Pernikahan Tanpa Hati

Chris melangkah mendekati lemari istrinya. Ia membuka pintunya perlahan, dan di sana terlihat beberapa set pakaian yang masih tersusun rapi. Di sudut rak, deretan kotak kado berwarna lembut tersusun rapi, masih terbungkus rapi, seolah tak pernah disentuh.

“Rupanya... semua hadiah yang kuberikan selama ini tidak pernah dia buka,” gumamnya lirih. Bibirnya menegang, matanya redup menatap benda-benda itu. “Apakah karena dia sudah tahu... akan ada hari perpisahan ini?”

Ia menutup pintu lemari, lalu duduk di tepi kasur. Kedua tangannya saling menggenggam erat. Suara hatinya menggema bersama kenangan yang muncul satu per satu — termasuk ucapannya sendiri di awal pernikahan.

“Kita sudah menikah. Jadi, sudah seharusnya aku memberimu uang. Tapi ingat perjanjian kita, jangan ikut campur dalam urusanku. Baik itu bisnis, pergaulan, atau kebebasanku. Dan aku juga tidak akan mengganggu urusanmu.”

Chris menunduk, menatap lantai kosong.

“Chris Zhao,” ucapnya lirih, berbicara pada dirinya sendiri, “itu memang permintaanmu sejak awal. Karena itu, apa pun yang terjadi, Lolly tidak pernah memberitahumu. Sekarang... semuanya sudah berakhir. Dia sudah pergi, dan semua ini sudah berlalu.”

***

Sementara itu di sisi lain kota, Lolly baru saja tiba di apartemen yang baru disewanya. Ruangan itu kecil tapi bersih, tempat baru untuk memulai hidup dari awal. Ia membuka koper, menata pakaian satu per satu ke dalam lemari. Wajahnya tampak tenang, namun di balik ketenangan itu, hatinya masih terasa perih.

“Lolly Zhang...” gumamnya di depan cermin. “Anggap saja ini hidup baru. Lupakan semuanya. Jika pengajuanku disetujui, aku bisa keluar negeri. Dan semuanya benar-benar berakhir.”

Malam hari.

Lampu-lampu neon berwarna ungu dan biru berpendar di ruang karaoke klub malam itu. Musik berdentum pelan, diselingi tawa riuh dari beberapa meja di sisi ruangan. Di salah satu ruang VIP, Chris duduk bersandar di sofa kulit hitam, sebatang rokok terselip di jarinya. Asap tipis melingkar di udara, menambah sesak suasana malam itu.

Di hadapannya, Mark, teman lamanya, tertawa bersama dua wanita malam yang sedang bernyanyi di panggung kecil. Suara mereka serak, tapi cukup untuk menutupi keheningan antara Chris dan pikirannya sendiri.

"Ayolah, Chris!" seru Mark setelah menenggak minumannya. "Kau jarang pulang, jarang juga kumpul. Sekarang kita bisa bersenang-senang, minum sedikit, nikmati malam. Hidup ini terlalu pendek untuk diisi dengan wajah muram seperti itu."

Chris menghembuskan asap perlahan, matanya kosong menatap arah panggung.

“Lolly mengajukan perceraian,” katanya tenang, tapi suaranya terdengar berat.

Mark berhenti sejenak, lalu terkekeh.

“Bukankah itu yang kau inginkan? Kau sendiri bilang, kau tak pernah serius dengan pernikahanmu. Katamu, itu hanya pernikahan bisnis antara dua keluarga. Sekarang kau bebas, Chris. Banyak wanita di luar sana yang menunggumu. Harusnya kau senang, bukan murung seperti orang kehilangan segalanya.”

Chris menatap rokok di jarinya, lalu mematikan bara di ujungnya di atas asbak.

“Benar,” ucapnya pelan. “Seharusnya aku senang… Tapi tidak tahu kenapa, hatiku terasa hampa. Seperti… aku baru saja kehilangan sesuatu yang berharga.

Mark menatap Chris lekat-lekat, lalu terkekeh kecil sambil menepuk bahunya.

"Kau telah jatuh cinta, Chris Zhao. Pria yang aku kenal bukan tipe yang suka bermain dengan wanita. Kau dan dia… apakah kalian sudah sedekat itu?" tanyanya setengah menggoda.

Chris tidak langsung menjawab. Ia hanya diam, menatap kosong gelas di tangannya, lalu meneguk isinya perlahan.

Mark mengangkat alisnya, tersenyum miring.

"Melihat ekspresimu saja aku sudah tahu jawabannya. Kau jatuh cinta padanya, bukan?" katanya ringan, tapi penuh arti.

Chris menarik napas panjang. "Benar," ucapnya akhirnya. Suaranya rendah, serak oleh emosi yang tertahan.

"Padahal… aku memang mencintainya. Tapi kenapa, saat dia masih di sisiku, aku malah terus mengabaikannya."

"Chris, apa kau benar-benar akan menuruti keinginannya? Tidak ada jalan lain selain bercerai?" tanya Mark dengan nada khawatir.

Chris meletakkan gelasnya pelan di meja. Tatapannya kosong menembus cahaya lampu klub yang berkelap-kelip.

"Apakah aku bisa menolak?" jawabnya lirih. "Lolly sudah mengingatkanku berkali-kali. Aku yang tidak pernah mendengarkannya."

Tanpa menunggu tanggapan, Chris berdiri dari sofa dan meraih jasnya.

"Hei, kau mau ke mana?" teriak Mark ketika Chris melangkah keluar dari ruangan karaoke itu.

Chris tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan melewati lorong klub yang ramai, membiarkan suara musik keras dan tawa orang-orang tertinggal di belakangnya — sama seperti Lolly yang kini juga mulai menjauh dari hidupnya.

Pagi hari.

Suasana jalanan mulai ramai. Lolly mengemudi dengan tenang, matanya fokus ke depan. Ia baru saja menyalakan radio ketika dari arah kanan tiba-tiba sebuah mobil melaju dan—

Brak!

Benturan terjadi di bagian depan mobil Lolly. Suaranya tidak terlalu keras, tapi cukup membuat tubuhnya tersentak ke depan.

Di dalam mobil lain, pemilik mobil itu juga terkejut. Ia menekan rem sekuat mungkin, napasnya memburu.

Kedua mobil berhenti di sisi jalan. Lolly masih menunduk, memegang dadanya, berusaha menenangkan diri dari rasa terkejut.

Sementara itu, di dalam mobil yang menabrak Lolly, wanita itu meraih ponselnya yang terjatuh di kursi penumpang. Layarnya menyala otomatis.

Di sana terpampang foto dirinya bersama Chris.

Ia menatap layar itu beberapa detik, lalu menekan nama “Chris Zhao” di daftar panggilan. Jarinya berhenti tepat di atas tombol panggil, ragu.

"Hallo!" suara Chris yang di seberang sana.

"Chris, aku ditabrak, perutku sakit. Tolong cepat datang," ucap wanita itu yang memegang perutnya.

"Kirim lokasimu!" ujar Chris.

"Baik, tolong laporkan polisi. Wanita itu menabrakku," kata wanita itu yang tak lain adalah Neliza.