Haisya, gadis cerdas berhati teguh, meraih beasiswa ke Negeri Fir'aun, namun hatinya telah terpaut cinta pertama dari pesantren. Di Inggris, ia bertemu seseorang yang awalnya membencinya karena perbedaan, namun berubah menjadi cinta mendalam. Kembali ke tanah air, Haisya dijodohkan. Betapa terkejutnya ia, lelaki itu adalah sosok yang diam-diam dicintainya. Kini, masa lalu kembali menghantuinya, menguji keteguhan hati dan imannya. Ikuti perjalanan Haisya menyingkap simpul-simpul takdir, dalam kisah tentang cinta, pengorbanan, dan kekuatan iman yang akan memikat hatimu hingga akhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Simun Elthaf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama di London dan Pertarungan Hati
Udara pagi London terasa dingin menusuk kulit, namun hiruk pikuk kota metropolitan sudah terasa. Hari pertama Haisya masuk kampus. Alarm yang seharusnya membangunkannya telah ia abaikan, membuatnya bangun kesiangan. Dengan panik, Haisya segera melompat dari ranjang, membersihkan diri secepat kilat di kamar mandinya yang mungil, lalu bergegas menuju kampus. Langkah kakinya tergesa-gesa menyusuri koridor hotel, lalu berlari kecil mengejar taksi.
Sesampainya di gedung perkuliahan, ia tiba di depan ruang kelas yang pintunya sudah tertutup. Sebuah napas berat ia hembuskan. Ia mengintip sedikit melalui celah pintu, dan melihat kelas telah dipenuhi oleh para mahasiswa dari berbagai negara, suasana di dalamnya tampak begitu hidup.
"Permission, Sir," ucap Haisya malu-malu, membuka sedikit pintu dan menampakkan wajahnya. Pipi Haisya memerah menahan malu karena keterlambatannya. Mata Haisya melirik ke segala arah, mencoba mencari tempat duduk yang kosong, namun tak ada satupun bangku yang tersisa. Ya, tak ada lagi kecuali bangku di samping Denny, pria yang paling ingin ia hindari.
"Hhhhehh," Haisya menghembuskan nafas kasar, kekesalan jelas terpancar di wajahnya. Terpaksa, ia harus duduk di samping Denny. Haisya menarik kursinya sedikit menjauh dari Denny, menciptakan jarak sejauh mungkin. Pria bertindik dengan kemeja kotak-kotak yang berantakan itu pun tidak bergeming saat Haisya duduk di sebelahnya. Ia tetap fokus dengan permen karet yang ia kunyah, seolah tak menyadari kehadiran Haisya.
"Ehem!" Haisya berdehem keras, sebagai isyarat bahwa dirinya ada di situ, berharap Denny menoleh dan menyadari kehadirannya. Denny menoleh sebentar, melirik Haisya sekilas dengan tatapan malas.
"Lo lagi, loe lagi," gumam Denny, suaranya pelan namun terdengar jelas oleh Haisya. "Suka banget dekat-dekat sama gue ya?"
"Heh, jadi orang jangan ke-PD-an deh," Haisya membalas ketus, tak terima. "Kalau bukan karena nggak ada bangku yang kosong lagi selain di sini, saya juga malas kali dekat-dekat sama cowok belagu kayak kamu."
"Apa lo bilang?" Denny seketika mendongak, mendekatkan mukanya ke arah Haisya, matanya melotot dan giginya bergemeretak, menunjukkan kemarahannya. Karena jarak keduanya begitu dekat, Haisya pun merasa takut. Kemudian ia memejamkan matanya rapat-rapat, jantungnya berdebar kencang. Haisya takut Denny melakukan sesuatu yang buruk kepadanya.
"Ha... ha... ha... loe ternyata lucu juga ya kalau lagi ketakutan ha... ha... ha..." Bukannya melakukan sesuatu yang Haisya takutkan, Denny justru menertawakan Haisya terbahak-bahak, tawanya memecah ketegangan. "Lo kira gue mau ngapain lo, hem? Cium?"
"Hah... apa?" Haisya tersentak, matanya terbuka lebar, terkejut mendengar ucapan Denny yang frontal.
"Loe mau gue cium?" ucap Denny dengan seringai mencurigakan, semakin mendekatkan wajahnya.
"Astaghfirullahal adzim... ogah... ilfeel..." Haisya lantas memalingkan wajahnya, merasa jijik.
"Yakin nih gak mau dicium sama cowok ganteng kayak gue ha... ha... ha..." Denny terus menggoda, menikmati ekspresi Haisya yang memerah. Haisya bergidik dan semakin dibuat merinding bila harus terus berdekatan dengan Denny. Hari pertama di London ternyata tidak seindah yang ia bayangkan.
