Kehidupan Aira yang mulanya penuh bahagia tiba-tiba mulai terbalik sejak papanya menikah lagi.
Lukanya diiris kian dalam dari orang terkasihnya. Malvino Algara, pacarnya itu ternyata palsu.
" Pa ... Aira butuh papa. "
" Angel juga butuh papa. Dia ngga punya papa yang menyayanginya, Aira. "
****
" Vin ... Aku sakit liat kamu sama dia. "
" Ngga usah lebai. Dulu lo udah dapat semuanya. Jangan berpikir kalo semuanya harus berpusat ke lo, Ra. "
" Kenapa kamu berubah? "
" Berubah? Gue ngga berubah. Ini gue yang sesungguhnya. Ekspetasi lo aja yang berlebihan. "
****
" Ra ... Apapun yang terjadi. Gue tetap ada disamping lo. "
" Makasih, Alin. "
****
" Putusin. Jangan paksain hubungan kalian. Malvino itu brengsek. Lupain. Banyak cowok yang tulus suka sama lo. Gue bakal lindungin lo."
" Makasih, Rean. "
****
" Alvin ... Aku cape. Kalau aku pergi dari kamu. Kamu bakal kehilangan ngga? "
" Engga sama sekali. "
" Termasuk kalo aku mati? "
" Hm. Itu lebih bagus. "
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sutia Pristika Sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ledakan emosi
" Bang Ben, tolong buka gerbangnya dong! "
Aira menjerit dari atas motor Malvino. Mereka baru tiba di depan gerbang rumahnya. Beberapa kali ia memanggil satpam penjaga gerbang, tapi kehadirannya tak tampak juga. Bang Beno adalah nama satu-satunya yang muncul di kepala, makanya ia langsung memanggil sang sopir yang sudah ia anggap seperti abangnya sendiri itu.
Secepat kilat Beno berlari ke arah gerbang. Panas yang makin menyengat membuat Aira tak tahan terlalu lama di luar, " Pak Tejo mana, bang? " Tanya Aira setelah pintu gerbang besi dibuka lebar.
" Beliau izin pulang tadi, non. Beliau dapat telpon dari istrinya kalo anak mereka tiba-tiba demam tinggi. " Jawab Beno.
Aira mengangguk paham, " Oh, gitu. Kasihan pak Tejo. Semoga anaknya cepat sembuh lah, aamiin. "
" Iya, non. Aamiin. " Beno menambahkan. Ia tersenyum sopan sebelum meninggalkan sang majikan.
Aira berputar badan, " Kamu masuk dulu, ya! Makan malamnya di rumah aku aja. Kasihan papa, udah berkali-kali dia ngajak kamu makan bareng, tapi di tolak mulu. " Ujarnya ke Malvino.
Malvino berpikir sejenak, kemudian langsung masuk ke halaman rumah dengan menaiki motornya. Aira hanya menyusul jalan kaki di belakang.
****
Aira membelalakkan matanya saat melihat Beno sibuk menurunkan bingkai foto dari dinding setiap pojok rumah, " Loh? Bang Ben, ini ada apa? Kenapa foto mama dan papa di turunin semua? " Tanyanya heran.
Beno terkejut, bingkai foto besar yang dipegangnya hampir terlepas ke lantai. Siti dan Bi Sumi yang sedang menyusun bingkai foto ke dalam kardus juga sama. Mereka diam seribu bahasa.
Aira melangkah pelan ke arah tiga orang itu, " Kenapa ngga ada yang jawab? Bang Ben? Bi Sumi? Mbak?" Tanyanya bergiliran.
Malvino mendekat. Menggapai kedua bahu Aira dari belakang. Sedikit dielus dan menariknya pelan sehingga dadanya berbenturan dengan punggung gadis itu.
Ketiga orang di depannya masih betah membisu. Masing-masing takut atau bahkan mungkin tak tega menjawab pertanyaan Aira.
" Semua foto ini mau disimpan di gudang dan diganti dengan foto om Abimanyu dan mama aku, kak. " Celetuk Angel yang tiba-tiba muncul dari arah kamarnya.
Aira beralih pandang. Ucapan Angel membuatnya harus menggosok-gosok kedua kupingnya berulang kali. Meyakinkan kalau ia tak salah dengar, " Apa lo bilang? Di ganti? " Tanyanya jengah.
" Iya, kak. "
" Cih, atas izin siapa? " Aira mulai geram.
