Sejak kecil Adrian Pratama Putra hidup di lingkungan keluarga yang menuntut kesempurnaan, dimana Orangtuanya selalu menetapkan standar yang sangat tinggi kepadanya, karena itulah Adrian setiap hari bekerja mati-matian agar bisa menjadi seorang anak yang diinginkan orangtuanya.
Hingga dimana Adrian telah berada dititik keputusasaan total — Telah menyerah dan tidak lagi mengejar dengan apa yang namanya keluarga. Di saat itulah dia mulai mengenal yang namanya novel yang selalu menjadi tempat hati Adrian yang dulunya retak kini mulai terpasang kembali berkat membaca novel.
Mungkin Akibat kebanyakan membaca sebuah novel Reyan tiba-tiba masuk kedalam salah satu novel yang pernah ia baca. Tapi masalahnya novel yang dia masuki itu ... dark fantasi!! Sebuah webnovel yang terakhir kali dia baca.
Terlebih lagi dia masuk kedalam tubuh lemah yang sebentar lagi akan menjemput ajalnya!?
Halo para readers. Ini karya pertamaku, jadi mohon maaf bila banyak kesalahan dan typo yang bersebaran😓
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NoxVerse, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Si pemalas Kayzen, dan Sean berhasil lulus dengan nilai sempurna.
"Tidak ada." Dengan malas Kayzen melanjutkan, "Aku tidak memiliki ambisi sebesar itu untuk mencapai puncak sihir. Motto hidupku adalah bermalas-malasan dan tidak membuang banyak energi," jawabnya enteng.
Huss~~
Ruangan menjadi sunyi seperti angin lewat karena semuanya tercengang mendengar Alasan tidak masuk akal Kayzen. Seberapa malasnya orang ini? Itulah yang dipikirkan semua yang hadir di sini.
Bola kembali bersinar, mengeluarkan sinar biru muda dan warna biru di sini melambangkan ketulusan, kejujuran dan ketenangan. Meskipun dari luar Kayzen tampak terlihat orang bodoh dan tidak dapat di percaya, tapi dalam hatinya tulus dan bersih, dia tidak pernah memikirkan obsesi berlebihan tentang kekuatan.
Elena juga melihat perubahan warna ini dan tersenyum. Sangat sedikit orang yang memiliki pemikiran seperti ini. Elena berdehem sejenak dan kembali melanjutkan. "Baik, lanjut ke pertanyaan ketiga. Jika sihirmu kelak menjadi tak terkendali dan membunuh orang yang paling kau cintai, apa yang akan kau lakukan?"
"Bagaimana caranya sihirku menjadi tidak terkendali kalau aku sendiri tidak mempunyai namanya ambisi? Aku malas melihat hal-hal merepotkan seperti kehancuran dan ...." Perkataan Kayzen terhenti.
Kayzen melanjutkan. "Sihir juga mengikuti keinginan keinginan tuannya, kan?." Mungkin jawabannya akan terlihat ambigu bagi orang biasa, Tapi berbeda dengan orang yang memahami maksud perkataan Kayzen.
Bola kaca kembali bersinar, kali ini warna biru yang di keluarkan menjadi lebih terang.
Elena tersenyum. "Selamat nak, kau berhasil lolos di ujian ini dengan nilai tertinggi untuk saat ini," ucapnya memberi selamat pada Kayzen.
"Yeeey ... Hoam." Dengan keadaan sedikit mengantuk Kayzen menerima ucapan selamat dari Elena, meskipun itu hanya di buat-buat. "Bisakah aku langsung keluar dari sini? Aku ingin istirahat sejenak sebelum memasuki ujian yang lebih sulit."
"Tentu, masih ada calon siswa lain di ruangan lain yang masih lama selesai ujiannya. Kau bisa beristirahat beberapa jam sebelum memasuki ujian berikutnya." Elena menjawab dengan ramah.
"Seperti kau harus menghilangkan kemalasanmu untuk ujian berikutnya. Aku mungkin bisa mentoleransi sifatmu, tapi berbeda dengan instruktur yang bertugas di ujian itu terkenal dengan peraturan yang sangat ketat. Sedikit apapun kau membuat kesalahan dia tidak akan menerimanya," peringat Elena dengan sungguh-sungguh.
Kayzen mengangguk paham peringatan Elena padanya. dengan malas dia menyeret kakinya keluar dari ruangan dan pergi mencari tempat beristirahat sejenak.
Melihat Kayzen yang keluar, Elena sangat menyayangkan satu hal dari sifat Kayzen, yaitu kemalasannya, mengingatnya pada teman se academy dulu. Tapi tidak apa-apa, itu lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
"Selanjutnya, Sean Vaughn Baldwin." Setelah Kayzen pergi menunggu di ujian berikutnya, Elena kembali menyebut nama siswa dan sekarang adalah giliran Sean, sang MC kita.
"Iya." Sean menyahut dengan ringan.
