Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak luka di aroma kopi..
Jam menunjukkan pukul empat sore saat Nayla melangkah masuk ke dalam kafe kecil yang hangat di pojok jalan dekat kantor hukum tempat Aldi bekerja. Aroma kopi yang pekat langsung menyambutnya, begitu pula dengan dentingan sendok dan gelas yang terdengar akrab, namun tak mampu menghangatkan hatinya yang beku. Ia memilih duduk di sudut dekat jendela, memandang lalu lintas yang padat sambil menggenggam secangkir cokelat panas yang bahkan tak sempat disentuh.
Hatinya masih remuk, tapi wajahnya tak menunjukkan retak sedikit pun. Sejak kepergian itu—sejak ia melihat sendiri Raka dan Tania keluar dari kamar hotel dengan pakaian kusut dan wajah panik—Nayla berhenti menangis. Ia sudah melewati fase amarah, fase tanya, fase kecewa. Kini, hanya ada keheningan dan tekad.
Sepuluh menit berselang, Aldi datang dengan tergesa, napasnya masih belum teratur karena terburu-buru. Kemeja biru muda yang dikenakannya tampak rapi, jas hitam menyempurnakan penampilannya yang profesional. Tapi begitu matanya menangkap sosok Nayla yang duduk tenang dengan mata kosong, langkahnya melambat. Ada luka yang terlihat samar di wajah perempuan itu—bukan luka fisik, tapi jauh lebih dalam.
“Nayla,” sapa Aldi seraya menarik kursi dan duduk di hadapannya. “Maaf aku terlambat.”
Nayla hanya mengangguk kecil, senyum tipis terbentuk sejenak di wajahnya, tapi cepat sekali menghilang. Ia sudah terlalu lelah berpura-pura baik-baik saja.
“Aku sudah dengar sedikit dari Siska,” Aldi memulai pelan. “Tapi aku mau dengar langsung dari kamu. Kau yakin ingin lanjutkan proses perceraian ini meskipun Raka mengajukan pembatalan lewat pengacaranya?”
Nayla menatap langsung ke matanya. Sorot matanya tenang, tapi ada gemuruh yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah patah dalam diam.
“Saya yakin,” jawab Nayla. “Pernikahan ini sudah tak punya bentuk. Bukan rumah, bukan tempat pulang. Yang tersisa hanya puing dan luka. Saya ingin menyelesaikannya dengan cara yang benar.”
Aldi mengangguk perlahan. “Kamu tahu ini akan melewati mediasi ulang. Kalau kamu tetap pada pendirianmu, kita akan ajukan keberatan atas permohonan pembatalannya. Dokumen pendukung akan sangat penting. Kamu punya bukti?”
Tanpa berkata banyak, Nayla mengeluarkan map dari dalam tas. Gerakannya pelan, tapi pasti. Ia sudah menyiapkannya sejak semalam, menahan sesak saat menyusun potongan-potongan kenyataan.
Di dalamnya ada tangkapan layar percakapan Raka dengan Tania, bukti pembayaran hotel yang ia temukan di dompet Raka, surat hasil pemeriksaan kandungan, dan catatan transfer uang dari Raka yang hanya rutin di bulan-bulan awal pernikahan mereka.
“Ini semua,” katanya. “Dan saya bisa ajukan beberapa teman yang tahu apa yang saya alami. Termasuk hari itu, saat saya mendapati mereka… bersama di hotel itu.”
Aldi membuka satu per satu dokumen itu. Hening sejenak. Lalu ia mendesah pelan, menatap Nayla dengan sorot yang berbeda.
“Maaf aku harus menanyakan ini,” katanya. “Tapi kenapa kamu pergi ke Bandung? Apa kamu tidak mencoba bicara dulu dengan Raka setelah tahu dia—”
“Saya pergi karena saya sudah tahu jawabannya,” potong Nayla halus. “Saya tahu siapa yang dipilihnya. Saya tidak kuat menyaksikan lebih banyak. Malam itu, saat saya lihat mereka keluar dari kamar yang sama... dunia saya runtuh. Tapi saya masih menahan. Saya masih berharap Raka akan datang mencari saya. Tapi yang datang justru pengabaian. Diam. Seolah saya tak pernah ada.”
Aldi terdiam. Untuk pertama kalinya, ia melihat seorang perempuan tak hanya menahan sakit, tapi menjadikan rasa sakit itu tameng. Nayla tidak menangis, tapi setiap kata yang keluar dari bibirnya adalah serpihan dari hati yang pernah utuh.
“Kamu tahu?” Nayla melanjutkan, suaranya lebih lirih. “Saya bahkan sempat berpikir untuk tidak jadi ibu. Tapi waktu saya lihat hasil USG itu... saya sadar, ini bukan tentang saya. Ini tentang hidup lain yang harus saya selamatkan. Maka saya pergi. Saya putuskan menjauh dari semua yang merusak. Termasuk dari lelaki yang tak bisa membedakan cinta dan nafsu.”
Aldi menelan ludah. Tangannya menggenggam ujung meja, merasakan betapa sesaknya cerita Nayla. Ia tak tahu harus berkata apa. Di hadapannya duduk seorang perempuan yang hancur, tapi menolak menjadi korban. Nayla bukan perempuan biasa. Ia adalah seseorang yang memilih bangkit di tengah reruntuhan.
“Kamu kuat, Nayla,” kata Aldi akhirnya. “Nggak semua orang bisa setegar ini.”
Nayla tersenyum kecil. “Saya tidak kuat, Mas Aldi. Saya cuma belajar. Bahwa kalau saya tidak memilih berdiri, tak akan ada yang menolong saya berdiri.”
Kata-kata itu seperti tamparan lembut. Aldi menunduk sejenak, kemudian berkata pelan, “Saya akan bantu semampu saya. Bukan hanya sebagai pengacara, tapi... sebagai teman. Kalau kamu butuh tempat cerita, butuh sandaran—saya ada.”
Nayla menatapnya. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada air mata yang jatuh. Ia terlalu lama menangis dalam diam, hingga kini yang tersisa hanya air mata yang mengering sebelum sempat mengalir.
“Terima kasih, Mas Aldi. Itu lebih dari cukup.”
Percakapan mereka berlanjut pada teknis perkara, tapi suasana tak lagi kaku. Aldi mencatat poin penting, lalu memberi beberapa saran hukum yang bisa ditempuh Nayla. Namun di balik itu, pikirannya tak berhenti membayangkan betapa berat perjalanan yang telah dilalui perempuan di hadapannya.
Sore itu, aroma kopi tetap menguar di antara mereka, tapi bukan aroma itu yang tertinggal paling lama. Yang tertinggal adalah jejak luka Nayla—hening, namun membekas kuat. Aldi sadar, dirinya kini tak hanya menjadi saksi hukum, tapi juga saksi dari kekuatan hati seorang perempuan yang memilih menyelamatkan dirinya, meski harus berjalan sendiri dalam gelap.