***
Hari demi hari terus berlalu, minggu berganti bulan, dan Haisya telah beradaptasi dengan kehidupan kampusnya. Ia selalu mendapat respon baik dari para dosen dan profesor, karena kecerdasan dan ketekunannya. Awalnya memang kebanyakan orang memandangnya sebelah mata karena penampilan Haisya yang biasa-biasa saja, berbalut hijab sederhana dan pakaian yang sopan, sangat berbeda dengan para mahasiswa lainnya yang mayoritas dari kalangan kelas atas, yang hidup dengan kemewahan dan serba branded. Mereka lupa kalau Haisya adalah salah satu mahasiswi istimewa dengan segala kelebihan dan prestasinya yang luar biasa. Pantas saja, meskipun masih tergolong junior, Haisya sudah mampu mencapai titik tertinggi dan mengambil hati para dosen, memenangkan penghargaan, dan menjadi mahasiswi teladan.
Saat itu, Haisya memilih tema kebudayaan untuk tugas akhir mata kuliahnya. Sebuah ide cemerlang terlintas di benaknya: ia tidak hanya mengerjakannya sebagai tugas dari dosen pembimbing, namun juga dijadikannya sebagai sarana untuk memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada dunia. Tidak dapat dipungkiri, Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan. Berbagai suku, agama, ras, dan adat istiadat ada di Indonesia, hidup berdampingan. Indonesia adalah negara maritim dengan beribu pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, masing-masing menyimpan kekayaan budaya tak ternilai. Dengan mengambil tema tersebut, Haisya menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik dan lulus dengan nilai tertinggi, membuat bangga para dosen pembimbingnya.
Lain halnya dengan Denny yang selalu kesulitan dalam studinya. Proposal tugas akhirnya ditolak berkali-kali, membuatnya frustasi. Haisya yang melihat kesulitan Denny merasa kasihan sehingga ia berniat untuk membantunya. Ia mendekati Denny dengan niat tulus. Namun, bukannya mendapat perlakuan baik, Haisya justru mendapat hinaan dan cemoohan darinya. Denny menolak niat baiknya mentah-mentah, bahkan tak hanya sampai di situ, ia pun melukai Haisya secara fisik dengan mendorongnya hingga tersungkur ke lantai.
Meskipun mendapat perlakuan kasar, tekad Haisya untuk menolongnya tidak pudar sedikitpun. Ia tahu bahwa orang yang ingin ia tolong bersikap tidak baik kepadanya, namun hatinya tetap tergerak. "Suatu saat ia pasti bisa berubah," begitulah Haisya meyakinkan dirinya sendiri, sebuah keyakinan yang kuat.
Dengan tekad bulat, Haisya menuju ruang perpustakaan kampus yang luas, mencari buku-buku yang dapat dijadikan referensi untuk tugas Denny. Ia meminjam dua buah buku: satu buku tebal dengan kurang lebih mencapai 500 halaman, sedangkan satu lainnya sekitar 300 halaman. Buku yang ketebalannya mencapai 500 halaman itu ia berikan kepada Denny sebagai buku pembantu utama dalam mengerjakan tugasnya. Sedangkan satunya untuk dirinya sendiri, sebagai bacaan penambah wawasan.
"Nih, baca!" Haisya menyodorkan buku tebal itu kepada Denny, tanpa basa-basi.
"What?" Denny menatap buku itu, lalu menatap Haisya, tidak mengerti.
"Read it," ulang Haisya, nadanya tegas.
"Setebal ini?" Denny bertanya, raut wajahnya menunjukkan keberatan.
"Ya, berhubung kamu menolak berdekatan denganku, jadi aku beri buku itu, biar kamu bisa cari referensi dari situ," Haisya menjelaskan, sedikit menyindir.
"Ta... ta... tapi..." Denny tergagap.
"Mau dapat nilai enggak?" Haisya memotong, menantang.
Denny berdecak kecil, mengacak rambutnya kesal, lalu pergi meninggalkan Haisya dengan langkah terburu-buru, membawa buku tebal itu. Haisya tersenyum bahagia karena pada akhirnya Denny mau juga membaca buku itu, meski dengan terpaksa. Sebuah langkah kecil menuju perubahan.
***
Amnesia Ridwan dan Dilema Jihan
DI CILACAP, PADA SAAT YANG SAMA.
Sementara Haisya berjuang dengan studinya dan "perang dingin" dengan Denny di London, di Indonesia, Hasnan sedang berusaha keras untuk mengembalikan ingatan Ridwan, dan agar ia bisa kembali mengingat Haisya seperti dulu. Hasnan mengunjungi Ridwan di rumahnya setiap hari, mencoba berbagai cara untuk memicu memorinya.
"Wan, tolong dengerin aku dulu," Hasnan mencoba membujuk, nada suaranya penuh harap.
"Stop! Aku pusing, aku nggak ingat kamu dan aku nggak kenal kamu, apalagi Isha itu Haisya? Aku sama sekali tidak mengenalnya, aku tidak tahu siapa dia," Ridwan berteriak, memegang kepalanya, matanya menunjukkan kebingungan dan rasa sakit.