Angel menggoyang pelan badannya, sesekali meniup kuku" Om Abimanyu, papa kak Kaisa sendiri. Dia yang kasi izin. Dia juga yang suruh mereka bertiga buat copot semua foto di dinding rumah ini dan yang ada di setiap meja. " Ia menjawab santai. Sangat berbanding terbalik dengan sikapnya tempo hari yang untuk menatap Aira saja seolah tak berani.
Darah Aira mendidih. Ia menggeleng tegas, " Engga, ngga mungkin papa gue yang nyuruh."
" Ra, sabar! Jangan emosi dulu, ya! Kita tanya papa kamu dulu. " Malvino berujar dari belakang.
" Papa udah pulang kerja, Mbak? " Tanya Aira ke Siti.
Siti mengangkat kepalanya, " Tuan ngga kerja hari ini non. Karena beliau harus bawain Bu Saras ke rumah sakit tadi. " Jawabnya pelan.
" Jadi, papa ada dimana? " Aira bertanya lagi.
" Ada dikamarnya, non. "
Aira cepat-cepat menuju ke lorong kiri, ke kamar papanya. Setiap langkahnya ada tekanan amarah yang membludak.
Pintu diketuk setelah ia sampai ke depan pintu kamar, " Pa ... Aira boleh masuk? " Katanya sambil terus menggedor pintu warna hitam itu. Kalau saja tak dibuat dari kayu padat, mungkin pintu tersebut sudah jebol.
Abimanyu muncul, tangannya memegang handel pintu, " Sweety? Baru pulang? Kegiatannya udah selesai? " Tanyanya.
Aira menatap lekat sang papa. Dadanya naik turun. Ia miringkan kepala untuk melihat sosok wanita yang berbaring santai di atas ranjang. Panas hatinya masih menggelegak.
" Sweety? Ada apa? Kenapa kamu diam aja? Mau bilang ap__ "
" Kenapa semua foto papa dan mama di ruang tengah di copotin semua? Siapa yang izinin, pa? " Tanya Aira langsung ke intinya.
Abimanyu mengernyit. Masih mengulas senyum untuk mencarikan suasana, " Oh, em__ itu? Memang papa yang suruh, sayang. Soalnya__ "
" Kenapa? What have you done, Pa? " Aira menjejal pertanyaan lagi. Napasnya sudah memburu laju.
Abimanyu melenguh pelan, " Sweety, listen! Papa cuma berusaha untuk meminimalisirkan kesedihan yang selama ini papa tanggung. Kamu tau kan kalo mama kamu itu ngga akan pernah bisa balik lagi? Kamu juga pernah bilang ke papa untuk move on. Jadi, langkah awal papa untuk move on adalah dengan menjauhkan semua hal yang berpotensi buat papa ingat terus ke mendiang mama kamu. " Ia menjelaskan.
Aira menggigit bibir bawahnya, " Tapi, Aira ngga setuju dengan tindakan papa kali ini. Kenapa harus di ganti dengan foto pernikahan papa dan Tante Saras? Maksudnya apa? Papa tau kan, kalo Aira ngga suka. "
" Fotonya cuma di copotin dari dinding Aira, ngga dibuang. Semuanya akan tetap disimpan rapi di gudang. "
Aira masih kukuh tak terima," Itu masalahnya. Kenapa harus diletakkan di gudang? Mama adalah pemilik rumah ini juga. Jadi, Wajar kalo semua isi dirumah ini ada foto mama. " Katanya.
" Bilang ke Aira! Semua ini atas keinginan siapa? Kalo inisiatif papa sendiri, Aira ga percaya. So, siapa yang udah hasut papa? " Sambungnya. Tangannya mengepal erat di samping badan.
Abimanyu menoleh ke arah istrinya yang masih berbaring, " Ngga ada, sweety. Semua alasannya udah papa jelasin barusan. "
Aira mengikuti arah pandang sang papa" Aira ga percaya. Ini pasti karena tante Saras, kan? Dia yang udah hasut papa buat ngelakuin ini. Iyakan, pa? " Ujarnya mendengus muak.
" Aira ... " Tegur Abimanyu.
Aira menyelonong masuk ke dalam kamar papanya begitu saja. Melihat wajah mengejek dari mama tirinya itu, sungguh menyulut emosinya. Abimanyu tak hayal menyusul sang putri.
" Tante ... Apa yang lagi tante rencanain? Ini semua pasti karena tante kan? " Tanyanya setelah sampai di samping ranjang.
Saras bangun, bersandar pada dipan, " Ada apa, Aira? Apa maksud kamu? Rencana apa?" Ia balik bertanya.
