NovelToon NovelToon
The Lonely Genius

The Lonely Genius

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Sci-Fi / Anak Genius / Murid Genius / Dunia Masa Depan / Robot AI
Popularitas:710
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".



(Setiap hari update 3 chapter/bab)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20: Nyanyian Matahari

Cahaya itu membutakan.

Setelah keremangan koridor belakang panggung yang dilapisi beludru, panggung Aula Konser Stockholm terasa seperti permukaan matahari itu sendiri. Ribuan lampu kristal memantulkan cahaya ke setiap sudut, mengubah udara menjadi debu emas yang berkilauan. Gelombang tepuk tangan—gemuruh yang terasa fisik di dada Ethan—menyapu dirinya saat dia berjalan ke tengah panggung.

Dia bergerak seperti dalam mimpi. Dia melihat lautan wajah di depannya—pria dan wanita dalam setelan jas hitam dan gaun malam yang berkilauan, wajah-wajah serius para akademisi, senyum sopan para bangsawan. Di balkon kerajaan, Raja Swedia yang sudah tua mengangguk padanya dengan ramah.

Ini adalah puncak dunia. Puncak pencapaian manusia. Dan dia, Ethan Pradana, anak yatim piatu dari Zona-D, berdiri di pusatnya.

Dia menerima medali emas—berat dan dingin di tangannya yang sedikit gemetar. Dia menerima diploma berbingkai kulit. Dia menjabat tangan Raja, membungkuk canggung seperti yang telah dilatih Kenji (dia hampir salah langkah).

Lalu, dia sendirian. Berdiri di depan podium kayu ek yang dipoles, dengan mikrofon perak berkilauan di depannya.

Keheningan turun seperti selimut tebal. Seribu lima ratus orang menahan napas. Seluruh dunia menonton melalui siaran langsung.

Di depannya, sebuah layar teleprompter kecil menyala, menampilkan paragraf pertama dari pidato yang aman dan membosankan itu: *"Yang Mulia, Yang Terhormat Anggota Akademi Swedia, para pemenang Nobel, Tuan-tuan dan Nyonya-noya..."*

Ethan menatap kata-kata itu. Kata-kata kosong. Topeng emas.

Dia mengangkat kepalanya.

Dia memindai lautan wajah itu. Dia mencari sesuatu yang nyata.

Dia menemukannya. Di balkon pers di sebelah kiri, sebuah lensa kamera menangkap cahaya. Di belakangnya, dia bisa melihat siluet Nate Reyes, memberinya acungan jempol yang nyaris tak terlihat.

Dan di balkon VIP di sebelah kanan, di antara kerumunan pejabat, dia melihatnya. Luna Carpenter. Dia tidak bertepuk tangan. Dia hanya menatapnya, matanya dipenuhi campuran kebanggaan dan ketakutan yang membuat jantung Ethan terasa sakit. Dia memberinya senyuman kecil yang goyah, senyuman yang mengatakan, *Jadilah dirimu sendiri.*

Dan di suatu tempat di bayang-bayang di belakang panggung—dia tidak bisa melihatnya, tetapi dia bisa merasakannya—Senator Kaelen Rostova sedang mengawasi. Menunggu.

Ethan menarik napas dalam-dalam, mencium bau debu panggung dan bunga lili yang samar.

Dia mengabaikan teleprompter itu.

Dia mencondongkan tubuhnya ke mikrofon.

"Ada seorang gadis," katanya, suaranya terdengar pelan dan sedikit serak di keheningan yang megah itu. "Namanya Maya."

Keheningan semakin dalam. Kebingungan mulai merayap di wajah-wajah di barisan depan. Ini tidak ada dalam naskah.

"Dia tinggal di tempat saya dibesarkan," lanjut Ethan, suaranya semakin kuat. "Sebuah panti asuhan di Zona-D London. Tempat di mana listrik dijatah. Di mana pemanas sering mati di tengah musim dingin."

Dia berhenti sejenak, membiarkan gambaran itu meresap. "Maya sakit. Paru-parunya lemah. Dia membutuhkan mesin untuk membantunya bernapas. Mesin yang membutuhkan listrik."

Dia menatap lurus ke arah kamera siaran utama, berbicara bukan kepada para bangsawan, tetapi kepada jutaan orang di Zona-C dan D yang sedang menonton di layar komunal mereka.

"Suatu malam," katanya, suaranya bergetar karena emosi yang tertahan, "listrik padam. Mesinnya mati. Dan Maya..." Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Dia tidak perlu.

Keheningan kini dipenuhi oleh sesuatu yang lain. Bukan lagi kebingungan. Tapi pemahaman. Empati.

"Saya berdiri di sini malam ini," kata Ethan, suaranya kini jernih dan kuat, "memegang penghargaan ini... karena saya membuat janji pada diri saya sendiri malam itu. Janji bahwa tidak ada lagi anak yang akan mati dalam kegelapan hanya karena seseorang di menara kaca memutuskan bahwa mereka tidak layak mendapatkan cahaya."

