NovelToon NovelToon
Ayo, Menikah!

Ayo, Menikah!

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Romantis / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:847
Nilai: 5
Nama Author: QueenBwi

Arkan itu cowok baik—terlalu baik malah. Polos, sopan, dan sering jadi sasaran empuk godaan Elira, si gadis centil dengan energi tak terbatas.

Bagi Elira, membuat Arkan salah tingkah adalah hiburan utama.
Bagi Arkan, Elira adalah sumber stres… sekaligus alasan dia tersenyum tiap hari.

Antara rayuan iseng dan kehebohan yang mereka ciptakan sendiri, siapa sangka hubungan “teman konyol” ini bisa berubah jadi sesuatu yang jauh lebih manis (dan bikin deg-degan)?

Cinta kadang datang bukan karena cocok—tapi karena satu pihak nggak bisa berhenti gangguin yang lain.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sembilan Belas

“Bagaimana Elira, Sya?” tanya Ayana pada wanita ramping di sampingnya. Wanita berkacamata itu — nama lengkapnya Rasya Putri Nindita — adalah teman sekolah Ayana sejak SMP dan kini bekerja sebagai psikiater pribadi keluarga Pradipta.

Sebagai catatan, Rasya tak ada hubungan darah dengan keluarga Pradipta. Cuma kebetulan saja ia merupakan teman Ayana, selebihnya tidak.

Rasya merapikan isi tas kerjanya yang sudah tersusun dengan rapi, wajahnya datar dan tanpa ekspresi. Ia menghela napas kecil sambil memperbaiki letak kacamatanya. Pandangannya bergeser pada Arkan yang duduk setia di sisi Elira, lalu ke Ayana. Tatapan itu jelas berkata: “Ini rahasia keluarga. Ada orang luar di sini.”

Ayana paham, tentu saja. “Tak masalah. Arkan tunangan Elira. Aku pikir dia perlu tahu juga. Jadi?”

“Keadaannya stabil untuk sekarang,” jawab Rasya datar. “Sempat terguncang, tapi sudah kuberi obat. Aku cuma penasaran, apa yang terjadi sampai Elira kumat lagi?”

Pertanyaan itu membuat udara di kamar seolah menegang. Sudah bertahun-tahun Elira tidak pernah mengalami hal seperti ini lagi. Bahkan kakeknya yakin gadis itu sudah sembuh. Lalu sekarang… ini apa?

Ucapan Rasya membuat Arkan kesal bukan main.

“Jangan bicara seolah-olah Elira itu sakit jiwa. Dia baik-baik saja!” tegasnya.

Wanita berkacamata itu tersenyum tipis, bukan senyum yang menyenangkan. “Fisiknya iya…” ujarnya sambil menunjuk kepalanya sendiri, “…tapi di sini, tidak.”

Arkan langsung berdiri. “KAU—!!”

“Cukup!” potong Ayana cepat. Tatapannya tajam ke arah Rasya. “Jaga ucapanmu, Sya. Kau temanku, tapi aku tak akan diam kalau kau mengatai-ngatai Elira.”

Rasya menatapnya sekilas, lalu mengambil tas kerjanya dan melangkah menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia berhenti tepat di samping Ayana dan berbisik sesuatu. Kalimat itu membuat gadis itu mengepal tangan dan hampir meledak marah.

“Rasya!”

“Hanya mengingatkan, teman lama,” ujarnya tenang. “Hubungi aku kalau terjadi sesuatu.” Ia menatap Arkan, menambahkan, “Datang ke tempatku kalau kau ingin tahu yang sebenarnya.”

Lalu wanita itu pergi begitu saja.

“Apa-apaan itu?! Dia benar-benar temanmu, Kak?!” geram Arkan.

Ayana hanya mendengus. “Rasya memang tahu cara bikin orang naik darah.” Ia keluar dari kamar Arkan dengan kepala penuh amarah.

Hari ini benar-benar menguras isi kepalanya. Ia butuh pelampiasan.

Matanya menangkap sebungkus rokok di atas meja. Entah punya siapa. Ia ambil sebatang, menyalakannya, lalu menghisap dalam-dalam sampai paru-parunya terasa panas. Asap keluar dari bibirnya, bersama umpatan yang tertahan.

“Sampai kapan kau akan jadi budak anak itu, Ayana?” ucapan Rasya kembali bergaung di kepalanya. “Kalian mungkin sedarah, tapi jangan lupa… keluargamu dibuang karena dia.”

“Aisshh… Rasya brengsek!”

“Nona…” suara berat terdengar di belakangnya. Ayana berbalik, mendapati Farhan, pengawal pribadi Elira, berdiri dengan wajah menyesal.

Gadis itu langsung menjatuhkan rokok ke lantai dan menginjak ujung apinya. Ia mendekat cepat — dan PLAK!

“Pengawal tidak berguna! Kalau tak bisa menjaga adikku dengan baik, berhenti saja sana!”

Farhan tak bereaksi. Ia hanya membungkuk dalam-dalam. “Maafkan saya, Nona.”

Ayana mendecak kesal dan hendak pergi, tapi Farhan kembali bersuara pelan. “Nona, tunggu.”

Tanpa menatap langsung, pria itu melepas jas hitam dari tubuhnya dan melingkarkannya di pinggang Ayana. Menutupi bagian rok gadis itu yang robek.

“Sekali lagi, maafkan saya.”

Ayana terdiam sejenak, lalu pergi tanpa berkata apa-apa.

***

Pukul 3 pagi...