" Ngga usah pura-pura lagi. Bilang aja! Kalo tante yang suruh papa buat ganti foto mama aku dengan foto tante kan? " Tuding Aira.
Abimanyu beralih tegak di antara sang anak dan istrinya. Ia menghadap sedikit ke Aira, " Sayang, udah! Kenapa jadi diperpanjang? Kamu tenang. Semuanya bisa dibicarain baik-baik, kan? " Tangannya meraih wajah bulat itu.
" Bisa kok ... Asalkan, papa pasang lagi foto mama sesuai tempatnya. Kayak biasa. "
Keadaan jadi hening beberapa menit. Abimanyu menatap Aira dan kemudian beralih ke arah Saras.
" Apa kamu sama sekali ngga bisa menghargai tante, Aira? " Saras bertanya memecah keheningan.
Aira mengernyit penuh tanya, " Apa, tan? "
" Tante adalah istri papa kamu sekarang. Mama sambung kamu. "
" Yes, so? "
" Tante juga punya perasaan. Kamu mikir ngga, gimana perasaan tante saat melihat seluruh rumah ini dipenuhi oleh mantan istri papa kamu, seseorang yang udah meninggal belasan tahun. Sementara itu, tante juga udah jadi bagian dari keluarga ini. Tapi, ngga ada satu pun foto tante yang dipajang. Sakit banget rasanya, Aira. " Saras menjawab jelas. Matanya sudah penuh air yang membendung.
Abimanyu hanya bisa berdiam di pojokan. Kepalanya berdenyut keras. Tak disangka, permintaan dari Saras tadi membuat semuanya jadi kacau seperti ini.
Aira maju satu langkah, " Tante ... Aku dibujuk papa saat itu, sampai aku setuju dengan pernikahan kalian. Tentunya tante tau, karena aku ngga suka sama tante dan Angel. But, demi papa aku berusaha turunin ego itu. " Katanya.
" Tolong, tan! Tolong, banget! Hentikan apa yang lagi tante rencanakan! " Tambahnya.
" Aira, udah! Jangan ngomong lagi. " Abimanyu menyahuti.
Aira tak peduli. Ia masih terus menilik ke satu titik, " Mohon banget ya, tante. Setelah ini, jangan minta yang aneh-aneh lagi ke papa aku. Aku ngga bermaksud kurang ajar, tapi cuma mau mengingatkan kalo tante dan Angel adalah orang luar. Jadi, sewajarnya aja!" Imbuhnya.
Abimanyu memandang ke Saras yang sudah menunduk lemah, " Apa-apaan kamu, Aira? Ngga boleh bilang kayak gitu! Ngga sopan. Papa ngga pernah mengajarkan kamu begitu selama ini."
" Aira cuma bantu tante Saras untuk lebih sadar diri aja kok, pa. Supaya beliau dan anaknya ngga bertindak sesukanya. Supaya mereka tau batasnya. "
Dada Abimanyu kembang kempis, " Aira, cukup! Kamu udah keterlaluan. " Bentaknya keras.
Bentakan itu bagaikan bom atom yang meledakkan hati Aira. Suara tinggi itu menembus dinding kamar sampai ke ruang tengah. Tembus juga ke sela-sela tulang sendi tubuh Aira.
Angel serta-merta berlari untuk menghampiri mereka. Napasnya tersengal, namun masih di sebelah muka pintu. Ia belum mau langsung masuk.
" Pa? " Panggil Aira singkat. Bertanya lewat tatapan matanya.
Abimanyu maju ke putrinya, " Apa? Mau nanya kenapa papa bentak kamu? Karena kamu udah kurang ajar, Aira. "
" Mas ... " Sela Saras. Bermaksud untuk mencegah suaminya mengatakan yang selanjutnya lagi.
" Mungkin ini semua juga karena salah, papa. Salah, karena papa udah memanjakan kamu terlalu berlebihan selama ini. "
Aira membisu. Betul-betul tak lagi mengeluarkan suara. Semuanya tertahan di diafragma. Namun, matanya tak bisa beralih dari Abimanyu.
" Papa adalah kepala keluarga. Semuanya papa yang berhak ngatur. Termasuk untuk tetap menyimpan foto-foto kenangan papa dengan mendiang mama kamu, dan menggantikannya dengan foto baru papa dan tante Saras. " Abimanyu berucap lantang.
" Ini keputusan final. Papa udah cape meladeni tingkah kekanakan kamu, Aira. "
" Pap__ papa ... " Aira tak mampu meneruskan ucapannya.