Tepuk tangan mulai terdengar. Bukan dari barisan depan yang kaku, tetapi dari balkon atas, dari para staf, dari para jurnalis. Tepuk tangan yang ragu-ragu, lalu semakin kuat.

Ethan mengangkat tangannya, meminta keheningan. "Terima kasih. Tapi saya belum selesai."

Dia berbalik dan menunjuk ke layar besar di belakangnya, yang seharusnya menampilkan logo Nobel. "Aurora," katanya pelan ke mikrofon kerahnya yang tersembunyi. "Tampilkan."

Layar itu berkedip, lalu menampilkan hologram Dyson Sphere yang berputar perlahan, bersinar dengan cahaya putih yang murni.

Napas kolektif terdengar di aula.

"Mereka menyebutnya Proyek Dyson Sphere," kata Ethan. "Mereka menyebutnya Arsitektur Lensa Fraktal. Mereka menyebutnya keajaiban teknologi."

Dia berbalik menghadap penonton lagi. "Itu semua benar. Tapi itu bukan intinya."

"Intinya," katanya, suaranya kini dipenuhi gairah, "adalah ini." Dia menunjuk ke cahaya di layar. "Ini adalah api matahari itu sendiri. Energi penciptaan. Energi kehidupan. Energi yang sama yang menyinari istana ini dan gubuk-gubuk di Zona-D."

"Selama berabad-abad, kita telah diberitahu bahwa energi itu langka. Bahwa energi itu mahal. Bahwa energi harus dikendalikan." Dia menggelengkan kepalanya. "Itu adalah kebohongan."

"Kebohongan yang diceritakan oleh mereka yang mendapat untung dari kegelapan. Kebohongan yang membuat Maya tetap dalam kedinginan."

Suasana di aula berubah lagi. Empati mulai bercampur dengan ketidaknyamanan. Orang-orang di barisan depan mulai berbisik di antara mereka sendiri. Di belakang panggung, Ethan bisa membayangkan Kenji pingsan.

"Lensa Fraktal mengubah segalanya," kata Ethan. "Teknologi ini—yang didasarkan pada kebijaksanaan kuno yang hampir kita lupakan—tidak *menciptakan* energi. Ia hanya *membuka* pintu ke sumber energi yang tak terbatas dan bersih yang selalu ada di sana, menunggu kita."

Dia berhenti, menatap langsung ke kamera. "Energi seharusnya tidak menjadi komoditas yang diperdagangkan oleh para elit. Energi seharusnya tidak menjadi senjata yang digunakan untuk mengendalikan bangsa-bangsa."

Dia menarik napas dalam-dalam. Inilah saatnya. Titik tanpa harapan untuk kembali.

"Energi," katanya, suaranya bergema di keheningan yang tegang, "**adalah hak asasi manusia.**"

Kata-kata itu menggantung di udara seperti muatan listrik statis. *Hak asasi manusia.* Sebuah konsep yang berbahaya bagi tatanan dunia.

"Sama seperti udara yang kita hirup," lanjut Ethan, tidak membiarkan keheningan mematahkan momentumnya. "Sama seperti air yang kita minum. Energi dari bintang kita adalah milik *semua orang*. Bukan hanya milik mereka yang mampu membayarnya. Bukan hanya milik mereka yang lahir di zona yang 'benar'."

Dia menunjuk ke hologram Dyson Sphere lagi. "Mesin ini... Lensa Fraktal ini... bukanlah milik saya. Itu bukan milik Zona-S. Itu bukan milik Inggris atau Eropa."

"Itu milik umat manusia."

Dan kemudian, aula itu meledak.

Itu bukan tepuk tangan sopan seperti sebelumnya. Itu adalah gelombang suara yang kacau. Sebagian penonton melompat berdiri, bersorak liar—para ilmuwan muda, perwakilan dari negara-negara berkembang, para idealis. Mereka meneriakkan namanya. "Pradana! Pradana!"

Tetapi sebagian besar lainnya—para politisi tua, CEO korporasi energi, para bankir—duduk membeku di kursi mereka, wajah mereka pucat karena kaget atau merah karena marah. Beberapa mulai mencemooh. Yang lain hanya menggelengkan kepala dengan jijik.

Raja Swedia tampak benar-benar bingung.

Di balkon pers, Nate Reyes sedang mengabadikan semuanya, wajahnya dipenuhi adrenalin dan kebanggaan yang liar. Di balkon VIP, Luna berdiri, tangannya menutupi mulutnya, matanya berkaca-kaca—entah karena haru atau takut, Ethan tidak tahu.

Dan di bayang-bayang di belakang panggung, Kaelen Rostova tidak bergerak. Wajahnya adalah topeng porselen yang tenang. Dia hanya mengamati kekacauan itu, matanya yang dingin menghitung.