"Tolong berusaha untuk mengingatnya, Wan! Dia orang yang sangat berarti buatmu, dan kamu akan menyesal bila tidak mau mengingatnya," Hasnan tetap bersikeras, mencoba menyentuh hati Ridwan.
"AAAARRGGHH!" Ridwan memegangi kepalanya dan berteriak histeris, rasa sakit di kepalanya semakin parah akibat paksaan Hasnan.
"Sudah cukup, Kak Hasnan! Kasihan Kak Ridwan kalau harus dipaksakan untuk mengingatnya," suara Amanda terdengar panik. Ia segera berlari mendekat, berusaha menggapai tubuh Ridwan yang mulai memberontak. Dipeluknya tubuh kekar itu dan dituntun ke tempat pembaringan.
"Baiklah kalau begitu, saya permisi." Hasnan menghela napas pasrah. Ia pun pergi meninggalkan Ridwan dan Amanda, hatinya pilu melihat kondisi sahabatnya.
Di sudut ruangan, Jihan, istri Ridwan, yang tidak tahu-menahu tentang semua perbincangan ini, hanya bisa menangis tanpa bersuara, hatinya bingung dan hancur. Ia mendengar percakapan mereka, dan kenyataan itu menghantamnya.
"Benarkah Mas Ridwan sudah memiliki kekasih sebelum menikah denganku? Apakah aku sudah salah karena telah menikahinya dalam kondisi amnesia? Mungkinkah dia akan meninggalkanku bila suatu saat ingatannya kembali?" Gadis berkulit kuning langsat itu merasa khawatir jika saja ingatan suaminya telah kembali dan ia ingin kembali kepada kekasihnya. Ia tidak siap bila harus ada orang ketiga di antara mereka berdua. Rasa cemburu dan ketidakpastian membelenggunya.
Jihan tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di dadanya. Ia mengejar lelaki yang sudah mulai hilang di balik pintu.
"Mas Hasnan, tunggu sebentar!" Jihan memanggil, suaranya parau.
Hasnan berhenti, berbalik. "Ada apa?" tanyanya, ekspresinya lelah.
"Tolong jangan ambil suamiku, aku sangat mencintainya, aku tidak siap bila harus kehilangan dirinya... hiks hiks hiks..." Jihan menangis dalam kondisi berlutut di hadapan Hasnan, memohon dengan putus asa, air matanya membanjiri pipi.
Hasnan tidak tega melihat seorang perempuan yang menangis dan memohon hingga seperti itu. Air matanya ikut menggenang, namun ia menahannya. Akhirnya ia membantunya untuk berdiri, mengangkat Jihan dengan lembut.
"Tolong jangan lakukan ini, Mbak, kamu wanita baik-baik, jangan rendahkan dirimu dengan berlutut seperti ini!" Hasnan menasihati, nadanya penuh simpati. Selang beberapa detik, Hasnan menatapnya dengan mata kasihan dan akhirnya, ia membuat sebuah keputusan. "Oke, aku tidak akan memaksa Ridwan untuk mengingat Haisya lagi." Ia katakan itu untuk membuat Jihan merasa tenang, sebuah janji yang berat bagi Hasnan.
"Benarkah?" Jihan mendongak, matanya penuh harap.
"Hem-em... asalkan kamu janji tolong jaga Ridwan baik-baik, jagalah dia dengan sepenuh hati dan jadilah istri salihah untuknya!" Hasnan memberikan syarat, nadanya serius. Jihan hanya mengangguk, siap melakukan apa saja. "Dan satu lagi pesanku, tolong jangan menyesal/cemburu bila suatu saat nanti ingatan Ridwan kembali dengan sendirinya."
Jihan mengerutkan dahi, bingung. "Apa maksudnya? Kau bilang kau tidak akan memaksanya."
"Iya, itu benar, tapi siapa yang dapat mencegah kuasa Allah?" Hasnan menjelaskan, suaranya pelan namun penuh makna. "Haisya bukan hanya sekadar cintanya, tapi ia juga sahabat dekat dan penyemangat bagi Ridwan. Lihat saja cincin yang ada di jari manismu itu! Di balik cincin itu ada inisial (R dan H) artinya Ridwan dan H adalah Haisya."
Hasnan buru-buru meninggalkan Jihan sebelum tangisnya mulai menjadi-jadi, sebelum ia melihat lebih jauh kehancuran hati Jihan. Jihan terpaku. Dengan tangan gemetar, ia melepas cincin pernikahannya itu dan melihatnya. Benarkah yang diucapkan Hasnan? Matanya mencari inisial itu. Hiks hiks hiks, ternyata benar ada inisial nama Haisya di sana, terukir jelas. Hati Jihan benar-benar tersayat, ia jatuh terpuruk dengan curahan air mata, merasakan sakit yang tak tertahankan. Kenyataannya jauh lebih pahit dari yang ia bayangkan.