" Introspeksi dan renungi kesalahan kamu! Kalo kamu masih keberatan dengan keputusan papa, silakan angkat kaki sementara dulu dari rumah ini! "
Angel menutup mulutnya. Tak mengira jika Abimanyu mampu mengatakan hal seperti itu ke putri kandung yang sangat disayanginya selama ini. Ia berjingkrak senang. Melihat Aira tak berdaya di depan papanya.
Sementara, Aira susah payah memahat senyum untuk menopengi ribuan luka di hatinya, " So, Aira di usir nih ceritanya? " Tanyanya diakhiri dengan kekehan kecewa.
Saras tertawa dalam hati. Bersamaan tampak olehnya Angel bersembunyi di samping tembok. Keduanya saling kode.
Aira bertepuk tangan. Seluruh emosinya tersalur dari setiap bunyi tepukannya, " Huh!! Wah, hebat juga pengaruh istri muda papa aku ini." Ujarnya sembari manggut-manggut.
Abimanyu tak lagi menatap Aira. Ia malah membelakangi gadis itu dengan menatap ke arah luar jendela besar yang dilapisi gorden bening. Menunjukkan aura seorang ayah yang dominan tak bisa dibantah.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Aira segera keluar dari kamar itu. Ia bertemu Angel saat akan berbelok. Tapi, lebih memilih terus melanjutkan langkah tak peduli. Kaki mungil itu terus membawanya sampai tiba di ruang tengah.
" Non .. Non baik-baik aja? " Tanya Siti. Ia lebih dulu menghampiri Aira dari yang lain. Khawatir sejak dari gadis itu mulai menuju ke kamar Abimanyu tadi.
" Ngga apa-apa kok, mbak. Boleh Aira minta tolong? " Tanya Aira.
" Boleh, tentu boleh. Minta tolong apa, non? "
" Tolong kemasi sebagian baju Aira termasuk seragam sekolah dan bawa kesini! "
" Loh? Kok? Kenapa, non?
" Bisa langsung lakuin aja, Mbak? "
" I__iya non, iya bisa. Sebentar ya! " Siti menjawab dan melakukan seperti yang diminta.
Aira duduk di sofa, menunggu. Malvino yang heran langsung mendekati sang pacar.
" Ra, kenapa tiba-tiba minta dikemasi baju segala? Kamu mau kemana emang? " Tanyanya.
Aira sudah menunduk, terus menatap bayangannya di lantai keramik, " Aku di usir papa. " Hanya itu jawabnya. Singkat tapi menusuk hati Malvino.
Tak lama, Siti pun datang, " Ini, non! " Ia mendorong tangkai koper ke hadapan Aira.
" Makasih ya, mbak. "
" Iya, non. Tapi, non mau kemana? Kenapa harus pergi? "
Aira terkekeh kecil, menyeka air matanya sekilas, " Cuma pergi sebentar aja kok, mbak. Sampai emosi aku dan papa membaik lagi. "
Ia giliran menatap ke Malvino, " Alvin ... Setelah ini, bawa aku ke rumah kamu dulu aja, ya! Aku kangen sama tante Winda. Boleh? "
Malvino menyetujuinya, " Iya, of course. "
" Tuh, mbak dengar kan? Jadi, ngga perlu khawatir kalo aku harus nginap dimana. "
Beno membuang muka. Bi sumi terisak kecil. Mereka tak sanggup berkata-kata.
Malvino menyambut jemari Aira ke dalam genggamannya, tangannya yang sebelah menggeret koper, " Kalo gitu, kami pamit dulu." Ujar Malvino.
" Bang Ben ... Tolong jaga papa, ya! Bi sumi, tolong urus semua keperluan papa. Dan Mbak Siti, pastikan papa untuk selalu minum vitaminnya. Makasih banyak buat kalian.Nanti, kalo aku balik kesini, aku bawain oleh-oleh buat kalian. " Aira menambahkan.
Ketiga orang gaji tersebut mengangguk serentak. Kemudian, Aira dan Malvino meninggalkan ruang tengah itu. Keduanya sudah naik di atas motor. Dan sekejap mata, mereka keluar dari gerbang menembus jalanan ibu kota.
Tanpa diketahui, semua yang dikatakan Aira itu terdengar di jelas di telinga Abimanyu yang sudah berdiri di belakang guci besar. Niatnya ingin mencegah sang anak pergi, tapi kemarahan kembali menguasai. Sehingga, ia hanya mampu berdiam menatap kepergian Aira seperti pengecut di sebalik guci besar itu.
****