Arkan terbangun dengan jantung berdegup cepat saat suara jeritan memecah kesunyian. Ia hampir jatuh dari sofa ketika mendapati Elira di ranjang, menangis dan menjerit seperti orang ketakutan.

“Elira! Hei, Elira?!” Ia panik, langsung naik ke ranjang, mencoba membangunkan tunangannya itu.

“AARGHH!! AMPUN, MAMA!! HIKS… AMPUN! ELIRA SALAH! HIKS! JANGAN PUKUL LAGI! AARGHH!!”

“Elira! Bangun! Hei! Kau dengar aku?! ELIRA!!”

Gadis itu terus menjerit, menangis, memberontak. Arkan kesulitan menahannya. Akhirnya ia menangkup wajah Elira kuat-kuat.

“Buka matamu, Lira! Dengarkan aku! ELIRA!!”

Teriakannya memecah malam, dan akhirnya Elira membuka mata. Nafasnya terengah, tubuhnya basah oleh keringat meski udara dingin dan hujan deras di luar.

“Kau… baik-baik saja?” tanya Arkan cemas sambil menghapus air mata dari pipinya.

Elira tak menjawab. Ia hanya menangis semakin keras, seolah tengah bersaing dengan suara hujan.

Mimpi itu terasa terlalu nyata. Setiap pukulan, tamparan, dan tendangan terasa seperti sungguhan. Ia memohon, menangis, tapi siksaan itu tak berhenti. Semua berasal dari satu orang — ibunya sendiri.

Malam itu, di dalam mimpinya, Elira berharap ibunya sekalian saja menusuk jantungnya, agar semua rasa sakit itu berhenti.

“Selamatkan aku…” isaknya lirih. “Kumohon… siapa saja… selamatkan aku…”

***

Pagi harinya.

Seperti deja vu, Arkan kembali terbangun. Tapi kali ini bukan karena teriakan Elira, melainkan cahaya matahari yang menyelinap dari jendela. Ia ingin tidur lagi, sebelum teringat sesuatu.

Tadi malam… Elira tidur di kamarnya.

Panik, ia langsung bangun—dan langsung tersandung selimut sendiri hingga jatuh menghantam lantai.

“AARGH! SIAL!”

Baru saja ia mau berdiri, sepasang kaki telanjang muncul di depannya. Basah.

Arkan mendongak cepat. “Elira?!”

Elira tersenyum manis. “Pagi, Daddy~ Oh, atau siang ya? Sekarang sudah jam dua belas, hehe.”

Arkan langsung berdiri dan menariknya ke dalam pelukan. “Kau baik-baik saja?”

“Umm, ya…” jawab Elira kalem, menepuk punggung Arkan lembut.

“Syukurlah…” gumam Arkan lega.

Gadis itu menatap wajahnya. Lelah. Pasti semalaman Arkan tak bisa tidur karena dirinya. Rasa bersalah menyusup pelan.

“Maaf ya, Daddy~ aku merepotkan.”

“Tidak. Sama sekali tidak. Aku cuma cemas.” Ia memeluk Elira lagi, lebih erat.

Pelukan itu lama. Hangat. Tenang. Dunia terasa beres untuk sejenak.

“Dad~”

“Hm?”

“Boleh minta kiss?”

Arkan tersenyum kecil. Ia memiringkan kepala, menatap mata Elira dalam-dalam, lalu menempelkan bibirnya pelan.

Ciuman itu lembut, hati-hati, penuh rasa. Tapi jelas amatiran.

Elira tak peduli. Sebab seamatir apa pun Arkan, pria itu selalu membuatnya merasa aman. Tak pernah memaksa, tak pernah menuntut lebih.

Keduanya mulai terbawa suasana. Arkan membimbing Elira ke ranjang, menunduk di atas tubuh gadis itu yang hanya memakai kaos kebesaran miliknya.

“Aku benar-benar jatuh cinta padamu sekarang, Elira,” ucap Arkan serak, menempelkan kening mereka. “Kau harus tanggung jawab.”

Elira terkekeh. “Dengan senang hati, Daddy~”

Mereka nyaris berciuman lagi—

BRAK!

Pintu kamar terbuka brutal. Arkan refleks melompat dan jatuh ke lantai.

“ARGHH! PINGGANGKU!!”

Ayana berdiri di ambang pintu, meringis. “Ups… salah waktu ya?”

Elira menatap tajam. “Kak Ayana, ganggu!”

“Ya maaf… cuma mau antar makan siang. Silakan lanjut, hehe.”

“Aisshh, tidak sopan!” Arkan bangkit dan langsung keluar kamar.

Elira melongo. “Loh?! Daddy?! SWIDIKAP SWIDIPAPAP WIK WIK WIK-nya gak jadi?!”

“Lain kali saja, Lira. Aku lapar. Ayo makan.” jawab Arkan santai.

“MAKAN ELIRA SAJA, DADDYYYY!!!”

Ayana menatap datar. “Serius, Lira?”

Elira mendengus, lalu melempar bantal ke arah Ayana yang langsung kabur keluar.

“Kakak menyebalkan! Elira benci!! Huweeeeeee!!!”

Dan gadis itu kembali memberontak di atas ranjang seperti anak kecil. Tapi Arkan dan Ayana memilih mengabaikan dan menikmati makan siang mereka.

Biarlah. Kalau lapar, dia pasti keluar.

Sepuluh menit kemudian…

“Daddy~ Kakak~ Elira lapar~”

Nah kan.

1
QueenBwi
💜
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!