Tes Tes Tes
Air mata Airin tertahankan lagi ketika mendapatkan tudingan yang begitu menyakitkan dari sang ayah.
Bahkan pipinya memerah, di tampar pria yang begitu dia harapkan menjadi tempat berlindung, hanya karena dia mengatakan ibunya telah dicekik oleh wanita yang sedang menangis sambil merangkulnya itu.
Dugh
"Maafkan aku nona, aku tidak sengaja"
Airin mengangguk paham dan memberikan sedikit senyum pada pria yang meminta maaf padanya barusan. Airin menghela nafas dan kembali menoleh ke arah jendela. Dia akan pulang, kembali ke ayah yang telah mengusirnya tiga tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Bibi Ratih
Pesta telah berakhir, Airin sengaja datang pada ayahnya untuk berpamitan.
"Ayah, sekali lagi selamat atas ulang tahun pernikahan dengan ibu Susan. Aku akan kembali ke paviliun..."
Airin mengatakan semua itu sambil tersenyum, dan benar saja. Felix langsung terlihat menjeda ucapan Airin karena sangat terkejut.
"Kenapa kamu ke paviliun? kamu mau apa disana larut malam begini?" sela Felix bertanya.
Susan yang melihat suaminya terkejut, dan tidak ingin Airin bicara macam-macam. Segera menengahi percakapan antara ayah dan anak itu.
"Sayang, maafkan aku. Aku lupa memberitahumu karena terlalu sibuk menyiapkan pesta ini. Jadi, kamar lama Airin kan di pakai Vivi untuk ruangan lukisnya. Karena dari sana pemandangan yang bagus terlihat. Aku sudah menyiapkan kamar tamu paling besar di lantai dua itu. Tapi, belum selesai dirapikan. Jadinya, sementara sampai kamar itu siap. Airin tinggal di paviliun. Mas tidak marah kan? maafkan aku!"
Susan bicara dengan begitu manja. Airin juga hanya tersenyum, ketika Susan mengatakan semua omong kosong itu. Jelas-jelas satpam bilang. Gudang belakang lah yang akan diperuntukkan untuk kamarnya.
"Ayah, tidak apa-apa. Aku mengerti kalau ibu Susan sangat sibuk. Paviliun juga bagus, anginnya sangat sejuk" ucap Airin.
Sebenarnya, dia sedang memberitahu pada ayahnya. Kalau angin di sekitar paviliun sangat dingin. Tempat itu benar-benar dingin.
Sayangnya Felix sama sekali tidak peka. Pria tua itu malah mengangguk setuju.
"Ya sudah, kamu bisa istirahat sekarang. Kamu pasti lelah setelah penerbangan yang cukup lama. Kalau butuh apapun, telepon ke rumah utama. Istirahatlah"
Airin tersenyum dan mengangguk. Susan tampak begitu waspada padanya.
'Hehh, anak ini benar-benar bodohh. Sekolah di luar negeri tampaknya tidak membuatnya pintar. Baguslah, dia tetap berada dalam kendaliku dan tak bisa melawanku. Memang seharusnya seperti itu Airin' batin Susan.
Airin melangkahkan kakinya perlahan meninggalkan taman itu. Begitu keluar dari area rumah utama, senyum Airin berubah. Senyuman yang tadinya begitu manis dan cantik itu berubah menjadi sebuah ekspresi penuh kebencian dan dendam.
'Tenang saja Susan, semua ini baru di mulai' batinnya memperkuat tekadnya sendiri.
Airin masuk ke dalam paviliun itu, dan sudah ada sebuah selimut tebal disana. Senyum yang hilang itu mengembang lagi. Airin tahu, pasti bibi Ratih yang menyiapkan selimut itu. Setelah ibunya meninggal, tidak ada yang memperhatikan dirinya selain bibi Ratih. Tidak ada yang mengajaknya bicara, bahkan ayahnya sendiri. Tidak ada yang bertanya apakah dia sudah makan atau belum, bahkan makanan yang dia makan, semua itu pemberian bibi Ratih.
Setelah ibunya meninggal, Airin benar-benar sering di hukum. Sering di kurung di gudang, dan hanya bibi Ratih yang memberinya makan dan minum. Sejak saat itu, Airin tidak pernah lagi bergabung di meja makan. Ayahnya bahkan tidak tahu, dia sudah makan atau belum. Karena saat ayahnya datang ke meja makan, Susan selalu mengatakan Airin sudah makan lebih dulu. Ada satu piring dengan beberapa butir nasi dan potongan lauk sisa di salah satu bagian meja makan.