Dia melihat bagaimana para pendukungnya (para politisi yang dia kendalikan) tampak ngeri. Dia melihat bagaimana para pesaingnya (CEO energi) tampak marah. Dia melihat bagaimana massa di luar sana (melalui umpan berita di data-pad ajudannya) mulai merayakan pahlawan baru mereka yang radikal.

Asetnya baru saja menjadi liabilitas. Pedangnya baru saja menyatakan kemerdekaan.

Dia membuat keputusan. Dingin. Cepat. Tanpa emosi.

Dia memberi isyarat halus kepada kepala keamanannya. Sebuah gerakan tangan yang nyaris tak terlihat. Perintah telah diberikan. *Inisiasi Protokol Penahanan.*

Di atas panggung, Ethan tidak menyadari drama bisu yang terjadi di belakangnya. Dia masih terbawa oleh adrenalin pidatonya.

"Kita berdiri di ambang fajar baru!" serunya di atas keributan. "Sebuah fajar di mana tidak ada lagi perang untuk minyak! Tidak ada lagi anak-anak yang kedinginan! Tidak ada lagi Zona-D!"

Dia mengangkat Medal Nobelnya yang berkilauan. "Ini bukan hanya penghargaan untuk saya! Ini adalah penghargaan untuk harapan! Untuk kemungkinan! Untuk masa depan di mana kita semua bisa berbagi kehangatan matahari!"

Dia berhenti, napasnya terengah-engah, dadanya naik turun. Dia telah mengatakan semuanya. Dia telah mengatakan kebenarannya.

"Biarkan... biarkan ada cahaya," bisiknya ke mikrofon. "Untuk semua orang."

Tepuk tangan dari para pendukungnya kini memekakkan telinga. Cemoohan dari para penentangnya tenggelam. Untuk sesaat, rasanya seperti dia telah menang.

Dia membungkuk sedikit, lalu berbalik dan berjalan keluar panggung, kembali ke keremangan di belakang tirai emas.

Hal pertama yang dia lihat adalah wajah Kenji, yang seputih kain. "Pak... Senator... dia..."

Sebelum Kenji bisa menyelesaikan kalimatnya, Luna sudah ada di sana, menerobos kerumunan kecil pejabat. Dia memeluk Ethan erat-erat.

"Kau melakukannya," bisiknya di telinga Ethan, suaranya bergetar. "Aku sangat bangga padamu. Dan aku sangat takut untukmu."

Ethan memeluknya kembali, merasakan jantungnya sendiri mulai melambat. "Aku tahu," bisiknya.

Nate menerobos masuk berikutnya, menepuk punggung Ethan begitu keras hingga membuatnya terhuyung. "Kau gila! Benar-benar gila! Itu pidato terbaik yang pernah kudengar! Dan kau baru saja memulai perang dunia, kawan!"

"Mungkin," kata Ethan, berhasil tersenyum.

Saat itulah dua pria tinggi berjas gelap mendekati mereka. Mereka tidak tersenyum. Mata mereka kosong. Keamanan tingkat tinggi.

"Direktur Pradana," kata salah satu dari mereka, suaranya datar. "Senator Rostova meminta kehadiran Anda segera. Untuk... wawancara keamanan mendesak."

Perut Ethan terasa melilit. *Penahanan.* Itu dimulai lebih cepat dari yang dia duga.

"Aku akan ikut dengannya," kata Luna tegas, melangkah maju.

"Maaf, Dr. Carpenter," kata pria kedua. "Hanya Direktur."

"Tidak," kata Ethan. Dia menatap kedua pria itu. "Ke mana pun aku pergi, dia ikut."

Kedua pria itu saling pandang. Salah satu dari mereka berbicara pelan ke komunikator pergelangan tangannya. Setelah beberapa saat, dia mengangguk. "Baiklah. Ikuti kami."

Saat mereka mulai berjalan menyusuri koridor, menjauh dari panggung, Ethan menoleh ke belakang. Dia mencari Nate.

Nate berdiri di sana, kameranya diturunkan. Dia tidak lagi tersenyum. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang suram. Dia mengerti apa yang sedang terjadi.

Ethan mencoba memberinya anggukan meyakinkan. Tapi sebelum dia bisa, dia melihatnya.

Di ujung koridor yang lain, berdiri di ambang pintu keluar VIP, adalah Senator Kaelen Rostova. Dia tidak lagi tampak marah atau dingin.

Dia tersenyum pada Ethan.

Itu adalah senyum yang tulus. Senyum seorang mentor yang bangga pada muridnya yang paling berbakat. Senyum yang mengatakan, *Kau telah belajar dengan baik. Kau siap untuk ujian berikutnya.*

Dan itu adalah senyum paling menakutkan yang pernah dilihat Ethan sepanjang hidupnya.

1
Brock
Saya butuh lanjutannya, cepat donk 😤
PumpKinMan: udah up to 21 ya bro
total 1 replies
PumpKinMan
Halo semua, enjoy the story and beyond the imagination :)
Texhnolyze
Lanjut dong, ceritanya makin seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!