Sean berdiri dari kursinya dan melangkah biasa ke depan. Sean meletakkan tangannya di atas bola kaca.
"Pertanyaan pertama, apa arti sihir bagimu?"
"Pertama, sihir bagiku adalah Dominasi. Di dunia ini, yang kuat berkuasa, dan sihir adalah alat mutlak untuk memegang kekuasaan itu." jawab Sean.
Bagi Sean, sihir yang memegang kendali dunia ini. Di dunia novel ini, orang yang kuat lah yang akan di hormati.
Bola kaca bersinar, mengeluarkan warna putih yang sedikit menyilaukan.
"Oh?" Elena membelalakkan matanya, terkejut mendengar jawaban. "Aku rasa sudut pandang kita terhadap sihir itu sama." Mata Elena berkilauan seperti menemukan sesuatu yang cocok dengannya.
Tapi itu langsung menghilang dalam waktu milidetik, digantikan dengan ekspresi wajah yang biasa saja. "Lanjut pertanyaan kedua, apa yang bersedia kau korbankan demi mencapai puncak sihir."
"Diriku sendiri." Sean berkata dengan lantang. "Mencapai sesuatu pastinya memerlukan memerlukan sebuah pengorbanan. Maka itu, aku akan mengorbankan diriku sendiri untuk mencapainya dan melindungi orang yang ku sayangi."
Cahaya bola masih belum padam.
Elena terkesima dengan jawaban Sean. Dia melihat semangat Sean dalam melindungi orang tersayangnya. "Siapapun itu, pasti orang itu sangat beruntung memiliki mu," canda Elena dengan masih mempertahankan senyumannya.
"Tidak, seharusnya akulah orang yang beruntung itu." Sean menjawab dengan rendah hati.
"Oke, lanjut ke pertanyaan ketiga." Elena tidak melanjutkan percakapan pribadi Sean. "Jika sihir mu kelak menjadi tak terkendali dan membunuh orang yang paling kau cintai, apa yang akan kau lakukan?"
Dengan anggun Elena menopang dagunya menggunakan kedua tangannya dengan jari-jarinya yang di gabungkan. Menunggu dengan harap jawaban apa yang diberikan Sean.
Sambil menatap bola yang berada di bawah tangannya. Sean memikirkan Lyria, seseorang yang dia anggap sangat penting dan menjadi ibu dalam hidupnya. Rasa emosional melanda dirinya.
"Tidak akan pernah, sebelum itu terjadi aku lebih memilih membunuh diriku sendiri dan menghilang daripada melihat orang yang di cintai mati di hadapan kita. Itu lebih menyakitkan dari apapun rasa sakit di dunia ini," tutur Sean merasa pilu.
Bola kaca mengeluarkan cahaya yang terang seperti bohlam lampu yang baru di gunakan. Partikel-partikel warna-warni muncul di sekitar bola, membuatnya menjadi sangat indah di mata memandang.
Mengeluarkan sebuah suara seperti jiwa yang terperangkap dalam waktu dan ingin meminta tolong.
"Ini!" Elena merasakan perasaan tulus dan rasa sakit dari dalam diri Sean. Sebuah rasa sakit yang seperti memakan jiwanya. Rasa kelelahan abadi yang terus berulang hingga siklus yang tidak di ketahui.
Elena bisa melihat itu semua dalam diri Sean, dia juga seperti merasakan kesedihan yang di alami Sean. Anak ini, aku merasakannya! Jiwa yang kesepian.
Elena menatap Sean dengan rasa kasihan. Anak ini baru berumur 11 tahun tapi memiliki tanggung jawab yang besar untuk seusianya.
"Ahaha, maafkan aku. Aku seperti memberikan kisah hidupku," ucap Sean menggaruk kepalanya merasa malu.
Elena menggelengkan kepalanya membantah. "Sudah seharusnya manusia membantu sesamanya, jadi kau tidak usah malu seperti itu, terlebih aku bukan orang yang menusuk dari belakang."
Sean menjadi canggung. "Bagaimana hasil ujianku?" tanya Sean penasaran.
"Lulus dengan nilai sempurna."
[Ding!]
[Misi: Pergi mendaftar lebih awal ke Academy sihir resonance atau Ordo pedang suci telah selesai.]
[Hadiah: Mendapatkan 2.000 Poin.]
[Hadiah akan langsung di masukkan dalam sistem Host!]
Suara sistem menggema di telinga Sean. Misi yang dia dapatkan waktu mendapat pengakuan dari kaisar Aldrich telah berhasil dia tuntaskan. Memberikannya hadiah 2.000 Poin.
Akhirnya, batin Sean senang.
"Kalau begitu apakah aku boleh keluar?"
"Silahkan, lagipula tidak ada lagi yang kau lakukan di sini. Tinggal menunggu saja ujian selanjutnya," jawab Elena dengan ramah.
Sean melangkah keluar dan tak lupa berterima kasih kepada instruktur Elena.