Hanya seperti itu saja, Felix selalu percaya. Kalau apa yang dikatakan Susan benar. Airin sudah makan. Di tambah bumbu dari Vivi yang selalu mengatakan Airin tidak sopan, makan terlebih dahulu. Felix sudah menganggap anak kandungnya itu seperti yang dikatakan oleh Vivi. Dan kerap membandingkannya dengan Vivi, lalu menganggap Vivi itu lebih baik, lebih sopan, lebih pintar.
Airin dulu selalu berusaha menjelaskan, tapi pada akhirnya dia yang disalahkan. Di anggap pembangkang, dan keras kepala. Tidak bisa dinasehati dan tidak bisa diatur.
Airin menghela nafas panjang. Meski masih terus mengingat semua itu. Tapi Airin berusaha untuk tegar. Dia membuat semua kenangan pahit itu sebagai bahan bakar dan motivasinya untuk sampai pada balas dendamnya. Tempat yang sudah dicuri oleh dua wanita licik itu. Dia akan ambil kembali. Bukan sebagai kesayangan ayahnya, tapi sebagai seorang yang memang seharusnya mendapatkan semua haknya.
Airin merebahkan dirinya di matras yang sudah di pasang bed cover dan selimut tipis itu. Airin membuka selimut tebal itu dan menyelimuti tubuhnya. Untung dia biasa tinggal di negara empat musim selama tiga tahun. Jadi Airin memang sudah bisa mengajak tubuhnya berkompromi dengan cuaca ekstrim di sekitarnya. Dingin seperti ini, baginya tidak seberapa. Dia bahkan pernah menggigil, karena penghangat ruangan asramanya rusak saat musim dingin dan dia tidak punya uang untuk memanggil tukang untuk memperbaikinya. Dia pernah tengah malam, saat badai salju datang, berdiri di jalanan untuk membagikan selebaran. Hawa dingin seperti saat ini, bukan apa-apa baginya.
**
Pagi harinya, Airin bangun sangat pagi. Setelah berpakaian dengan sangat sopan dan rapi. Airin pergi ke dapur di rumah utama.
Mata bulatnya berkaca-kaca, melihat bibi Ratih yang usianya bahkan lebih tua dari ibunya. Sedang dengan sibuknya menyiapkan sarapan untuk semua orang di kediaman Rahardian ini.
"Bibi" panggil Airin dengan mata berkaca-kaca.
Sejak dia menginjakkan kakinya di rumah ini, dia memang belum sempat bertemu dengan Airin sama sekali.
Bibi Ratih yang mendengar suara itu, mematung di tempatnya. Tangannya yang masih menyeka gelas dengan kain bersih langsung terdiam, matanya mendadak menjadi berkaca-kaca.
Wanita paruh baya itu menoleh perlahan. Dengan ekspresi wajah yang terlihat sendu, dan bibir terbuka seolah ingin memanggil nama Airin.
"Bibi"
Airin berlari memeluk bibi Ratih. Air mata keduanya tak dapat tertahan lagi. Bibi Ratih memeluk erat Airin. Hatinya begitu perih ketika harus menyaksikan anak kesayangan majikannya yang baik hati, Meisya. Di perlakukan secara tidak adil di rumahnya sendiri.
Bibi Airin melihat semuanya, tapi dia tidak pernah bisa melakukan apapun. Karena ancaman Susan, selalu tentang memecatnya dan menyingkirkan Airin selamanya. Sementara dia berjanji, ketika Meisya sakit dah belum di bawa ke rumah sakit, masih di rawat di rumah. Bibi Ratih berjanji pada nyonyanya, kalau dia akan menjadi Airin sampai akhir hidupnya, bersama dengan Airin dan tidak akan pernah meninggalkannya.
Dan ketika Susan meminta bibi Ratih membersihkan gudang untuk kamar Airin. Bibi Ratih juga memohon sampai berlutut pada Susan, agar membiarkan Airin tinggal di paviliun saja, terpisah dari rumah utama. Daripada harus tinggal di gudang yang bahkan tidak memiliki jendela.
Dan semalam, meski bibi Ratih sibuk melayani para tamu. Dia tetap mencuri-curi waktu menyiapkan selimut secara diam-diam dan segala macam makanan ringan dan buah-buahan di paviliun. Semua itu miliknya pribadi.
"Nona, sekarang nona sudah sangat tinggi. Tapi nona kurus sekali, bagaimana kehidupan nona sendirian disana, nona pasti sangat kesepian..." bibi Ratih tidak dapat melanjutkan apa yang dia katakan, dia hanya bisa kembali memeluk Airin sembari menangis.
***
Bersambung...