla berkata, “Ini langkah besar. Kalau berhasil, kau tidak hanya membimbing bintang yang sedang naik daun. Kau menciptakan satu.”
Elena menatapnya, “Tepat. Dan kalau kita memainkan ini dengan benar, tak ada yang mempertanyakan seberapa sering aku bertemu dengannya... atau kenapa.”
Layla mengangguk, lalu berbalik untuk pergi.
Tepat sebelum ia membuka pintu, Elena memanggil, “Layla?”
Layla berhenti.
"Jaga instingmu tetap tajam. Jika ada yang mulai bertanya hal-hal yang salah, aku ingin tahu sebelum menjadi masalah.”
“Baik.”
Dan pintu pun tertutup di belakangnya, meninggalkan Elena sendirian, dengan satu tangan masih menyentuh dokumen itu, dan tangan lainnya sudah bergerak mengambil ponsel.